Untuk
bisa mengerti seorang pria mungkin membutuhkan waktu seumur hidupmu.
Tapi
untuk beberapa pria, mungkin seumur hidup masih tidak cukup, begitu yang
dipikirkan Zuiju.
Fanlu
adalah jenis pria yang baik hati tapi juga menyebalkan. Terkadang sifatnya
terlihat lebih tidak stabil daripada wanita. Kalau kau memperhatikannya,
matanya terkadang menyiratkan kebaikan. Tapi sesaat kemudian menjadi curiga
seperti raja siluman yang hendak memakan manusia. Setelah beberapa saat sebuah
senyum iseng tiba-tiba muncul.
Pria
itu adalah orang licik.
Ia
dengan santai memegang busurnya sambil memojokan Zuiju ke pojok. Lalu, dengan
alasan tidak jelas dan aneh, ia membawanya dari gigi-gigi tajam sekelompok
serigala yang kelaparan, menyelamatkannya.
Meskipun
ia telah menyelamatkan Zuiju, ia tidak membebaskannya.
“Kalau
kau ingin melarikan diri, aku akan memburumu seperti kelinci.” Ketika
mengatakannya, sebuah senyum jahat bermain di sudut bibirnya.
Zuiju
melototo balik padanya, diam-diam bertekad jangan sampai tertangkap olehnya.
Tapi
tekad itu tidak bisa di penuhi. Selama setahun ini, ia tidak memiliki
kesempatan untuk melarikan diri.
Fanlu
sungguh ahli memenjarakan orang. Ia selalu bisa menebak rencana pelarian jangka
panjang Zuiju, dan tertawa jahil karena dengan mudahnya menghancurkan mimpi
indah Zuiju.
“Kenapa?”
Zuiju bertanya dengan kesal.
“Kau
bukan orang militer. Kau tak pernah belajar pertempuran tanpa senjata atau
membebaskan tahanan dengan pasti. Kau juga tak pernah belajar bagaimana menemukan
musuh di tempat persembunyian mereka.” Fanlu lalu menjawab pertanyaan lainnya,
“Bagaiamana mungkin kau bisa lolos dari tanganku?”
“Mengapa
kau menahanku? Bukankah lebih baik kalau kau membunuhku? Aku tidak ingin hidup
lagi.”
Fanlu
menjawab dengan bertanya lagi, “Apa kau sungguh tidak ingin hidup?”
Zuiju
terkejut.
Ketika
ia tersdar dari pingsannya, ia memikirkan kondisi Pingting dan ia benar-benar
tidak ingin hidup lagi.
Tapi
sekarang?
Kalau
kematiannya tidak diketahui, apa yang akan dilakukan gurunya?
Ia
hanya bisa menahan teriakannya dan berkata dengan berguman, “Entah aku ingin
mati atau tidak, bukan urusanmu sama sekali.”
Fanlu
terkejut dan tertawa dingin, “Ketika aku memutuskan jawabanku atas
pertanyaanmu, mungkin hidup bukan pilihan lagi.”
Dengan
Fanlu sebagai orang yang berkuasa di kota Qierou, pertahanannya menjadi lebih
kuat. Tapi Zuiju masih pantang menyerah untuk melarikan diri.
Fanlu
akhirnya merasa sudah cukup kali ini. Ia memegang pergelangan tangan Zuiju, dan
memojokannya ke dinding. “Megapa kau begitu ingin kembali ke Dong Lin?”
“Siapa
yang bilang aku ingin kembali ke Dong Lin.”
“Kalau
begitu gunung Songsen?”
“Bukan
urusanmu!”
“Ah,
sudah kuduga…” Fanlu menahannya sehingga ia tidak bisa bergerak, tapi Fanlu
tersenyum kali ini. Sebuah tatapan kemenangan muncul di wajahnya. Ia berkata
pelan, “Karena Bai Pingting berada di gunung Songseng.”
Zuiju
terkejut. Ia mengigit bibirnya dan menoleh ke arah lain.
Pingting,
kalau Pingting masih berada di gunung Songsen, mungkin….
“Kau
membawa tusuk rambut giok itu untuk mencari pertolongan untuk Bai Pingting,
benar?” Fanlu berkata sambil memojokkannya ke dinding dan menatapnya dengan
tajam. Fanlu memperhatikannya dan berkata dengan pelan, “Dugaanku, kalau Bai
Pingting tidak mati kedinginan, maka ia mati kelaparan.”
“Bohong!
Kau Bohong, Bohong, Bohong!” Zuiju berteriak sambil menangis, “Ia pasti sudah
diselamatkan seseorang, atau mungkin ia masih ada sisa tenaga untuk turun gunung.
Atau ia…”
Tiba-tiba
Zuiju berhenti bicara, terkejut, ia menyadari dirinya berada dalam pelukan
Fanlu. Seumur hidupnya selain gurunya, ia tak pernah begitu sedekat ini dengan
seorang pria. Ia merasa dirinya mulai terbakar api ketika berada dalam pelukan
Fanlu.
Zuiju
berteriak, dengan sekuat tenaga mendorong Fanlu menjauh. “Jangan sentuh aku!”
Zuiju
mengumpulkan seluruh tenaganya untuk satu dorongan itu. Fanlu mundur dua
langkah, ia berusaha menyeimbangkan dirinya. Ekspresi wajahnya berubah beberapa
kali. Lalu ia berbalik dan pergi. Zuiju akhirnya mampu bernapas lega, ia
menarik napas panjang untuk mengisi penuh paru-parunya.
Fanlu
kembali ketika hari sudah sore. Ia membawa makan malam Zuiju, dan seguci arak
untuk dirinya sendiri. Zuiju menundukkan kepalanya selama makan. Fanlu duduk di
depannya, meminum araknya tanpa menggunakan cangkir. Begitu araknya habis, ia
menatap Zuiju dalam-dalam.
Tatapannya
dingin dan kejam, kedua bola matanya menyembunyikan semua niat buruknya.
Seperti menarik senar sampai kencang sekali, sehingga sedikit sentuhan saja
akan membuat kekacauan luar biasa.
Makanan
itu sepertinya menyangkut semua di tenggorokan Zuiju. Ia merasa seperti sedang
berhadapan dengan hewan liar buas, ia segera meletakan sumpitnya dan mundur ke
pojokan tempat tidurnya. Meskipun ruangan itu agak besar tapi Zuiju tidak bisa
melepaskan diri dari tatapan tajam Fanlu.
Zuiju
menutup mulutnya rapat-rapat. Hal itu membuat Fanlu semakin mirip dengan hewan
buas yang sedang bersembunyi mengintai mangsanya.
Zuiju
berpikir kalau ia sudah melewati hal yang paling mengerikan. Tapi sekarang ia
menyadari, ada hal yang lebih mengerikan selain menunggu.
Biasanya
Fanlu selalu berkata dengan kasar dan kejam, tapi saat ini Fanlu sungguh
membuatnya takut setengah mati.
Fanlu
tidak berkata apapun sepanjang malam itu dan hampir membuat Zuiju gila dengan
tatapannya, dan akhirnya Fanlu berdiri lalu pergi lagi.
Zuiju
menyaksikan punggungnya yang menghilang dan ia merasa telah terbebas dari
musibah. Ia menyeka dahinya yang sudah dipenuhi keringat.
Tapi
mimpi buruknya belum berakhir, selama sepuluh hari Fanlu datang dengan membawa
arak. Pernah sekali Fanlu memojokannya di tempat tidur dalam keadaan setengah
mabuk dan menatap Zuiju dengan matanya yang memerah. Zuiju yang merasa terancam
berteriak kencang.
Teriakan
Zuiju membuat Fanlu kembali tersadar.
Fanlu
mengelengkan kepalanya dan ia pergi.
Zuiju
sungguh tidak tahan dengan siksaan seperti itu. Naluri wanitanya mengerti
maksud dari senyum dingin yang terukir di wajah Fanlu.
Zuiju
menatap tak berdaya ke arah pintu, tempat ini terasa semakin sunyi dan
mengerikan dari pada sebelumnya.
Kalau memang
terjadi…..
Aku akan memilih
mati.
Zuiju
mengepalkan tinjunya dengan kuat.
Entah
sudah berapa hari yang lewati, akhirnya Fanlu berhenti mabuk.
“Mengapa
kau tidak berusaha kabur hari ini?”
“Hmmph.”
“Tut
tut, aku berencana membuatmu telanjang bulat kalau kau mengisi otakmu dengan
rencana aneh lagi dalam pelarian dirimu berikutnya. Siapa yang bisa menduga
kalau kau sangat patuh, sungguh disayangkan, sangat disayangkan.”
“Kau…”
Sepertinya
tingkah Fanlu kemarin hanya sandiwara. Hari ini ia benar-benar tidak mabuk.
Fanlu terkadang bertingkah kejam tapi
terkadang ia senang mengejek Zuiju seperti hari ini.
Ketika
Fanlu datang membawakan makam malam, ia tiba-tiba berkata, “Apa kau mau
memeriksa gunung Songsen?”
Zuiju
terkejut.
Ekspresi
Fanlu tenang dan sepertinya tidak mengerti tentang perkataannya.
“Mau
kesana?”
“Ah?”
“Kalau
tidak mau ya sudah.” Fanlu berbalik hendak pergi.
Zuiju
segera berteriak, “Mau! Aku mau!”
Langkah
Fanlu terhenti. Punggungnya terlihat gagah.
Zuiju
menatap punggung itu.
Dasar bodoh, ia
sedang berbohong padamu.
Bodoh, ia mengejekmu
lagi, seperti mengejek anak anjing kecil dalam kandangnya.
“Begitu
aku selesai mengurus kerjaanku, kita akan berangkat.”
Fanlu
mengatakannya dengan singkat, Zuiju hampir merasa pendengarannya bermasalah. Ia
berdiri di tengah ruangan, terkejut, memutar otaknya berkali-kali dengan tidak
percaya.
Tapi
Fanlu sudah pergi.
Meskipun
Zuiju sama sekali tidak mempercayainya, setelah tiga hari berlalu, mereka
memulai perjalanan.
Fanlu
tidak membawa pengawal, mereka hanya pergi berdua.
Kota
Qierou sangat dekat dengan gunung Songsen. Ketika Fanlu membawa Zuiju dalam
keadaan pingsan membutuhkan waktu hampir satu bulan. Tapi sekarang, dengan
mereka berdua menaiki kuda, hanya membutuhkan waktu sepuluh hari.
Zuiju
berkata, “Kau takut aku akan membuka rahasiamu.”
“Hm?”
“Kau
membohongi Pejabat Senior Yun Chang, memalsukan laporan kematian Bai Pingting.
Kalau aku berteriak di tengah kerumunan, kau akan mati. karena itu kau tidak
berani membawaku ke tempat orang banyak.”
Fanlu
berkata dengan dingin, “Aku hanya tidak ingin menjadi orang yang mengorok
lehermu.”
Mereka
berdua berharap bisa mencapai gunung Songseng secepatnya. Fanlu dengan
jabatannya sebagai Gubernur kota, kepergiannya seharusnya setelah mendapatkan
ijin.
Hati
Zuiju semakin sakit setiap kali kudanya melangkah mendekati gunung Songsen.
Pingting, apa kau
masih hidup?
Aku sungguh berharap
tidak menemukanmu di tempat itu.
Mereka
berdua berderap dengan cepat, sampai akhirnya mencapai gunung Songsen.
Fanlu
menemukan semak untuk menyembunyikan kuda mereka, lalu mengelurkan kait dari
pinggangnya, “Aku akan memperlihatkanmu bagaimana seorang mata-mata sejati
memanjat gunung.”
Ia
telah mempersiapkan dua benda, yang satu diberikannya pada Zuiju.
Gunung
Songsen sudah seperti kampung halaman Fanlu. Ia seperti monyet ketika berada di
hutan dan seekor singa liar begitu berada di rerumputan. Zuiju melihatnya
melompati bebatuan dengan mudah dan ia juga sangat berpengalaman dengan tumbuhan
beracun, begitu juga dengan perangkap-perangkap alam.
Dulu,
ia dan Pingting membutuhkan beberapa hari melewati area bebatuan ini dengan
susah payah. Dengan Fanlu memimpin di depan, mereka bisa melewatinya hanya
dalam satu hari.
Zuiju
sungguh terkesan.
“Apa
kita sudah sampai?”
“Benar.”
Tidak
ada batu yang berubah.
Berdiri
di depan daerah bebatuan, Zuiju mengingat angin dan salju yang dulu.
Tiupan
angin yang kencang, Pingting yang pucat dan kilau tusuk konde giok di
kegelapan.
“Aku
akan bergegas menuju tempat Yangfeng dan memintanya untuk mengirim seseorang
yang berpengalaman di gunung ini bersama gingseng terbaik. Aku akan membuat
persiapan disana, agar kami siap begitu kau tiba.”
Tiga
hari, hidup atau mati, hanya tiga hari.
“Pingting!
Pingting!” Zuiju tak bisa menahan teriakannya.
Fanlu
berdiri agak jauh menyaksikan Zuiju yang mencari dengan gelisah.
Setelah
mencari dengan seksama, ia mencari lagi.
Langit
mulai gelap. Fanlu melangkah mendekati Zuiju ketika penglihatannya mulai pudar.
Zuiju
yang kelelahan akhirnya berhenti. Ia duduk dan terengah-engah. Ketika ia
menyadari langkah kaki Fanlu, ia menegadah dan berkata pelan, “Aku tidak
menemukannya, aku tidak menemukannya.” Airmatanya berjatuhan, ia menangis
gembira, “Sungguh hebat, Pingting tidak ada disini. Ia pasti sudah turun, sudah
turun…” Zuiju begitu gembira. Ia pasti sudah gila, karena ia berlari dan
memeluk Fanlu sambil menangis, “Pingting pasti masih hidup. Aku tahu ia tidak
akan mati.”
Ketika
ia mengadah, ia melihat Fanlu tersenyum. Fanlu tidak pernah membalas seperti
itu, dan Zuiju akhirnya tersadar.
Pria ini, pria ini….
Senyum
Zuiju membeku ketika ia menunduk. Dan ia lebih terkejut lagi ketika menyadari
kedua tangannya sedang memeluk Fanlu.
“Ah!”
Zuiju berteriak, melepaskan tangannya dan mendorong Fanlu.
Hatinya
seperti berlompatan kesana kemari karena tingkah anehnya sendiri. Ia tidak
berani menatap Fanlu.
Suasana
di sekitarnya menjadi lebih kaku dan sunyi.
“Hmph…”
Dalam
kesunyian, Fanlu tersenyum mencurigakan yang membuat Zuiju merasa agak takut.
Mereka
berdua bermalam di area bebatuan.
Mungkin
karena puncak gunung Songsen yang masih tertutup salju, Zuiju merasa malam ini
lebih dingin dari biasanya. Paginya ketika Zuiju terbangun ia terkejut melihat
tatapan Fanlu.
Tatapannya
lebih gelap dari pada biasanya. Di gunung Songsen ini Fanlu terlihat seperti
binatang buas yang memangsa manusia.
Zuiju
mengikuti Fanlu dengan diam menuruni gunung. Mereka turun tanpa menggunakan
peralatan ketika mendaki kemarin. Fanlu perlahan berjalan munuju hutan. Zuiju
masih mengikuti di belakang dan perlahan merasa tidak yakin.
Mata
Fanlu terlihat berbahaya.
Sekarang
ia sudah tahu, Pingting tidak berada di tempat itu, mengapa ia tidak mengambil
kesempatan ini untuk kabur? Jantung Zuiju berdetak kencang ketika ia
memperhatikan Fanlu yang berada di depannya.
Fanlu
berjalan dengan serius tanpa sekalipun menoleh pada Zuiju.
Zuiju
mengikutinya dengan patuh, sampai ketika mereka tiba di persimpangan dan
tiba-tiba Zuiju berlari kencang ke arah hutan di belokan yang lain.
Angin
mulai menderu.
Zuiiju
tidak berani menoleh ke belakang. Ia sudah tahu kemampuan melacak Fanlu di area
gunung. Karena itulah ia tetap berlari tanpa berhenti. Pepohonan di hutan sudah
lebat dedaunan, tidak setandus ketika musim dingin. Ia terus mengatakan pada
dirinya untuk terus berlari demi kebebasannya.
Ia
berlari sekencang ia bisa, tanpa berhenti ataupun menoleh.
Ia
melewati jalan setapak bebatuan. Semak-semak yang lebat dan pepohonan yang
tinggi berlalu dengan cepat di sisinya.
Paru-parunya
terasa terbakar membuatnya merasa sakit.
Ia
tidak tahu sudah berapa lama ia berlari dan sudah berapa jauh, tapi ia sudah
tidak mampu melangkah lagi. Kedua lututnya lemas, ia berhenti dan bersandar di
sebuah pohon, berusaha mengatur napasnya.
“Sudah
cukup berlarinya?” suara seorang pria dari atas.
Zuiju
segera menoleh ke atas menarik napas panjang.
Fanlu
sedang duduk santai di atas pohon, sorot matanya yang dingin menatap Zuiju.
Sebelum
Zuiju sempat melangkah, Fanlu melompat dan berdiri tepat di depannya.
“Bukankan
aku sudah pernah mengatakan apa yang akan terjadi kalau kau mencoba melarikan
diri lagi?” Fanlu menghela, “Kenapa kau masih saja melakukannya?”
Zuiju
akhirnya mampu bersuara, “Kau sengaja.” Zuiju melangkah mundur sambil ketakutan
dan marah, “Kau menipuku, ahh!”
Fanlu
memeluknya, “Apa yang berani dilakukan si penipu, aku juga berani.” Ia
melepaskan sebelah tangannya.
Breet!
Fanlu merobek selapis pakaian Zuiju.
“Hentikan!
Lepaskan aku, lepaskan!”
Breet.
Pakaiannya jatuh ke tanah.
Zuiju
akhirnya mengerti betapa mengerikannya kekuatan seorang pria. Ia mulai
menangis, “Aku tidak akan kabur lagi, lepaskan.”
“Terlambat,”
Fanlu mendorongnya ke tanah dan menindihnya.
“Hentikan,
hentikan!”
Napas
berat Fanlu terasa di lehernya. Giginya mengigit kulit Zuiju yang putih.
“Hentikan,”
Zuiju dengan putus asa mengelengkan kepalanya.
Bahu
Zuiju yang lembut menyentuh kerikil di tanah. Ia bisa melihat awan badai yang
mengerikan di atas.
Zuiju
putus asa menoleh ke atas, tubuhnya terasa dingin ketika selapis lagi
pakaiannya robek menjadi dua bagian, ia berteriak ke segala arah. Sekarang ia
hanya mengenakan selapis pakaian terakhirnya yang sudah tak mampu lagi
melindunginya.
“Aku
mohon….”
“Terlambat.”
Zuiju
memejamkan matanya dalam keputusasaan.
Tiba-tiba
ia merasa beban di atas tubuhnya menghilang, Fanlu sudah pergi? Zuiju membuka
matanya karena terkejut, ia melihat Fanlu sedang berdiri dan matanya sangat
waspada.
“Siapa
disana?” Fanlu berkata.
“Nona
itu lumayan cantik.” Sekelompok orang bermunculan dari dalam hutan, mereka
bergerak mengepung. Seorang pemimpin mereka menatap Zuiju dan mejilati
bibitnya, “Kak, tidak seru kalau makan sendirian. Kau bisa duluan setelah itu
biarkan kami mencicipinya juga, ok?”
Perampok?
Dada Zuiju terasa sesak. Ia segera duduk dan memeluk tubuhnya.
Fanlu
diam sebentar dan mengangguk, “Benar, memang tidak enak kalau makan sendiri.”
Ketika berkata ia melepaskan mantelnya dan melemparkannya ke dekat kaki Zuiju.
“Hah,
sepertinya kau sudah pengalaman.”
“Tapi,
aku lebih suka makan sendirian.” Fanlu tertawa mengejek.
Para
perampok itu terkejut.
“Orang
macam apa yang tidak takut kematian?” si pemimpin memberi perintah dengan
dagunya, “Anak-anak, serang!”
Sekitar
sepuluh orang mengeluarkan pedang mereka dan berlari kea rah Fanlu.
Fanlu
mengeluarkan busurnya, meletakan dua anak panah dan melepaskannya dengan dua
desiran angin.
“Bunuh
dia!”
“Whuss,
whusss! Dua panah melayang lagi, tapi jumlah musuh terlalu banyak. Mereka sudah
sudah mengepun rapat mereka. Fanlu melemparkan busurnya dan mengeluarkan
pedangnya. Pedangnya beradu dengan pedang lawannya.
“Ah!”
Zuiju berteriak dari belakangnya. Fanlu berbalik dan menusuk perampok yang
menerkam Zuiju.
Suara
pedang membelah angin di belakangnya terdengar tapi Fanlu terlambat ketika ia
berbalik. Ia merasakan sakit di lengan kanannya dan darah segar mulai mengalir
ke tanah.
Klang,
Fanlu memindahkan pedangnya ke tangan kiri, ia mengerakan tangannya menahan
satu serangan lainnya. Ia berbalik dan melotot pada Zuiju, “Kenapa kau masih
disini?”
Zuiju
sudah mengambil mantel Fanlu dan mengenakannya. “Aku…”
“Lari.”
Fanlu berkata dengan dingin. Ekspresinya menjadi lebih gelap ketika sebuah
suara pedang menusuk tubuhnya lagi. Kemarahanya muncul bersamaan dengan
lukanya. Matanya merah ketika ia berteriak, “Aku akan melawan kalian sampai
mati!”
Ia
menghalangi para perampok yang hendak mengejar Zuiju, dan beberapa kali
melangkah maju untuk menyerang.
Zuiju
berlari ke arah belakang sekuat tenaganya.
Ia
berlari kembali ke arah ia datang. Pepohonan yang tinggi dengan cepat
dilewatinya.
Lari, lari!
Meskipun
tanpa menoleh, ia sudah tahu kalau ia cukup jauh. Suara pertarungan semakin
jauh dan hampir tidak terdengar. Kali ini ia tidak perlu khawatir kalau Fanlu
mengejar, apalagi pria itu terluka cukup parah, ia tidak akan muncul lagi
seperti hantu.
Suara
angin bergaung di telingannya.
Zuiju
berlari ke arah bebatuan, menyembunyikan dirinya di sebuah gua kecil. Gua itu
cukup tersembunyi dan seharusnya bisa menghindari para pengejar di belakangnya,
dan juga seseorang lainnya.
Zuiju
bernapas terengah-engah di ruangan kecil itu.
Ia
sudah bebas.
Ia
duduk di dalam gua. Hatinya terasa gusar dan ia tidak bisa tenang. Ia berencana
menunggu malam untuk melanjutkan perjalanan dengan begitu ia bisa menghindari
para perampok itu.
Tapi
bagaiamanan nasib pria itu, Zuiju berdiri.
Apa
ia sudah mati?
Pria
menjengkelkan itu.
Pria
yang sangat licik.
Seorang
penipu kejam yang senang berbuat curang…. Apa ia sudah mati? Ia tidak mungkin
terbunuh oleh para perampok itu. Para perampok itu begitu banyak dan mereka
bisa mengepungnya dan mencicang tubuhnya.
Pemikiran
ini membuat Zuiju gemetar. Tidak, tidak…. Tidak mungkin!
Bukankah
para penjahat selalu berumur ratusan tahun, jadi orang seperti dia ….
Zuiju
berjalan lagi ke arah tadi ia datang. Ia telah melewati jalan itu dua kali hari
ini, ia sudah agak akrab dengan jalurnya. Awalnya ia berjalan dengan ragu.
Entah untuk alasan apa, ia tiba-tiba mulai berlari bahkan lebih cepat dibanding
ketika ia melarikan diri tadi.
Zuiju
berlari kembali ke tempat tadi lalu tiba-tiba ia berhenti.
Sekitarnya
sangat sunyi, bahkan kicauan burung juga tidak terdengar. Bau darah tercium
dimana-mana, darah yang berceceran di tanah sudah mongering. Mayat bergeletakan
berantakan.
Zuiju
melihat ke sekelilingnya berusaha menemukan mayat pria licik itu.
Tidak,
ia tidak berharap menemukannya.
Zuiju
dengan putus asa melewati mayat-mayat itu. Ia pernah melihat pemandangan ini
sebelumnya, bahkan lebih mengerikan, ketika di kediaman terpencil Tuan Besar
Zhen Beiwang.
Tapi
saat itu ia tidak sekhawatir sekarang.
Apa
pria itu sudah mati?
Mati?
Kakinya
menyentuh sesuatu. Ia menunduk, airmatanya mengalir.
Itu
busurnya, busur kesayangannya yang senang ia genggam dan mainkan.
Zuiju
berlutu, menngangkatnya dan berdiri lagi. Ia tersandung lagi ketika mencarinya.
Dimana,
diamana dia?
Ia
tak mungkin tertangkap ya kan? Ia telah membunuh begitu banyak perampok. Kalau
ia masih hidup, mungkin ia akan disiksa, mungkin….
Zuiju
tiba-tiba berhenti.
Rumput
yang setinggi separuh tubuhnya sepertinya menyembunyikan sesuatu. Meskipun
Zuiju tak bisa melihatnya, ia segera berlari mendekati.
Sebuah
tubuh yang dikenalnya sedang berbaring di atas rerumputan.
Zuiju
berlutut menarik tangan pria itu untuk memeriksa nadinya.
Syukurlah,
ia masih hidup.
“Hei!
Hei!” Zuiju menamparnya.
Wajah
Fanlu penuh darah dan lumpur, tapi ia masih bisa membuka matanya sedikit. Ia
berguman, “Bodoh, kenapa kau masih disini?”
Zuiju
terkejut. Ia menggertakan giginya, “Kau masih hidup?”
Fanlu
tersenyum sedikit lalu ia pingsan.
“Hei!
Hei! Hei! Kau pria licik, jangan mati di depanku!”
Zuiju
sama sekali tidak mengerti Fanlu, dan ia lebih tidak mengerti dirinya sendiri.
Kesempatan
yang begitu besar tapi ia malah dengan bodohnya berlari kembali dan membawa
pria licik ini, yang sedang sekarat. Ia melakukannya dengan bantuan alat yang
digunakan Fanlu kemarin, dan akhirnya ia berhasil menemukan kuda mereka.
Fanlu
yang terluka parah, beratnya melebihi seekor babi hutan besar. Zuiju
terengah-engah setiap kali menariknya.
Ia
berniat mengobati luka pria itu, dan ia bahkan melupakan niatnya untuk mengirim
surat untuk gurunya. Hal yang membuatnya khawatir pada gurunya adalah ia telah
membuat kemampuan pengobatannya terkurung begitu lama.
Ia
dengan susah payah mencapai tempat dimana ia bisa menemukan orang-orang untuk
mendapatkan pertolongan. Ia mengeluarkan uang dari dompet Fanlu, menulis resep
dan membelinya. Begitu ia selesai merebus obatnya, membalut lukanya ia merasa kelelahan
luar biasa.
“Kau
masih disini?” Fanlu berkata pelan. Itu hal pertama yang ia ucapkan sejak ia
membuka matanya.
Zuiju
sambil membalut lukanya memberikan tatapan berkuasa seorang tabib padanya. “Kau
kehilangan banyak darah, diamlah.”
“Kau
seorang tabib?”
“Hmph.”
Fanlu
berkata lalu ia pingsan lagi.
Tubuhnya
cukup kuat, lukanya pulih dengan cepat. Meskipun ia tidak terlihat cukup kuat,
ia mengeluarkan keringat dingin sepanjang hari dan malam, Zuiju bahkan harus
menyuapinya.
Zuiju
sangat gelisah dan ia telah mengeluarkan segala kemampuannya, berharap pria itu
segera sadar.
Hari
itu, ketika Zuiju membawakan obat yang sudah direbus, ia menemukan kalau pria
itu sudah bangun. Ia sudah berpakaian lengkap dan panah di tangannya, terlihat
sehat dan bugar. Ia terlihat siap untuk pergi, perubahan luar biasa dari sikap
lemahnya kemarin.
“Ayo
berangkat.”
“Kita?
Berangkat kemana?”
“Qierou
tentu saja.”
Zuiju
tiba-tiba mengerti dan ia berteriak. Ia meletakan mangkuk obatnya dan berlari ke
pintu, Fanlu lebih cepat, ia menghalangi di depan pintu. Fanlu tersenyum jahil,
“Apa kau sudah lupa apa yang akan terjadi padamu kalau kau berusaha kabur lagi?”
Zuiju
berkata dengan marah, “Kau curang! Kau terlihat tidak berdaya kemarin, ternyata
kau hanya berpura-pura, kau…”
“Aku
memang menipumu, dan kalau kau memancingku lagi, aku bisa lebih curang lagi.”
Fanlu menarik dagu Zuiju, tangannya mengusap bibirnya yang merah.
Zuiju
gemetar.
“Aku
sudah menyelamatkanmu.” Ia berkata.
“Aku
juga menyelematkanmu.”
Zuiju
gemetar marah, “Aku menyelematkanmu, tapi tidak mengurungmu.”
“Itulah
mengapa,” Fanlu mengangguk, “Kau menyebutku licik.”
Ia
kembali ke kota Qierou bersama Fanlu sekali lagi.
Ia
menempati tempat yang sama dan melihat senyum mengejek dari pria itu, setiap
hari.
Zuiju
tidak mengerti.
Tidak
mengerti sama sekali tentang pria itu.
Kecuali
dunia menjadi kacau dan Fanlu membawanya pergi, mungkin ia tidak akan pernah
meninggalkan tempat ini seumur hidupnya.
Ia
bahkan mungkin tak akan pernah bisa mengerti pria licik itu seumur hidupnya
juga.
--00--
Home
novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia
novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia