Jumat, 24 Februari 2017

Gu Fang Bu Zi Shang -- 2.54

-- Volume 2 chapter 54 --



Untuk bisa mengerti seorang pria mungkin membutuhkan waktu seumur hidupmu.

Tapi untuk beberapa pria, mungkin seumur hidup masih tidak cukup, begitu yang dipikirkan Zuiju.

Fanlu adalah jenis pria yang baik hati tapi juga menyebalkan. Terkadang sifatnya terlihat lebih tidak stabil daripada wanita. Kalau kau memperhatikannya, matanya terkadang menyiratkan kebaikan. Tapi sesaat kemudian menjadi curiga seperti raja siluman yang hendak memakan manusia. Setelah beberapa saat sebuah senyum iseng tiba-tiba muncul.

Pria itu adalah orang licik.

Ia dengan santai memegang busurnya sambil memojokan Zuiju ke pojok. Lalu, dengan alasan tidak jelas dan aneh, ia membawanya dari gigi-gigi tajam sekelompok serigala yang kelaparan, menyelamatkannya.

Meskipun ia telah menyelamatkan Zuiju, ia tidak membebaskannya.

“Kalau kau ingin melarikan diri, aku akan memburumu seperti kelinci.” Ketika mengatakannya, sebuah senyum jahat bermain di sudut bibirnya.

Zuiju melototo balik padanya, diam-diam bertekad jangan sampai tertangkap olehnya.

Tapi tekad itu tidak bisa di penuhi. Selama setahun ini, ia tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri.

Fanlu sungguh ahli memenjarakan orang. Ia selalu bisa menebak rencana pelarian jangka panjang Zuiju, dan tertawa jahil karena dengan mudahnya menghancurkan mimpi indah Zuiju.

“Kenapa?” Zuiju bertanya dengan kesal.

“Kau bukan orang militer. Kau tak pernah belajar pertempuran tanpa senjata atau membebaskan tahanan dengan pasti. Kau juga tak pernah belajar bagaimana menemukan musuh di tempat persembunyian mereka.” Fanlu lalu menjawab pertanyaan lainnya, “Bagaiamana mungkin kau bisa lolos dari tanganku?”

“Mengapa kau menahanku? Bukankah lebih baik kalau kau membunuhku? Aku tidak ingin hidup lagi.”

Fanlu menjawab dengan bertanya lagi, “Apa kau sungguh tidak ingin hidup?”

Zuiju terkejut.

Ketika ia tersdar dari pingsannya, ia memikirkan kondisi Pingting dan ia benar-benar tidak ingin hidup lagi.

Tapi sekarang?

Kalau kematiannya tidak diketahui, apa yang akan dilakukan gurunya?

Ia hanya bisa menahan teriakannya dan berkata dengan berguman, “Entah aku ingin mati atau tidak, bukan urusanmu sama sekali.”

Fanlu terkejut dan tertawa dingin, “Ketika aku memutuskan jawabanku atas pertanyaanmu, mungkin hidup bukan pilihan lagi.”

Dengan Fanlu sebagai orang yang berkuasa di kota Qierou, pertahanannya menjadi lebih kuat. Tapi Zuiju masih pantang menyerah untuk melarikan diri.

Fanlu akhirnya merasa sudah cukup kali ini. Ia memegang pergelangan tangan Zuiju, dan memojokannya ke dinding. “Megapa kau begitu ingin kembali ke Dong Lin?”

“Siapa yang bilang aku ingin kembali ke Dong Lin.”

“Kalau begitu gunung Songsen?”

“Bukan urusanmu!”

“Ah, sudah kuduga…” Fanlu menahannya sehingga ia tidak bisa bergerak, tapi Fanlu tersenyum kali ini. Sebuah tatapan kemenangan muncul di wajahnya. Ia berkata pelan, “Karena Bai Pingting berada di gunung Songseng.”

Zuiju terkejut. Ia mengigit bibirnya dan menoleh ke arah lain.

Pingting, kalau Pingting masih berada di gunung Songsen, mungkin….

“Kau membawa tusuk rambut giok itu untuk mencari pertolongan untuk Bai Pingting, benar?” Fanlu berkata sambil memojokkannya ke dinding dan menatapnya dengan tajam. Fanlu memperhatikannya dan berkata dengan pelan, “Dugaanku, kalau Bai Pingting tidak mati kedinginan, maka ia mati kelaparan.”

“Bohong! Kau Bohong, Bohong, Bohong!” Zuiju berteriak sambil menangis, “Ia pasti sudah diselamatkan seseorang, atau mungkin ia masih ada sisa tenaga untuk turun gunung. Atau ia…”

Tiba-tiba Zuiju berhenti bicara, terkejut, ia menyadari dirinya berada dalam pelukan Fanlu. Seumur hidupnya selain gurunya, ia tak pernah begitu sedekat ini dengan seorang pria. Ia merasa dirinya mulai terbakar api ketika berada dalam pelukan Fanlu.

Zuiju berteriak, dengan sekuat tenaga mendorong Fanlu menjauh. “Jangan sentuh aku!”

Zuiju mengumpulkan seluruh tenaganya untuk satu dorongan itu. Fanlu mundur dua langkah, ia berusaha menyeimbangkan dirinya. Ekspresi wajahnya berubah beberapa kali. Lalu ia berbalik dan pergi. Zuiju akhirnya mampu bernapas lega, ia menarik napas panjang untuk mengisi penuh paru-parunya.

Fanlu kembali ketika hari sudah sore. Ia membawa makan malam Zuiju, dan seguci arak untuk dirinya sendiri. Zuiju menundukkan kepalanya selama makan. Fanlu duduk di depannya, meminum araknya tanpa menggunakan cangkir. Begitu araknya habis, ia menatap Zuiju dalam-dalam.

Tatapannya dingin dan kejam, kedua bola matanya menyembunyikan semua niat buruknya. Seperti menarik senar sampai kencang sekali, sehingga sedikit sentuhan saja akan membuat kekacauan luar biasa.

Makanan itu sepertinya menyangkut semua di tenggorokan Zuiju. Ia merasa seperti sedang berhadapan dengan hewan liar buas, ia segera meletakan sumpitnya dan mundur ke pojokan tempat tidurnya. Meskipun ruangan itu agak besar tapi Zuiju tidak bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Fanlu.

Zuiju menutup mulutnya rapat-rapat. Hal itu membuat Fanlu semakin mirip dengan hewan buas yang sedang bersembunyi mengintai mangsanya.

Zuiju berpikir kalau ia sudah melewati hal yang paling mengerikan. Tapi sekarang ia menyadari, ada hal yang lebih mengerikan selain menunggu.

Biasanya Fanlu selalu berkata dengan kasar dan kejam, tapi saat ini Fanlu sungguh membuatnya takut setengah mati.

Fanlu tidak berkata apapun sepanjang malam itu dan hampir membuat Zuiju gila dengan tatapannya, dan akhirnya Fanlu berdiri lalu pergi lagi.

Zuiju menyaksikan punggungnya yang menghilang dan ia merasa telah terbebas dari musibah. Ia menyeka dahinya yang sudah dipenuhi keringat.

Tapi mimpi buruknya belum berakhir, selama sepuluh hari Fanlu datang dengan membawa arak. Pernah sekali Fanlu memojokannya di tempat tidur dalam keadaan setengah mabuk dan menatap Zuiju dengan matanya yang memerah. Zuiju yang merasa terancam berteriak kencang.

Teriakan Zuiju membuat Fanlu kembali tersadar.

Fanlu mengelengkan kepalanya dan ia pergi.

Zuiju sungguh tidak tahan dengan siksaan seperti itu. Naluri wanitanya mengerti maksud dari senyum dingin yang terukir di wajah Fanlu.

Zuiju menatap tak berdaya ke arah pintu, tempat ini terasa semakin sunyi dan mengerikan dari pada sebelumnya.

Kalau memang terjadi…..

Aku akan memilih mati.

Zuiju mengepalkan tinjunya dengan kuat.

Entah sudah berapa hari yang lewati, akhirnya Fanlu berhenti mabuk.

“Mengapa kau tidak berusaha kabur hari ini?”

“Hmmph.”

“Tut tut, aku berencana membuatmu telanjang bulat kalau kau mengisi otakmu dengan rencana aneh lagi dalam pelarian dirimu berikutnya. Siapa yang bisa menduga kalau kau sangat patuh, sungguh disayangkan, sangat disayangkan.”

“Kau…”

Sepertinya tingkah Fanlu kemarin hanya sandiwara. Hari ini ia benar-benar tidak mabuk. Fanlu terkadang  bertingkah kejam tapi terkadang ia senang mengejek Zuiju seperti hari ini.

Ketika Fanlu datang membawakan makam malam, ia tiba-tiba berkata, “Apa kau mau memeriksa gunung Songsen?”

Zuiju terkejut.

Ekspresi Fanlu tenang dan sepertinya tidak mengerti tentang perkataannya.

“Mau kesana?”

“Ah?”

“Kalau tidak mau ya sudah.” Fanlu berbalik hendak pergi.

Zuiju segera berteriak, “Mau! Aku mau!”

Langkah Fanlu terhenti. Punggungnya terlihat gagah.

Zuiju menatap punggung itu.

Dasar bodoh, ia sedang berbohong padamu.

Bodoh, ia mengejekmu lagi, seperti mengejek anak anjing kecil dalam kandangnya.

“Begitu aku selesai mengurus kerjaanku, kita akan berangkat.”

Fanlu mengatakannya dengan singkat, Zuiju hampir merasa pendengarannya bermasalah. Ia berdiri di tengah ruangan, terkejut, memutar otaknya berkali-kali dengan tidak percaya.

Tapi Fanlu sudah pergi.

Meskipun Zuiju sama sekali tidak mempercayainya, setelah tiga hari berlalu, mereka memulai perjalanan.

Fanlu tidak membawa pengawal, mereka hanya pergi berdua.

Kota Qierou sangat dekat dengan gunung Songsen. Ketika Fanlu membawa Zuiju dalam keadaan pingsan membutuhkan waktu hampir satu bulan. Tapi sekarang, dengan mereka berdua menaiki kuda, hanya membutuhkan waktu sepuluh hari.

Zuiju berkata, “Kau takut aku akan membuka rahasiamu.”

“Hm?”

“Kau membohongi Pejabat Senior Yun Chang, memalsukan laporan kematian Bai Pingting. Kalau aku berteriak di tengah kerumunan, kau akan mati. karena itu kau tidak berani membawaku ke tempat orang banyak.”

Fanlu berkata dengan dingin, “Aku hanya tidak ingin menjadi orang yang mengorok lehermu.”

Mereka berdua berharap bisa mencapai gunung Songseng secepatnya. Fanlu dengan jabatannya sebagai Gubernur kota, kepergiannya seharusnya setelah mendapatkan ijin.

Hati Zuiju semakin sakit setiap kali kudanya melangkah mendekati gunung Songsen.

Pingting, apa kau masih hidup?

Aku sungguh berharap tidak menemukanmu di tempat itu.

Mereka berdua berderap dengan cepat, sampai akhirnya mencapai gunung Songsen.

Fanlu menemukan semak untuk menyembunyikan kuda mereka, lalu mengelurkan kait dari pinggangnya, “Aku akan memperlihatkanmu bagaimana seorang mata-mata sejati memanjat gunung.”

Ia telah mempersiapkan dua benda, yang satu diberikannya pada Zuiju.

Gunung Songsen sudah seperti kampung halaman Fanlu. Ia seperti monyet ketika berada di hutan dan seekor singa liar begitu berada di rerumputan. Zuiju melihatnya melompati bebatuan dengan mudah dan ia juga sangat berpengalaman dengan tumbuhan beracun, begitu juga dengan perangkap-perangkap alam.

Dulu, ia dan Pingting membutuhkan beberapa hari melewati area bebatuan ini dengan susah payah. Dengan Fanlu memimpin di depan, mereka bisa melewatinya hanya dalam satu hari.

Zuiju sungguh terkesan.

“Apa kita sudah sampai?”

“Benar.”

Tidak ada batu yang berubah.

Berdiri di depan daerah bebatuan, Zuiju mengingat angin dan salju yang dulu.

Tiupan angin yang kencang, Pingting yang pucat dan kilau tusuk konde giok di kegelapan.

“Aku akan bergegas menuju tempat Yangfeng dan memintanya untuk mengirim seseorang yang berpengalaman di gunung ini bersama gingseng terbaik. Aku akan membuat persiapan disana, agar kami siap begitu kau tiba.”

Tiga hari, hidup atau mati, hanya tiga hari.

“Pingting! Pingting!” Zuiju tak bisa menahan teriakannya.

Fanlu berdiri agak jauh menyaksikan Zuiju yang mencari dengan gelisah.

Setelah mencari dengan seksama, ia mencari lagi.

Langit mulai gelap. Fanlu melangkah mendekati Zuiju ketika penglihatannya mulai pudar.

Zuiju yang kelelahan akhirnya berhenti. Ia duduk dan terengah-engah. Ketika ia menyadari langkah kaki Fanlu, ia menegadah dan berkata pelan, “Aku tidak menemukannya, aku tidak menemukannya.” Airmatanya berjatuhan, ia menangis gembira, “Sungguh hebat, Pingting tidak ada disini. Ia pasti sudah turun, sudah turun…” Zuiju begitu gembira. Ia pasti sudah gila, karena ia berlari dan memeluk Fanlu sambil menangis, “Pingting pasti masih hidup. Aku tahu ia tidak akan mati.”

Ketika ia mengadah, ia melihat Fanlu tersenyum. Fanlu tidak pernah membalas seperti itu, dan Zuiju akhirnya tersadar.

Pria ini, pria ini….

Senyum Zuiju membeku ketika ia menunduk. Dan ia lebih terkejut lagi ketika menyadari kedua tangannya sedang memeluk Fanlu.

“Ah!” Zuiju berteriak, melepaskan tangannya dan mendorong Fanlu.

Hatinya seperti berlompatan kesana kemari karena tingkah anehnya sendiri. Ia tidak berani menatap Fanlu.

Suasana di sekitarnya menjadi lebih kaku dan sunyi.

“Hmph…”

Dalam kesunyian, Fanlu tersenyum mencurigakan yang membuat Zuiju merasa agak takut.

Mereka berdua bermalam di area bebatuan.

Mungkin karena puncak gunung Songsen yang masih tertutup salju, Zuiju merasa malam ini lebih dingin dari biasanya. Paginya ketika Zuiju terbangun ia terkejut melihat tatapan Fanlu.

Tatapannya lebih gelap dari pada biasanya. Di gunung Songsen ini Fanlu terlihat seperti binatang buas yang memangsa manusia.

Zuiju mengikuti Fanlu dengan diam menuruni gunung. Mereka turun tanpa menggunakan peralatan ketika mendaki kemarin. Fanlu perlahan berjalan munuju hutan. Zuiju masih mengikuti di belakang dan perlahan merasa tidak yakin.

Mata Fanlu terlihat berbahaya.

Sekarang ia sudah tahu, Pingting tidak berada di tempat itu, mengapa ia tidak mengambil kesempatan ini untuk kabur? Jantung Zuiju berdetak kencang ketika ia memperhatikan Fanlu yang berada di depannya.

Fanlu berjalan dengan serius tanpa sekalipun menoleh pada Zuiju.

Zuiju mengikutinya dengan patuh, sampai ketika mereka tiba di persimpangan dan tiba-tiba Zuiju berlari kencang ke arah hutan di belokan yang lain.

Angin mulai menderu.

Zuiiju tidak berani menoleh ke belakang. Ia sudah tahu kemampuan melacak Fanlu di area gunung. Karena itulah ia tetap berlari tanpa berhenti. Pepohonan di hutan sudah lebat dedaunan, tidak setandus ketika musim dingin. Ia terus mengatakan pada dirinya untuk terus berlari demi kebebasannya.

Ia berlari sekencang ia bisa, tanpa berhenti ataupun menoleh.

Ia melewati jalan setapak bebatuan. Semak-semak yang lebat dan pepohonan yang tinggi berlalu dengan cepat di sisinya.

Paru-parunya terasa terbakar membuatnya merasa sakit.

Ia tidak tahu sudah berapa lama ia berlari dan sudah berapa jauh, tapi ia sudah tidak mampu melangkah lagi. Kedua lututnya lemas, ia berhenti dan bersandar di sebuah pohon, berusaha mengatur napasnya.

“Sudah cukup berlarinya?” suara seorang pria dari atas.

Zuiju segera menoleh ke atas menarik napas panjang.

Fanlu sedang duduk santai di atas pohon, sorot matanya yang dingin menatap Zuiju.

Sebelum Zuiju sempat melangkah, Fanlu melompat dan berdiri tepat di depannya.

“Bukankan aku sudah pernah mengatakan apa yang akan terjadi kalau kau mencoba melarikan diri lagi?” Fanlu menghela, “Kenapa kau masih saja melakukannya?”

Zuiju akhirnya mampu bersuara, “Kau sengaja.” Zuiju melangkah mundur sambil ketakutan dan marah, “Kau menipuku, ahh!”

Fanlu memeluknya, “Apa yang berani dilakukan si penipu, aku juga berani.” Ia melepaskan sebelah tangannya.

Breet! Fanlu merobek selapis pakaian Zuiju.

“Hentikan! Lepaskan aku, lepaskan!”

Breet. Pakaiannya jatuh ke tanah.

Zuiju akhirnya mengerti betapa mengerikannya kekuatan seorang pria. Ia mulai menangis, “Aku tidak akan kabur lagi, lepaskan.”

“Terlambat,” Fanlu mendorongnya ke tanah dan menindihnya.

“Hentikan, hentikan!”

Napas berat Fanlu terasa di lehernya. Giginya mengigit kulit Zuiju yang putih.

“Hentikan,” Zuiju dengan putus asa mengelengkan kepalanya.

Bahu Zuiju yang lembut menyentuh kerikil di tanah. Ia bisa melihat awan badai yang mengerikan di atas.

Zuiju putus asa menoleh ke atas, tubuhnya terasa dingin ketika selapis lagi pakaiannya robek menjadi dua bagian, ia berteriak ke segala arah. Sekarang ia hanya mengenakan selapis pakaian terakhirnya yang sudah tak mampu lagi melindunginya.

“Aku mohon….”

“Terlambat.”

Zuiju memejamkan matanya dalam keputusasaan.

Tiba-tiba ia merasa beban di atas tubuhnya menghilang, Fanlu sudah pergi? Zuiju membuka matanya karena terkejut, ia melihat Fanlu sedang berdiri dan matanya sangat waspada.

“Siapa disana?” Fanlu berkata.

“Nona itu lumayan cantik.” Sekelompok orang bermunculan dari dalam hutan, mereka bergerak mengepung. Seorang pemimpin mereka menatap Zuiju dan mejilati bibitnya, “Kak, tidak seru kalau makan sendirian. Kau bisa duluan setelah itu biarkan kami mencicipinya juga, ok?”

Perampok? Dada Zuiju terasa sesak. Ia segera duduk dan memeluk tubuhnya.

Fanlu diam sebentar dan mengangguk, “Benar, memang tidak enak kalau makan sendiri.” Ketika berkata ia melepaskan mantelnya dan melemparkannya ke dekat kaki Zuiju.

“Hah, sepertinya kau sudah pengalaman.”

“Tapi, aku lebih suka makan sendirian.” Fanlu tertawa mengejek.

Para perampok itu terkejut.

“Orang macam apa yang tidak takut kematian?” si pemimpin memberi perintah dengan dagunya, “Anak-anak, serang!”

Sekitar sepuluh orang mengeluarkan pedang mereka dan berlari kea rah Fanlu.

Fanlu mengeluarkan busurnya, meletakan dua anak panah dan melepaskannya dengan dua desiran angin.

“Bunuh dia!”

“Whuss, whusss! Dua panah melayang lagi, tapi jumlah musuh terlalu banyak. Mereka sudah sudah mengepun rapat mereka. Fanlu melemparkan busurnya dan mengeluarkan pedangnya. Pedangnya beradu dengan pedang lawannya.

“Ah!” Zuiju berteriak dari belakangnya. Fanlu berbalik dan menusuk perampok yang menerkam Zuiju.

Suara pedang membelah angin di belakangnya terdengar tapi Fanlu terlambat ketika ia berbalik. Ia merasakan sakit di lengan kanannya dan darah segar mulai mengalir ke tanah.

Klang, Fanlu memindahkan pedangnya ke tangan kiri, ia mengerakan tangannya menahan satu serangan lainnya. Ia berbalik dan melotot pada Zuiju, “Kenapa kau masih disini?”

Zuiju sudah mengambil mantel Fanlu dan mengenakannya. “Aku…”

“Lari.” Fanlu berkata dengan dingin. Ekspresinya menjadi lebih gelap ketika sebuah suara pedang menusuk tubuhnya lagi. Kemarahanya muncul bersamaan dengan lukanya. Matanya merah ketika ia berteriak, “Aku akan melawan kalian sampai mati!”

Ia menghalangi para perampok yang hendak mengejar Zuiju, dan beberapa kali melangkah maju untuk menyerang.

Zuiju berlari ke arah belakang sekuat tenaganya.

Ia berlari kembali ke arah ia datang. Pepohonan yang tinggi dengan cepat dilewatinya.

Lari, lari!

Meskipun tanpa menoleh, ia sudah tahu kalau ia cukup jauh. Suara pertarungan semakin jauh dan hampir tidak terdengar. Kali ini ia tidak perlu khawatir kalau Fanlu mengejar, apalagi pria itu terluka cukup parah, ia tidak akan muncul lagi seperti hantu.

Suara angin bergaung di telingannya.

Zuiju berlari ke arah bebatuan, menyembunyikan dirinya di sebuah gua kecil. Gua itu cukup tersembunyi dan seharusnya bisa menghindari para pengejar di belakangnya, dan juga seseorang lainnya.

Zuiju bernapas terengah-engah di ruangan kecil itu.

Ia sudah bebas.

Ia duduk di dalam gua. Hatinya terasa gusar dan ia tidak bisa tenang. Ia berencana menunggu malam untuk melanjutkan perjalanan dengan begitu ia bisa menghindari para perampok itu.

Tapi bagaiamanan nasib pria itu, Zuiju berdiri.

Apa ia sudah mati?

Pria menjengkelkan itu.

Pria yang sangat licik.

Seorang penipu kejam yang senang berbuat curang…. Apa ia sudah mati? Ia tidak mungkin terbunuh oleh para perampok itu. Para perampok itu begitu banyak dan mereka bisa mengepungnya dan mencicang tubuhnya.

Pemikiran ini membuat Zuiju gemetar. Tidak, tidak…. Tidak mungkin!

Bukankah para penjahat selalu berumur ratusan tahun, jadi orang seperti dia ….

Zuiju berjalan lagi ke arah tadi ia datang. Ia telah melewati jalan itu dua kali hari ini, ia sudah agak akrab dengan jalurnya. Awalnya ia berjalan dengan ragu. Entah untuk alasan apa, ia tiba-tiba mulai berlari bahkan lebih cepat dibanding ketika ia melarikan diri tadi.

Zuiju berlari kembali ke tempat tadi lalu tiba-tiba ia berhenti.

Sekitarnya sangat sunyi, bahkan kicauan burung juga tidak terdengar. Bau darah tercium dimana-mana, darah yang berceceran di tanah sudah mongering. Mayat bergeletakan berantakan.

Zuiju melihat ke sekelilingnya berusaha menemukan mayat pria licik itu.

Tidak, ia tidak berharap menemukannya.

Zuiju dengan putus asa melewati mayat-mayat itu. Ia pernah melihat pemandangan ini sebelumnya, bahkan lebih mengerikan, ketika di kediaman terpencil Tuan Besar Zhen Beiwang.

Tapi saat itu ia tidak sekhawatir sekarang.

Apa pria itu sudah mati?

Mati?

Kakinya menyentuh sesuatu. Ia menunduk, airmatanya mengalir.

Itu busurnya, busur kesayangannya yang senang ia genggam dan mainkan.

Zuiju berlutu, menngangkatnya dan berdiri lagi. Ia tersandung lagi ketika mencarinya.

Dimana, diamana dia?

Ia tak mungkin tertangkap ya kan? Ia telah membunuh begitu banyak perampok. Kalau ia masih hidup, mungkin ia akan disiksa, mungkin….

Zuiju tiba-tiba berhenti.

Rumput yang setinggi separuh tubuhnya sepertinya menyembunyikan sesuatu. Meskipun Zuiju tak bisa melihatnya, ia segera berlari mendekati.

Sebuah tubuh yang dikenalnya sedang berbaring di atas rerumputan.

Zuiju berlutut menarik tangan pria itu untuk memeriksa nadinya.

Syukurlah, ia masih hidup.

“Hei! Hei!” Zuiju menamparnya.

Wajah Fanlu penuh darah dan lumpur, tapi ia masih bisa membuka matanya sedikit. Ia berguman, “Bodoh, kenapa kau masih disini?”

Zuiju terkejut. Ia menggertakan giginya, “Kau masih hidup?”

Fanlu tersenyum sedikit lalu ia pingsan.

“Hei! Hei! Hei! Kau pria licik, jangan mati di depanku!”

Zuiju sama sekali tidak mengerti Fanlu, dan ia lebih tidak mengerti dirinya sendiri.

Kesempatan yang begitu besar tapi ia malah dengan bodohnya berlari kembali dan membawa pria licik ini, yang sedang sekarat. Ia melakukannya dengan bantuan alat yang digunakan Fanlu kemarin, dan akhirnya ia berhasil menemukan kuda mereka.

Fanlu yang terluka parah, beratnya melebihi seekor babi hutan besar. Zuiju terengah-engah setiap kali menariknya.

Ia berniat mengobati luka pria itu, dan ia bahkan melupakan niatnya untuk mengirim surat untuk gurunya. Hal yang membuatnya khawatir pada gurunya adalah ia telah membuat kemampuan pengobatannya terkurung begitu lama.

Ia dengan susah payah mencapai tempat dimana ia bisa menemukan orang-orang untuk mendapatkan pertolongan. Ia mengeluarkan uang dari dompet Fanlu, menulis resep dan membelinya. Begitu ia selesai merebus obatnya, membalut lukanya ia merasa kelelahan luar biasa.

“Kau masih disini?” Fanlu berkata pelan. Itu hal pertama yang ia ucapkan sejak ia membuka matanya.

Zuiju sambil membalut lukanya memberikan tatapan berkuasa seorang tabib padanya. “Kau kehilangan banyak darah, diamlah.”

“Kau seorang tabib?”

“Hmph.”

Fanlu berkata lalu ia pingsan lagi.

Tubuhnya cukup kuat, lukanya pulih dengan cepat. Meskipun ia tidak terlihat cukup kuat, ia mengeluarkan keringat dingin sepanjang hari dan malam, Zuiju bahkan harus menyuapinya.

Zuiju sangat gelisah dan ia telah mengeluarkan segala kemampuannya, berharap pria itu segera sadar.

Hari itu, ketika Zuiju membawakan obat yang sudah direbus, ia menemukan kalau pria itu sudah bangun. Ia sudah berpakaian lengkap dan panah di tangannya, terlihat sehat dan bugar. Ia terlihat siap untuk pergi, perubahan luar biasa dari sikap lemahnya kemarin.

“Ayo berangkat.”

“Kita? Berangkat kemana?”

“Qierou tentu saja.”

Zuiju tiba-tiba mengerti dan ia berteriak. Ia meletakan mangkuk obatnya dan berlari ke pintu, Fanlu lebih cepat, ia menghalangi di depan pintu. Fanlu tersenyum jahil, “Apa kau sudah lupa apa yang akan terjadi padamu kalau kau berusaha kabur lagi?”

Zuiju berkata dengan marah, “Kau curang! Kau terlihat tidak berdaya kemarin, ternyata kau hanya berpura-pura, kau…”

“Aku memang menipumu, dan kalau kau memancingku lagi, aku bisa lebih curang lagi.” Fanlu menarik dagu Zuiju, tangannya mengusap bibirnya yang merah.

Zuiju gemetar.

“Aku sudah menyelamatkanmu.” Ia berkata.

“Aku juga menyelematkanmu.”

Zuiju gemetar marah, “Aku menyelematkanmu, tapi tidak mengurungmu.”

“Itulah mengapa,” Fanlu mengangguk, “Kau menyebutku licik.”

Ia kembali ke kota Qierou bersama Fanlu sekali lagi.

Ia menempati tempat yang sama dan melihat senyum mengejek dari pria itu, setiap hari.

Zuiju tidak mengerti.

Tidak mengerti sama sekali tentang pria itu.

Kecuali dunia menjadi kacau dan Fanlu membawanya pergi, mungkin ia tidak akan pernah meninggalkan tempat ini seumur hidupnya.

Ia bahkan mungkin tak akan pernah bisa mengerti pria licik itu seumur hidupnya juga.

--00--


Home


novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia