Minggu, 26 April 2015

Gu Fang Bu Zi Shang -- 1.8

-- Volume 1 chapter 8 --

Pingting telah beristirahat selama tiga hari tapi pikirannya sangat kacau.

Bunga-bunga di luar sudah mekar sempurna dan berwana merah memikat. Bagaimanapun mata Pingting melewatkannya, matanya beristirahat pada daun-daun hijau yang subur.

Chu Beijie tidak pernah datang selama tiga hari ini.

“Tidak masalah kalau kau tidak datang..”

Ia telah menghabiskan tiga hari untuk khawatir, takut kalau Chu Beijie datang tapi ia juga takut kalau Chu Beijie melupakan ruangan kecilnya. ”Perintah macam apa itu ‘sembuhkan dulu dirimu’?”  Ia lanjut berpikir dan merona lagi, seperti ada seekor anak kucing lucu bermain dengan hatinya. Nyonya Zhang bahkan berkata, “Nona Hong, kau terlihat lebih baik, pipimu bahkan sudah berwana kemerahan dan terlihat lembut.”

Siang itu, Chu Morang memasuki ruangannya, menyampaikan pesan Chu Beijie, “Tidak ada nafsu makan, jadi buatkan sebuah masakan dan bawakan ke ruangan Tuan Besar.”

Masak?  Pingting menggigit bibirnya dan perlahan berjalan ke dapur.

Suasana hati Chu Beijie sedang bagus hari ini. Ia telah menunggu selama tiga hari, padahal biasanya sebagai Tuan Besar Zhen Beiwang, ia selalu mendapatkan apa yang diingingkannya segera. Ia menantikan untuk bisa berdua saja dengan si pelayan munggil dan pintar ini. 

Hong tidaklah cantik, tapi cukup menarik untuk mendapatkan perhatian dan waktunya. Memikirkan dirinya dan saat-saat mereka bersama membuat bibirnya tersenyum sedikit. Pertemuan mereka seperti takdir, karena ia adalah seorang Tuan Besar sedangkan gadis itu hanyalah seorang pelayan biasa.

“Lagipula, ia telah menderita karena sakitnya untuk beberapa lama, Hukuman langit sudah cukup untuknya,”  ia berpikir untuk menyakinkan dirinya.

Chu Beijie biasanya tidak mudah memaafkan orang tapi ia dengan mudah memaafkan gadis berbakat ini. Hari ini sangat baik. Ia berencana untuk menyantap masakan Hong, mendengarkan permainannya, lalu merayunya dengan pesonanya.

Siasat ini bermain di kepalanya, bersanding dengan adegan pembunuhan yang biasanya, semua ini hanya karena seorang gadis yang bahkan tidak cantik.

Begitulah, setelah mencoba sesendok sup buatan Pingting. Senyumnya langsung menghilang.

Pingting memperhatikan reaksinya.

“Tuanku tidak pernah memakan apapun buatanku.”

Ekspresi Chu Beijie sangat aneh ketika ia mengangguk. “Tuanmu sangat cerdik?” Ia agak ragu sebelum akhirnya berkata, “Sup ini mengerikan.”

Pingting sudah khawatir tapi ketika melihat ketenangannya yang biasa dengan wajah tampannya, begitu tidak serasi, membuatnya merasa geli hingga tak bisa menahan senyumnya dan dua lesung pipit nampak di wajahnya.

Chu Beijie mengeluh, “Sekarang aku sadar, mengapa mereka bisa mengatakan: Ia yang tahu resep terbaik belum tentu seorang jago masak yang hebat.”

Pingting mengangguk setuju, “Seperti. Ia yang tahu taktik berperang tidak selalu ikut berperang.”

Komentarnya sangat cocok dengan gaya Chu Beijie. Ia menepuk lututnya sebagai balasan, tertawa kecil, “Perkataan bagus! Perkataan bagus!” Ia tertawa lagi tapi tiba-tiba berhenti dan menatap Pingting dengan mata melebar, “Apa kau sudah sembuh total?”

Suaranya serak dan sangat penuh perhatian. Pingting bisa merasakan niatnya dan menjadi gugup, ia mundur selangkah.

Akan lebih baik kalau ia tidak bergerak, karena Chu Beijie bergerak lebih cepat. Chu Beijie menangkap tangannya, menariknya dan memeluk pinggangnya.

“Kyaa!” Pingting menghembuskan napas, terkejut, lalu ia didekap di dadanya. Ia mendongakkan kepalanya, sampai ia bisa melihat dua bola mata hitam Chu Beijie sedang memperhatikannya dengan jenaka.

Chu Beijie menahan Pingting dengan sebelah tangannya, membuatnya tak bisa bergerak. Lalu ia merendahkan kepalanya dan berbisik di telinganya, “Situasi yang berbahaya. Bagaimana kau akan menyelesaikannya.

Bisikannya membuatnya terkejut, jantungnya hampir melompat keluar dari dadanya. Ia sedikit takut, tapi entah mengapa, ia juga terdorong untuk tersenyum. Ia mengerutkan dahi ketika menatapnya, “Pemenang selalu memutuskan nasib yang kalah, bukankah berarti tidak perlu memberi kerugian yang lebih besar?”

Chu Beijie menjadi tidak yakin, lalu ia mengelengkan kepalanya. “Dimana kekalahannya, aku belum mendengar lagu kekalahan?”

Mulut Chu Beijie sangat dekat dengan lehernya sehingga ia bisa merasakan hembusan napasnya. Terkesima. Pingting seperti ingin bersembunyi di dalam tangan-tangan Chu Beijie. Dengan suara lembut dan mempesona, Pingting bertanya, “Sejak jaman dahulu, hanya ada lagu tentang kemenangan. Sejak kapan ada lagu tentang kekalahan?”

“Kau bisa menyanyikan: permulaan kemudian dan setelah itu, maka akan ada.” Chu Beijie tersenyum mengancam, “Kalau kau tidak bernyanyi, jangan salahkan jika aku membuat kerugian lebih besar terhadapmu.” Ia bergerak, berniat menciumnya.

“Jangan...” Pingting merasa terpojok karena orang ini terlalu licik. Ia hanya bisa melotot menuduh ke arahnya.

Chu Beijie bingung sesaat dengan tatapannya, tapi ia begitu ingin menciumnya, jadi ia terus bergerak  sampai hampir menyentuh bibir Pingting. Kemudian Pingting mulai bernyanyi dengan lembut.

“Burung layang-layang membawa keberuntungan, tapi terlalu banyak keberuntungan membawa kerusakan. Sebuah kebahagian untuk diraih, sebuah kebahagian untuk diraih....”

Seperti yang diharapkan, suara Pingting sangat menyentuh Chu Beijie sehingga ia memejamkan matanya, mendengarkan dengan seksama. Ia hanya membuka matanya beberapa detik setelah lagunya selesai. “Mulai sekarang dan seterusnya, kau tidak boleh bernyanyi di hadapan yang lain, karena terlalu menyentuh perasaan dan hanya akan mematahkan hati mereka nantinya.” Ia mengeluh dua kali, wajah bahagianya berubah serius. “kau terlalu istimewa untuk hanya seorang pelayan dari Kediaman Hua. Siapa kau sebenarnya ?”

Pingting terkejut seperti disambar petir. Ia menemani Tuannya beberapa kali di medan perang, ia seorang penasihat militer yang jujur, ia menguasai taktik perang seperti membalikan telapak tangan. Ia bahkan pernah secara tidak langsung, berperang melawan Panglima Zhen Beiwang yang terkenal, orang yang berada di depannya saat ini, beberapa kali.

Chu Beijie melihat wajah pucatnya, perasaan kasih dan cintanya meluap untuknya. Ia menepuk dahinya dan berbisik, “Jangan takut, katakan saja yang sebenarnya. Aku pasti akan melindungimu. Aku takkan membiarkan siapapun menyakitimu.”

Pingting tersenyum sedikit.

Kalau Chu Beijie tahu ia adalah anggota Kediaman Jin Anwang - Bai Pingting, ia akan tahu kalau ia adalah orang yang menyusun rencana untuk menenggelamkan pasukan Zhen Beiwang. Tak mungkin ia akan melindunginya jika ia tahu bahwa ia mengetahui semua rahasia Keluarga Jin Anwang.

Akibatnya tidak bisa diperkirakan.

“Beritahu aku.” Ia menatap dengan sungguh-sungguh pada dua bola mata hitam itu, “Aku akan membantumu, siapapun dirimu sebenarnya.”

“Aku...”

“Katakan.”

Mata Pingting berkedip ke arah mata Chu Beijie, ia terlihat sangat mendukung. Pingting mengambil napas panjang, “Aku dibesarkan sebagai pemain kecapi di Kediaman Pangeran, sekarang ia seorang Raja di Gui Li.”

Chu Beijie bingung.

“Nama asli Hong adalah Yangfeng dan aku di bawa ke Kediaman Pangeran sejak kecil. Bagaimanapun, Pangeran Su sangat menyukaiku, aku diajarkan bermain kecapi agar aku bisa menghiburnya ketika ia minum arak di kebun.”

“Yangfeng?” Chu Beijie masih penasaran, “Lalu bagaimana kau bisa berakhir di Kediaman Hua?”

Pingting menundukan kepala, menghela napas, “Jujur, aku menjadi sangat terkenal dengan Tuanku. Beberapa orang mulai terancam dengan pengaruhku. Aku begitu bodoh dan naif. Bagaimanapun, aku terjebak masalah besar. Aku seharusnya sudah meninggal, tapi dua temanku membantuku melarikan diri, kemudian aku tertangkap penculik. Begitulah aku bisa sampai di Dong Lin, lalu... aku bertemu Tuan.” Ia mengangkat bahu dan tertawa terpaksa, “Serangkaian kebetulan.”

Chu Beijie memperhatikannya. “Aku benar. Kau memang dari lingkungan Kerajaan.” Ia tahu betul kondisi kehidupan istana dan ia bersimpati padanya. “Jangan Khawatir, aku bertaruh bukan hanya Ratu Gui li tapi He Su sekalipun takkan bisa berbuat apapun terhadapmu.”

Untuk beberapa alasan, ujung kuping Pingting memerah. Melihat Chu Beijie begitu baik, ia segera menundukkan kepada dan membungkuk, “Terima kasih, Tuan Besar.”

Chu Beijie tersenyum, “Kau bisa berdiri sekarang.” Ia membantunya berdiri, dan memperhatikan tangan Pingting. “Ini tangan pemain kecapi yang bagus.” Ia mengenggamnya dengan erat sekarang dan sepertinya tak ingin melepaskannya.

Pingting ingin menyembunyikannya, tapi ia tak bisa. Rasanya seperti Chu Beijie telah mengendalikan hatinya. Ia berpura-pura menyeka tangannya, tapi tak berhasil. “Tuan... “ tapi ia dijawab dengan senyum yang mengoda. Pikirannya menjadi kacau.

Chu Beijie melepas pegangannya ketika ia sudah merasa puas melihatnya merona. “Aku sudah mendengar nyanyianmu, sekarang aku ingin mendengar permainan kecapimu. Hong, bukan, Yangfeng, mainkan sesuatu untukku.”

Suara kecapi mulai terdengar.....

Kemudian terdengar suara gembira dari kejauhan. Sekitar empat orang anak-anak bermain perang salju dan dalam sekejab banyak bola salju dimana mana. Mereka separuh berteriak, separuh tertawa, membuat kekacauan tapi mereka sungguh bersenang-senang.

Suara kecapi menuju akhir yang mengembirakan.

Chu Beiji bersandar dengan nyaman di kursinya lalu membuka matanya dan berkata, “Indah, tapi kenapa tidak ada penggulangan?”

“Tidak ada peraturan untuk menyajikan musik, jadi mengapa tidak berhenti di bagian paling gembira?” Ia mengigit bibirnya.

Mata mereka bertemu dan mereka bertanya-tanya mengapa jantung mereka berdetak begitu kencang. Akhirnya, Chu Beijie berdehem, bertepuk tangan dua kali sambil memberi perintah, “Yangfeng, kemari.”

Pingting berdiri dari duduknya, perlahan melangkah mendekatinya. Hanya sebuah meja yang memisahkan jarak mereka ketika ia berkata, “Apa Tuan berencana menghabiskan supku?”

Meikirkan sup yang mengerikan itu, Chu Beijie menggeleng dengan semangat.

“Jadi... Aku akan membereskannya.”

Ia membawa mangkuk, dan keluar ruangan dengan cepat.

Chu Beijie menyaksikan ia menghilang dengan kagum. Lalu ia bertepuk tangan pelan.

Chu Moran muncul di pintu.

“Tuan.”

“Ada seorang pemain kecapi di Gui Li, bernama Yangfeng.” Chu Beijie mengangkat bahu, “Selidiki dia.”

“Baik, Akan kulakukan segera.”

Pingting mulai terbiasa di Kediaman Zhen Beiwang. Melayani Chu Beijie tidak begitu sulit – sedikit banyak seperti ketika ia berada di Kediaman Jin Anwang. Ia tidak perlu menyiapkan teh atau melakukan pekerjaan kasar. Yang perlu ia lakukan hanya bermain kecapi dan mendengarkan Chu Beijie berbicara.

Semua orang di Kediaman tahu kalau ia istimewa bagi Chu Beijie, dan tak seorangpun berani berlaku buruk padanya. Semua orang memanggilnya dengan ‘Nona Yangfeng’.

Musim panas belum berakhir ketika bunga Lily air mulai berkembang. Suatu hari, mereka berdua sedang berbincang setelah makan siang.

“Seberapa besar dunia ini?”

“Aku yang seharusnya bertanya pada Tuan. Bagaimana aku bisa tahu?” Pingting memiringkan kepalanya, dan sedikit memutar matanya. “Jangan katakan kau ingin tahu, agar kau bisa memerintahkan pasukan untuk menguasainya?”

Chu Beijie tertawa, “Mengapa tidak?”

Pingting menaikan alisnya, “Aku tidak percaya mereka akan menyerah dengan mudah. Ada empat negara. Dong Lin memiliki Tuan tentunya, tapi tiga yang lainnya.... yach, bahkan Tuan Muda Jin Anwang dari Gui Li tidak akan begitu mudah dikalahkan.”

“He Xia?” Chu Beijie mendengus, wajahnya berubah menjadi senyum janggal.

“Ahh benar, kemarin itu, apa maksudmu mengatakan – mungkin aku akan bisa melihat Tuan Muda Jin Anwang segera?” Pinting berpura-pura mengingat, “Aku melihatnya dari balik tirai ketika berada di Kediaman Pangeran. Ia terlihat gagah dan aku memiliki kesan yang bagus padanya. Seseorang yang luar baisa, bisa dikatakan.” Sebelum ia menyadarinya, Chu Beijie telah menggenggam tangannya.

“Kesan yang baik? Seseorang yang luar biasa?” nada suara Chu Beijie berbahaya.

Pingting malah tertawa dengan hal ini. “Apa kau cemburu Tuan?” Melihat Chu Beijie jelas-jelas cemburu, ia segera menambahkan. “Tuan, tolong jangan berpikiran buruk. Lagipula, kudengar ia sedang diburu oleh Raja Gui Li. Mungkin ia sudah mati.”

Chu Beijie tertawa sinis sambil menggelengkan kepalanya, “Jika ia mati begitu mudah, ia bukan seorang He Xia.”

Hati Pingting mulai berdegup kencang karena ia telah menunggu begitu lama kesempatan ini. “Dengan kata lain Tuan tahu dimana ia berada?” Pingting tak bisa menahan kegembiraannya.

“He Xia berhasil melarikan diri dari wilayah Gui Li dan Gui Li saat ini sedang di awasi oleh para prajurit. Ciih, Aku hampir menangkapnya beberapa hari lau.” Chu Beijie merasakan badan Pingting gemetar, ia bertanya, “Yangfeng, kau tak pa-pa?”

“Tidak, tidak.” Pingting menggelengkan kepalanya, wajahnya menjadi sangat pucat. Untuk menghilangkan kecurigaan ia menaikan alisnya. “Sebelumnya wangi rumput. Sekarang bunga mawar. Nanti apa lagi?”

“Eh ?”

Pingting menatap mata Chu Beijie, “Tuan selalu menggunakan perfume berbeda.” Ia berpura-pura jengkel.

Semua jejak kecurigaan Chu Beijie menghilang. Tertawa, ia berkata “Mengapa menjadi jengkel, karena  begitu sulit untuk mendapatkan bunga yang pasti? Nanti ketika aku memilih calon istriku, aku takkan memilih yang cantik, melainkan seseorang yang bisa menemaniku ke medan perang.”

“Tuan, kau belum menyelesaikan cerita tentang He Xia.”

“Apa yang perlu diceritakan lagi? Aku memerintahkan mata-mataku untuk melapor ketika ia tiba di Dong Lin, tapi entah bagaimana ia bisa tahu yang kurencanakan. Ia menghindari seranganku bahkan membunuh mata-mataku. Ia kembali ke Gui Li entah dimana sekarang. Usahaku jadi sia-sia.”

Pingting menghembuskan napas lega dengan diam-diam.

Ia tahu He Xia selamat dan sekarang waktunya untuk pergi.

Sebenarnya, ia seharusnya sudah pergi beberapa waktu lalu. Ia sering bertanya pada Chu Beijie apakah ia diperbolehkan berjalan-jalan di sekitar Kediaman. Ia memerintahkan seseorang untuk mengawasinya dari jauh saat pertama kalinya, tapi setelah itu, ia membiarkannya berkeliling sendirian.

Ia tak punya uang untuk perjalanan, tapi kalung yang diberikan Chu Beijie sudah lebih dari cukup.

Yang sulit merencanakan rutenya.

Ia selesai menyusun rencananya, tapi ia belum bisa menentukan waktunya.

Sepuluh hari kemudian, masuk musim gugur. Daun-daun menguning hari demi hari, dan akan segera jatuh cepat atau lambat.

Sudah waktunya untuk pergi, tapi ia tak bisa mengijinkan dirinya untuk berangkat.

Chu Beijie biasa memintanya memainkan kecapi setiap hari. Ia akan menyanyi dan Chu Beijie memejamkan matanya, dan sering tersenyum gembira.

Senyuman itu terekam jelas di ingatan Pingting. Sangat manis.

Ia terbiasa memainkan kecapi dan bernyanyi untuknya. Ia tahu sesuatu yang besar sedang terjadi ketika Chu Beijie tidak mencarinya. Apakah sesuatu yang buruk terkait Kediamannya atau pejabat tinggi yang telah melakukan sebuah kesalahan. Tentu saja, ada beberapa alasan lain juga.

Seperti hari sebelumnya, Chu Beijie tidak mengijinkannya bermain kecapi. “Apa kau benar-benar batuk lagi kemarin malam? Jangan berbohong. Bagaimana aku tidak tahu segala yang terjadi di Kediamanku sendiri? Apakah aku terlihat tidak mampu menyediakan seorang tabib, mengapa kau tidak memberitahuku?”

Pingting tidak ikut acara makan malam kemarin, tapi yang ia tahu Chu Morang juga tidak hadir disana. Ia telah menghabiskan waktu semalaman membuat persiapan untuk memindahkan Pingting keruangan yang lebih besar dan membuat janji dengan tabib Chen Guangzhi.

“Mengapa ?” Pingting menatap kelaur dari jendela, daun-daun berterbangan di tiup angin. “Kita menjadi musuh dengan suatu cara. Kau akan menindasku, tapi kemudian kau baik padaku. Kadang kau berkata dengan keji tapi terkadang juga mengatakan hal yang manis. Lain waktu, kau bersikap seperti pria sejati, tapi kemudian kau bersikap seperti Tuan Besar yang manja.” Ia Mendesah. “Sungguh orang yang sulit dimengerti. Siapapun yang bersamanya hanya akan merasakan penderitaan.”

Seorang pelayan memintanya untuk menemui Chu Beijie. Pada saat Pingting memasuki ruangan, Chu Beiji berkata, “Kau pasti akan menyukai menu hari ini.”

Tentu saja, di meja sudah ada pilihan menu-menu yang lezat. Diantaranya terdapat terung rebus dan ‘delapan asinan istimewa’, semuanya masakan terkenal.

“Kau tidak makan banyak belakangan ini. Kau harus makan banyak hari ini. Kau lihat, aku mendapatkan koko Gui Li untuk membuatkan semua ini.” Chu Beijie memperhatikan napsu makannya dan menyuruhnya untuk mulai makan.

Pingting mencicipinya dan rasa terungnya meleleh di mulutnya. Lalu ia mencicipi asinannya tapi ia terkekeh tiba-tiba, “Tuan tahu lebih sedikit dari aku tentang masakan. Kau mendapatkan koki Gui Li, tapi tidak semua hidangan disini berasal dari Gui Li. Misalnya, delapan asinan istimewa ini adalah masakan terkenal Bei Mo, jadi kenapa ada disini?”

Chu Beijie mendesah, “Begitu. Aku akan mencari tukang masak lain kalau begitu.”

Tapi Pingting mengelengkan kepalanya segera dan menunjuk pada asinan, ia berkata, “Aku suka ini. Lagipula Tuan tidak tahu kalau aku berasal dari Bei Mo.”

“Eh ?”

“Yeah, tapi aku dijual di Gui Li sewaktu kecil. Ini hidangan kesukaanku.” Ia meletakan asinannya di mangkuk Chu Beijie. “Tuan, coba cicipi ?”

Sinar lilin bersinar indah di pipinya dan Chu Beijie tak bisa menahan dirinya bergerak mendekati Pingting.

“Aku ingin mencicipimu,” bisiknya.

Jantung Pingting hampir berhenti.

Ia terlalu dekat dan memeluknya dengan sangat erat. Sangat sulit untuk bergerak. Pingting menoleh dan  mengigit kuping Chu Beijie.

“OW!” Sumpit yang dipegang Chu Beijie jatuh dengan suara keras.

“Tuan.....jangan...”

“Apanya yang jangan?” Chu Beijie bertanya sambil memeriksa kupingnya yang terasa sakit, “Aku sudah memilihmu, dan aku menolak untuk membiarmu melarikan diri. Aku akan membawamu ke medan perang dikemudian hari.”

Bibirnya mengatup rapat tapi matanya seperti api menyala, siap untuk membakar apapun, semuanya.

“Aku ingin menikahimu.” Ia membiarkan Pingting mengambil napas dulu sebelum mengatakan lamarannya.

“Tuan ?” Pingting menatap bingung ke arah Chu Beijie. Dahinya berkerut, segalanya terjadi terlalu cepat dan sepertinya semuanya diluar rencananya. Apakah samaranku tidak bagus?

Ia seharusnya seorang Yangfeng, pemain kecapi, pelayan yang melarikan diri.

Dia adalah Tuan Besar Zhen Beiwang, dan ia masih ingin menikahinya.

Chu Beijie terlihat tidak senang, “Kau menolak?”

Pingting melebarkan matanya, Chu Beijie terlalu dekat, dan ia merasa kepanasan. Ia sangat tampan. Segalanya tentang dia penuh pesona.

Ia selalu angkuh, seorang pria yang sombong.

“Menikahlah denganku.”

“Kenapa ?”

“Bukan hanya karena kau bisa bermain kecapi dan bernyanyi dengan bagus, tapi kau juga punya tangan yang cekatan dan hati seperti emas. Chu Beijie tersenyum, senyumnya seperti tanaman yang memiliki racun paling berbahaya. “Aku lebih suka memilihmu daripada banyak wanita lain.”

“Aku...”

“Ayo bersumpah pada bulan, takkan pernah saling bermusuhan satu sama lain.”

Pingting tersenyum sedih. Kata-katanya seperti air panas, yang menghangatkannya dari dalam. Chu Beijie membantunya berdiri.

“Takkan bermusuhan satu sama lain?” Setiap kata perlahan keluar dari mulutnya.

Chu Beijie memeluknya erat, “Benar, mulai sekarang dan selanjutnya, kau akan menjadi istriku dan aku akan menjadi suamimu.”

Mengingat Tuan Besar Zhen Beiwang ketika di arena pertempuran, ia mundur selangkah.

“Tidak....” ia berguman.

“Kenapa tidak?”

“Aku hanya seorang.... pelayan pemain kecapi.”

“Aku suka permainan kecapimu.”

“Aku tidak cukup pantas untuk Tuan.”

“Aku cukup pantas untukmu.”

Pingting tetap menggelengkan kepalanya dan mengigit bibirnya, ia berkata “Aku.....aku tidak cukup cantik.”

Chu Beijie berpura-pura memperhatikannya. “Aku rasa kau terlihat lumayan untuk dilihat.” Ia menyeringai.

Pingting terdiam. Ia merasa sedikit pilu. Pergi, besok, aku harus pergi. Pasukan orang ini telah menyerang tanah tempat aku lahir, tumbuh besar, dan sekarang ia duduk santai dan memanipulasi Raja untuk menyakiti para penghuni di Kediamanku.

Tapi pelukan Chu Beijie selalu terasa hangat, dan sangat sulit untuk ditinggalkan. Meskipun begitu ia tetap mendorongnya menjauh bahkan menolaknya.

Debaran kencang jantungnya mulai teratur. Akal sehat masih belum kembali pulih sepenuhnya, maka pikirannya masih tidak logis. Ia harus pergi. Ia harus meninggalkan tempat ini, tapi ia butuh sesuatu agar tidak menengok kembali.

Kata ‘ingkar janji’ terus berkelebat di kepalanya.

“Tuan,” ia berguman pelan tapi ia menaikan kepalanya dan berkata, “Aku tidak ingin menjadi istrimu, tapi aku....”

Ia mengigit bibirnya dan diam. Chu Beijie tersenyum hangat padanya, “lanjutkan.”

“Katakan, jangan ragu.” Rasanya seperti mendengar lagu yang menyentuh dan Pingting tak bisa menahan airmatanya jatuh. Ia menarik napas dalam, tiba-tiba memeluk Chu Beijie dengan erat lalu dengan perlahan menatap Chu Beijie dan berkata, “Kita bisa bertemu karena takdir, jadi biarkan takdir ini bersatu sekali saja ?”

Sulit sekali untuk mengatakannya, tapi akhirnya Pingting mendapatkan apa yang di inginkannya.

Ia mengesampingkan masalah negaranya. Besok adalah hal lain.

Ia tidak peduli apapun lagi. Malam ini adalah miliknya.

Dan ia milik Chu Beijie.

Chu Beijie berpikir ia salah dengar dan ia terlihat sangat bingung, tapi akhirnya ia mengerti. Ia tertawa. Lalu, mengangkatnya, ia dengan cepat berjalan ke kamarnya dan meletakkannya dengan lembut di atas tempat tidurnya.

Matanya melihat kebawah, mempelajari tangannya yang putih dan elok.

“Bersama selamanya ?”

“Yeah.” Pingting mengangguk, sebuah airmata mengalir di pipinya.

Dibalik pakaiannya, ia adalah sebuah bunga asli. Melihat tubuhnya membuat kepalanya berbunyi sesuatu dan ia menatap Pingting lekat-lekat.

“Indah...” Chu Beijie menyentuhnya dengan mulutnya, menyesap wanginya. Tercium wangi bunga yang manis.

“Tuan.”

“Bukan Tuan.”

Pingting mengeluh, “Beijie.”

“Dulu aku Dingnan, sekarang aku Beijie.” Ia menyadari Pingting agak gugup.

Diluar, bulan purnama bersinar terang.

Malam itu, dalam ketenangan Kediaman Resmi Zhen Beiwang, dua manusia, yang berasal dari Gui Li dan Dong Lin berbaring bersama. Yang satu kehilangan jiwa dan yang lainnya kehilangan hati.

Wajah tidurnya terlihat tentram di bawah sinar bulan. Pingting tersenyum dalam mimpinya dan napasnya tenang, teratur.

Ia sangat lelah. Chu Beijie mengetahui dari matanya yang sayup, sepertinya bintang bersinar terlalu terang padanya.

Bibinya yang sempurna, pinggang yang ramping dan kakinya yang jenjang semuanya tercetak dalam ingatannya. Raut wajah Chu Beijie sangat bahagia, tapi tiba-tiba senyumnya menghilang. Dahinya berkerut.

Ia berjalan keluar dari kamarnya, perlahan menutup pintu dibelakangnya.

Chu Moran sudah menunggunya di kantor.

Chu Beijie berjalan masuk dengan langkah berat dan duduk tanpa ekspresi. Chu Moran menyerahkan sebuah dokumen.

--Yangfeng, berasal dari Bei Mo, dijual di Gui Li. Bermain kecapi, menjadi salah satu dari dua pemain kecapi Gui Li yang terkenal.
Kesayangan He Su tapi jarang tampil di depan umum.
Menyukai Bunga dan tanaman.
Makanan kesukaan : Asinan Delapan Rasa Istimewa
Warna kesukaan : Biru
Tak pernah terlihat sejak tertuduh sebuah kejahatan.

Ia mengeluarkan sebuah kertas dan membaca ulang.

Suasananya seperti suhu ruangan turun beberapa derajat. Chu Morang merasa agak tidak nyaman.

“Sama sekali tidak ada yang mencurigakan,” Chu Beijie tertawa pahit.

Ia jarang sekali melihat Tuannya begitu putus asa dan Chu Morang hanya bisa menundukan kepala dan berkata, “Tuan, mungkinkah kalau.....”

“Dua pemain kecapi Gui Li terkenal.....” Chu Beijie bertanya dengan suara dalam, “Siapa yang seorang lagi ?”

“Salah seorang pelayan dari Kediaman Jin Anwang, nama keluarganya, Bai.”

Chu Beijie memejamkan matanya dan ketika ia membukanya terlihat cahaya baru di keduanya. Sebuah kata terlontar dari mulutnya, “Selidiki dia.”

“Baik.”

Pingting hanya terbangun setelah pagi menjelang.

Seseorang sedang mencium pundaknya.

Menoleh ke samping, ia melihat sepasang bola mata hitam yang cerdas dan tiba-tiba ia ingat kejadian semalam. Ia menyembunyikan wajahnya yang merona merah di balik selimut.

“Apa yang dilakukan, sudah dilakukan. Tak perlu sembunyi.” Chu Beijie tersenyum bergairah di rambutnya. Melihat Pingting masih sembunyi, ia tertawa dan mengigit pundaknya dengan bermain-main.

“Ow !”  Pingting tersentak melepas selimutnya, hanya untuk tertangkap oleh Chu Beijie yang sudah menunggunya, yang merencakan sebuah ciuman penuh gairah di bibir merahnya.

“Hehe, sarapan paling lezat didunia.”

“Kau....kau...”

“Apa? Mulai sekarang kau harus memanggilku suami.”

Pingting menyipitkan matanya, jelas terlihat tidak senang. “Siapa yang setuju menikah dengamu.”

Chu Beijie menahan kedua tangan Pingting dengan tangannya dan menatap dalam-dalam mata Pingting, lalu ia berkata dengan sungguh-sungguh, “Menikahlah denganku. Jangan pernah pergi dariku.”

Pingting merasa seperti telah di tikam. Ia hanya menatap.

Chu Beijie sangat serius, “Jangan pikirkan tentang apapun. Ikutlah denganku. Aku bersedia menemanimu ke neraka atau ke surga.”

Neraka dan surga?  Ia menaikan alisnya dan menatap penuh tanda tanya pada Chu Beijie.

Begitu kuat, penuh harga diri, alis mata yang begitu gelap.... bukankah ia seorang pria idaman bagi setiap wanita?”

Jika ia disisiku, hidupku akan sangat mudah.

Tapi ia .... tapi ia harus pergi.

Airmata mulai meluap di mata Pingting. Ia menoleh kesamping, menolak untuk membiarkan airmatanya mengalir.

Chu Beijie meletakan tangannya yang kasar di pipi Pingting. “Hey, kenapa kau menangis?”

“Aku tak tahu, kenapa aku menangis.” Pingting mengeringkan air matanya dan tersenyum goyah.

Semakin ia memikirkannya, semakin terasa sakit, tapi ia telah menyakinkan dirinya sendiri bahwa ia harus pergi.

Apa artinya kehilangan dia?  Ia harus meninggalkan tawa Chu Beijie, sakitnya, kemarahannya, dan kebahagiaanya. Tuan dalam bahaya. Aku tak bisa menjadi Nyonya Besar tanpa alasan.

Pergi, ia harus pergi.

Itu seharusnya tahun yang penuh keberuntungan.

Ia dengan hati-hati memperhatikan Chu Beijie kapan ia bisa. Dipeluk olehnya selalu menghasilkan malam kurang istirahat. Bagaimanapun, cuaca menjadi buruk setiap ada kemungkinan, dan ia tak bisa tidur tanpa dekapan pelukan hangatnya.

Kadang, Chu Beijie menghela napas dalam dan tertangakap telinganya, dan itu membuat harinya lebih sakit.

Ia sering bertanya bagaimana ia bisa menjadi begitu hebat.

Politik, beramah-tamah, pertempuran berdarah. Ia bahkan menolak beristirahat dalam mimpinya.

Harus pergi, ia harus segera pergi. Ia telah jatuh dalam lubang pasir hisap. Sulit untuk keluar, tapi ia harus.

“Wangi rumput oktober memenuhi kepala...”

Aroma manis memenuhi paru-parunya dan ia menatap balik. Walaupun hatinya dingin, ia ingat senyum manis Chu Beijie.

Chu Beijie berbisik padanya, “Ketika musim semi tiba, semua bunga disini akan mekar sempurna. Ketika saat itu tiba, aku akan memilih sendiri sebuah bunga untukmu setiap hari.”

“Aku tidak cantik, jadi bukankah aku akan tertutupi oleh bayangan bunga cantik?”

“Baiklah, kau bisa bernyanyi. Bernyanyi sampai bunganya layu.”

Suara tawa Chu Beijie memenuhi halaman yang kosong.

Dalam hati, Pingting menangis dengan sedih.

Ketika musim semi tiba, ketika semua bunga akan mekar sempurna, kau akan berada di Dong Lin dan aku akan berada dimana?


--0--




novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia

Minggu, 19 April 2015

Gu Fang Bu Zi Shang -- 1.7

-- Volume 1 chapter 7 --

Hong, namanya adalah Hong. Nama ini tidak semenarik orangnya. Chu Beijie baru saja menambah seorang pelayan baru tapi ia lebih bersemangat daripada biasanya untuk beberapa alasan. Seperti ia sedang berada di saat ‘sekali seumur hidup’ yang begitu berharga, atau seperti suatu masakan yang luar biasa lezat dan tak bsia menunggu untuk mencobanya, tapi pada saat yang bersamaan, tak berani mengacaukannya juga.

Pelayan baru, Hong, telah berbohong pada Tuan Besar Zhen Beiwang, telah ditangkap olehnya dan sekarang di kurung di sebuah ruangan kecil di Kediaman Resmi Zhen Beiwang, jauh dari yang lainnya.

Chu Beijie ingin melihatnya, tapi untuk beberapa alasan ia menahan dirinya.

Ia bukan seorang dewa, tentu saja ia marah. Beberapa kali ia terbangun di tengah malam mengatupkan giginya dan mengepalkan tinjunya, memikirkan kalau ia seorang Panglima menjadi kacau karena seorang pelayan bahkan sampai berdiri di depan pintu wanita lain. Harga dirinya sebagai seorang pria seperti di cabik-cabik. Ia ingin menyiksa wanita berengsek itu, mengurungnya di penjara, meninggalkannya di hutan sebagai mangsa srigala lalu melemparkannya ke jurang.

“Pelayan!”

“Disini! Apa yang Tuan butuhkan?”

Chu Morang muncul di pintu tapi Chu Beijie sudah tenang kembali.

Tidak, ia tak bisa membiarkannya mati begitu mudah. Gadis itu harus tinggal di tempatnya seumur hidupnya, untuk menebus kesalahannya. Kadang ia begitu ingin mengganggunya dan membuatnya menangis.

Hari berikutnya, Pingting begitu sakit, ketika Chu Beijie berencana untuk mencelanya.

“Sakit?” Mata Chu Beijie berkedip ke Chu Morang dan ia tertawa dingin, “Apa ini salah satu tipu muslihatnya, ‘prajurit tahu kecurangan’ ?”

“Tabib sudah memeriksanya. Ia sakit parah.” Chu Morang menjawab, suaranya pelan.

Mata Chu Beijie bersinar, “Sakit apa ?”

“Gejala penyakit berkepanjangan, batuk terus menerus dan selalu mengantuk.”

Chu Beijie memikirkan malam ketika Pingting sedang sakit dan ia telah membopongnya ke kamarnya. Ia ingat mata hitamnya perlahan menutup dibawah sinar bulan, ia sungguh berpikir kalau wanita itu sungguh cantik.

“Tuan... apa kau akan menjengguknya?”

Sebuah tatapan tajam mengarah pada Chu Morang, memaksanya mundur selangkah. Ia menundukkan kepala dan segera berkata, “Aku ku ku pikir.... mungkin....”

Chu Beijie menengok kearah lain dan duduk kembali di kursinya, mengambil dokumen kerjanya dan membacanya. Lalu dengan suara ragu, ia bertanya “Tabib mana yang kau panggil?”

“Chen Guanzhi.”

“Ia hanya seorang pelayan, tak perlu memanggil tabib terkenal.”

Chu Morang tak pernah di tegur oleh Tuannya dan ia menjadi pucat, “Baik, akan segera diganti..”

“Tak perlu,” Chu Beijie mengambil kuas, lalu menulis dua kalimat persetujuan di dokumen. Ia terlihat sudah sedikit lebih tenang, “Ia sudah di panggil, jangan mengganggu yang lain.”

“Baik.”

“Apa ia meminum obatnya?”

“Kami sudah membeli resep yang diberikan Chen Guanzhi dan sekarang sedang di rebus.”

Chu Beijie mengerutkan dahinya, “Ia sudah melawanku tapi masih mendapat tabib terkenal bahkan di rebuskan obat. Waktu yang bagus untuk sakit. Ia sungguh tidak beruntung karena aku seorang pejuan yang berlumuran darah dari gurun, bukan seorang bocah dari padang bunga. Kalau ia sudah lebih baik, katakan padanya untuk berhenti melakukan permainannya di Kediamanku.

Chu Morang bisa merasakan kemarahan Tuannya dan ia berusaha tetap diam sebisa mungkin, lalu mengangguk, “Baik.”

Ia baru saja hendak pergi ketika Chu Beijie melihat keatas dari dokumennya lagi, ia baru saja memikirkan suatu hal. “Raja memberiku dua kotak obat Yumei Tianxiang. Karena kita tak punya wanita yang berkedudukan tinggi disini, kurasa mereka akan jadi sia-sia. Sekarang karena kita punya seorang wanita yang sakit parah, kita bisa memberikan padanya.”

Pingting sangat sakit. Walaupun ia terlihat sehat, tapi ia tak pernah sembuh dari batuk sejak kepergiannya yang terakhir, yang diikuti dengan kejadian-kejadian berikutnya. Kekuatannya dengan pasti meninggalkan tubuhnya. Sepanjang percakapan singkat terakhirnya dengan Chu Beijie, pakaiannya hampir basah kuyup karena keringat dan ia tak mampu berdiri lagi.

Chu Morang ditugaskan untuk menjaga Pingting. Tak mampu menebak niat Tuannya sebenarnya, ia tak berani untuk memperlakukannya terlalu baik atau terlalu keras. Setelah pertimbangan yang agak lama, akhirnya ia meletakkan Pingting di sebuah bangunan kecil terpisah di dalam Kediaman.

Setiap hari, Chu Moran melaporkan kesehatan Pingting. “Nona Hong agak lemah hari ini.”

“Nona Hong sudah memakan buburnya.”

“Nona Hong batuk sedikit kemarin malam, dan ia demam tinggi pagi ini.”

Chu Beijie tak berkata apa-apa dan bersikap seperti tidak mendengarkan.

Di hari kelima bagaimanapun, Chu Beijie merasa tidak tenang. Ketika ia mendengar Chu Morang berkata “Nona Hong batuk lagi hari ini...”  Ia tiba-tiba menjadi geram. “Batuk! Batuk! Batuk! Kenapa ia masih tetap batuk? Apa kau sudah memberikannya obat Yumei Tianxiang? Si tabib Chen Guanzhi juga harus disalahkan... ia bahkan tak bisa menyembuhkan seorang gadis.”

Chu Morang pergi dan hari berikutnya, ia berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan yang sama seperti kemarin, “Batuknya sudah lebih baik. Seharusnya ia sudah bisa bangun dari tempat tidur segera.”

“Kapan?”

Chu Morang tak mengharapkan Tuannya akan menjawab, bahkan sampai mengeluarkan pertanyaan. “Mungkin .... sekitar sepuluh hari,” ia berkata tidak yakin, lagipula bagaimana ia bisa tahu?

Chu Beijie mendengus sekali, tidak menyetujui dan tidak menyangkal perkataannya.

Setelah sepuluh hari, sebelum Chu Moran sempat memberikan laporan hariannya, Chu Beijie berdiri dan berkata, “Ayo pergi ke tempatnya, kita lihat apa permainan ‘masalah putus asa’ ini sudah selesai.”  Ia dengan cepat melangkah keluar kantornya, dan menuju tempat Pingting.

Bangunan itu memiliki halaman kecil di luar, bunga merah yang tidak diketahu namanya ditanam disana.

Chu Beiji bergegas masuk melewati pintu, tapi kemudian tiba-tiba berhenti dan bergeser ke samping jendela. Ia mendengar sebuah percakapan, salah satu suaranya sudah ia kenal.

“Ada yang lainnya?”

“Satu lagi.” Sebuah suara ramah, lembut, penuh humor. “Jika memasak tulang untuk sup, potong tulang secara sejajar, mendatar, maka akan menghasilkan sebaris sumsum. Jangan di potong tapi di ikat dengan kacang, atau kau akan kehilangan rasa yang spesial. Campurkan daun rumput, tambahkan bubuk akar rumput lemon, tumis semuanya dan masukkan ke dalam sup. Tambahkan tulang dan tunggu hingga setengah matang kemudian masukan akar teratai segar dan wortel. Setelah itu, tutup panci dan masak dengan api kecil samapi matang sempurna.”

“Aneh, aku telah bekerja di dapur selama bertahun-tahun, tapi aku belum pernah mendengar resep seperti ini. Wow, aku sudah merasa lapar dari mendengarnya saja.”

Chu Beijie tetap mendengarkan untuk beberapa saat. Itu semua teknik tinggi memasak, walapun sebagian besar baru didengarnya.

Pingting sudah merasa lebih baik dan entah bagaimana ia mulai membahas tentang masakan dengan Nyonya Zhang, yang selalu membawakannya obat. Salah satu dari minatnya dan ia memberitahukan beberapa teknik membuat masakan. Keduanya tidak menyadari kehadiran Chu Beijie sampai ketika Nyonya Zhang menengok dan melihatnya, ia segera berkeringat dingin.

“Ah! Tuan Besar...” Nyonya Zhan lompat dan menbungkuk dengan goyah.

Chu Beijie bahkan tidak melihat kearah Nyonya Zhang, matanya terpaku pada pipi Pingting, yang masih terlihat pucat bukan pink kemerahan seperti seharusnya.

Nyonya Zhang dengan gugup menggundurkan diri, “Aku...harus kembali ke dapur.” Ia segera membawa mangkok obat dan berjalan keluar dengan hampir tersandung.

Ruangan menjadi lebih sunyi sekarang setelah satu orang pergi dan seperti ruangan menjadi lebih dingin. Wajah tampan Chu Beijie yang seperti pahatan istimewa tanpa ekspresi dan ia sedingin musim salju.

Mata Pingting bertatapan dengan matanya, tapi ia segera menunduk begitu merasakan jantungnya berdetak tak karuan.

“Tuan Besar disini?” Perlahan ia bangkit dari tempat tidurnya berusaha untuk membungkuk sedikit, “Semoga Tuan Besar diberi kesehatan.”

Chu Beijie memicingkan matanya, tangannya didagunya dan dengan nada angkuh, yang biasa digunakan para keluarga kerajaan. “Kudengar kau sakit?”

Pingting sebenarnya berpikir ketika ia sakit, Chu Beijie akan mengunjunginya karena ia mengingat kejadian sebelumnya ketika ia bersikap baik padanya. Kemudian ia akan bertanya tentang Tuannya dan melarikan diri. Tapi ia sangat sakit selama sepuluh hari, dan tidak ada kabar tentang Chu Beijie. Ia berkata pada dirinya sendiri itu normal, tapi dalam hatinya ia merasa sakit karena rindu.

Ia mengeluarkan pertanyaan mengejek lagi, “Kau tidak cantik dan tanpa tirai, kau tak bisa melakukan permainan merayumu, jadi kau menggantinya dengan permainan putus asa?”

Melihat Chu Beijie sudah membuatnya begitu bahagia, tapi mendengar kata-kata tajamnya membuatnya sangat marah. Ia berguman sendiri, “Aku SAKIT.”

Disaat itu, semua penderitaannya sejak kejadian ia terpisah dari Tuannya, sepertinya mengalir keluar. Airmata bening dan bercahaya menetes turun ke pipinya.

Chu Beijie tidak mendengar jawabannya dan hendak berteriak padanya ketika ia melihat pundaknya gemetar. Membungkukan badannya, ia melihat sebuah wajah dengan dua mata memerah dan airmata berlinang. Orang yang ia introgasi sedang menangis dalam diam.

“Untuk apa kau menangis?” Ia mengerutkan dahi, “Berhenti menangis.”

Ia tak mau menangis di depan Tuan Besar Zhen Beiwang atau membuatnya semakin marah, jadi ia mengigit bibirnya dengan kuat.

Chu Beijie melihatnya. Lalu ia menarik pundaknya, membuatnya berdiri dan berkata “Jangan gigit bibirmu. Kau boleh menangis.”

Mata basah Pingting berkedip kearah Chu Beijie, kepalanya tidak bergerak, menolak untuk gigitan di bibirnya.

Chu Beijie tidak suka ditentang. Ia menarik dagunya, memaksanya untuk melihat kearahny. “Kalau kau menangis, aku akan membunuh seluruh penghuni Kediaman Hua.”

Pingting melihat mata Chu Beijie, dan ia sangat serius. Apa arti Keluarga Hua bagi orang ini?

Ketika ia akhirnya melepas bibirnya, terlihat sebaris tipis gigi di antaranya. Ia dengan cepat menghapus airmatanya dan menunjukan wajah perlawanan ketika ia mengangkat matanya ke arah Chu Beijie, tidak berkedip sekalipun.

Yang tidak ia ketahui adalah ekspresi wajahnya membuat jantung Chu Beijie berdegup kencang.

“Aku sudah sering melihat wanita menangis. Dan itu tidak berguna.” Suaranya sangat dekat di kuping Pingting dan jantungnya seperti hendak melompat keluar dari dadanya.

“Duduk.” Ia beibisik, menariknya ke dalam dekapannya.

“Ah....”

“Jangan bergerak, atau kau akan jatuh.” Sebuah wangi yang asing mengusik hidungnya. Membuat tangannya menyentuh wajah Pingting dengan intim, ia bertanya, “Hey, bedak wangi apa yang kau pakai?”

Pingting merasa gugup dan malu, karena wangi Chu Beijie dan udara panas membuatnya pusing. Ia melawan dengan sia-sia, seperti mendorong sebuah gunung, separuh menginginkan dan separuh menolak. Setelah beberapa saat, ia menyerah dan mencoba untuk tenang tapi tetap tenang, berusaha membiarkan dirinya untuk menderita dalam pelukan Chu Beijie.

“Wanginya enak?” ia berkata dengan suara lembut, nada suaranya menggoda.

Ia sangat lihai berpura-pura seperti itu, dan Chu Beijie menjadi kaku.

Ia bahkan tersenyum lebih manis dan menatap mata Chu Beijie, “Kau pria berpendidikan jadi aku yakin kau pernah mendengar rumput Sifang, ya kan?”

Mata Chu Beijie menjadi setajam laser, seperti ingin membelah pipinya.

“Rumput Sifang sangat beracun, daunnya muncul dalam empat warna dan wanginya sangat manis.” Pingting menjawab, “Aku menentang Tuan Besar, artinya aku akan hidup seperti di neraka, jadi aku memutuskan untuk mengakhirinya dengan kematian.”

Ia hanya seorang pelayan, darimana ia bisa mendapatkan rumput beracun?  Chu Beijie sama sekali tidak percaya padanya, tapi ketika ia melihat matanya yang polos membuatnya sedikit merasa ragu. “Karena itu racun yang sangat langka, aku harus mencobanya.” Ia mendekap pundak Pingting, menguncinya dalam tangannya dengan erat dan perlahan mengangkat bibirnya kearahnya.

Pingting bisa merasakan napasnya di pipinya.

Pingting, walaupun sangat dimanjakan di Kediamannnya, tapi ia tidak pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya. Maka ketika seorang pria mendekatinya, ia tiba-tiba merasa tak berdaya. Dalam kebingunggannya, ia berusaha berteriak, “Moran! Cepat beritahu Raja, Tuan Besar Zhen Beiwang telah menciumku!”

Chu Beijie bingung.

Mereka mendengar suara tubrukan di luar. Chu Morang benar-benar berada di depan dan mendengar semuanya. Ia telah menabrak sebuah pot bunga, terkejut, ketika Pingting berteriak memangggil namanya.

“Pergi beritahu Raja, kalau ia menang taruhan dari Ratu! Tuan Besar Zhen Beiwang telah menciumku!”

Semuanya terlalu mendadak dan Chu Beijie berpikir ia telah terjebak dalam suatu perangkap. Pingting mengambil kesempatan ini untuk membebaskan diri dari pelukan Chu Beijie dengan tenaga yang tersisa, ia berhasil merangkak ke tepi tempat tidurnya, memeluk lututnya dan melotot padanya.

Ketika Pingting menjauh darinya, Chu Beijie memicingkan matanya, menyadari ia telah terjebak olehnya. “Kau menipuku,” ia berkata dengan suara berbahaya.

“Banyak wanita cantik berkumpul cukup Tuan melambaikan tangan, mengapa Tuan menginginkan pelayan rendah sepertiku?”

“Aku bisa memilih wanita yang kuingingkan, jadi kenapa tidak boleh, memilih seorang pelayan dari Kediamanku sendiri?” Chu Beijie tersenyum hangat dan menunjuk sebelahnya, “Kesini.”

Pingting sangat takut, dan saat ini ia menolak menurut. Ditengah rasa pusing yang menyerangnya, ia dengan susah payah berusaha untuk tertawa, “Mudah untuk mendapatkan Hong, tapi Tuan harus menang taruhan denganku. Kalau Tuan menang Hong akan melakukan apapun keinginginan Tuan.” Ia telah sering bertaruh dengan Tuannya dan ia sudah tahu, apa yang akan ia di pertaruhkan hanya dalam sesaat.

“Taruhan?” Chu Beijie berpura-pura berpikir keras untuk sesaat, lalu tertawa keras, “Kita tidak perlu bertaruh untuk apapun, karena kau sudah milikku, ya kan?” Pingting terdiam, sangat kecewa. Mendadak, Chu Beijie menambahkan, “Tapi aku tidak menginginkanmu sekarang. Sembuhkan dulu dirimu.” Ia menatap dengan penuh arti dan segera pergi meninggalkan ruangan kecil itu.

Kali ini, Pingting yang menjadi bingung.

Setelah beberapa saat, ketika punggung Chu Beijie menghilang, ia bisa berpikir lagi. “Geez, sungguh orang yang sulit dihadapi. Ia menggunakan taktik mundurnya untuk keuntungan dikesempatan berikut, bermain keras untuk mendapatkan. Perasaan para gadis akan menari di telapak tangannya.” Walaupun berpikir seperti itu, wajahnya tiba-tiba merona merah seperti sudah menatap matahari beberapa saat di luar jendelanya.

--0--




novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia

Minggu, 12 April 2015

Gu Fang Bu Zi Shang -- 1.6

-- Volume 1 chapter 6 --

Pingting merasa kacau menatap hidangan makan malamnya. Tidak diduga, ternyata Chu Beijie tidak datang berkunjung hari ini, tapi ia bagaimanapun telah mengharapkan kedatangannya dan telah menyiapkan banyak pertanyaan untuknya.

Keheningannya terasa janggal sampai Nona Hua berpikir kalau Pingting sedang bertingkah aneh. Ia tidak meminta Pingting untuk mengerjakan apa-apa lagi setelah makan malam, dan menyuruhnya untuk beristirahat.

Pingting sudah tidak tidur sepanjang malam kemarin, dan hari ini walaupun ia sangat lelah, ia tidak bisa tidur. Ia membuka matanya lebar dan memandang ke langit-langit, jantungnya berdebar tak beraturan. Ia turun dari tempat tidurnya dan mengamati keluar jendela.

Dan seperti yang dikira, ada seseorang di depan kamar Nona Hua.

Ia terlihat begitu hikmad, misterius dan tersenyum angkuh, dan Pingtig dengan tenang mengamatinya. Awalnya ia menyakinkan dirinya sendiri kalau pria itu hanya sedang bertindak aneh, tapi setelah beberapa lama, ia memutuskan bahwa ia sungguh kejam jika membiarkannya berdiri disana sendirian

Chu Beijie berniat untuk berdiri sepanjang malam lagi. Ia telah mengerjakan begitu banyak pekerjaan di Kediamannya, dan besok akan lebih banyak lagi. Tapi ia tetap datang bagaimanapun, dan ia hanya berdiri disana, memikirkannya sedang bermain kecapi dan percakapan mereka, ia tersenyum.

Ia mendengar langkah kaki dibelakangnya dan berbalik, “kau lagi ?”

Pingting menundukkan kepalanya. Di tanganya ia membawa sebuah kursi dengan bantal kulit. Ia menunjuk pada Chu Beijie kemudian menunjuk pada kursi.

“Aku tidak lelah, aku tak perlu kursi.”

Mata Pingting mungkin yang paling cermelang di dunia, tiba-tiba terlihat sedih, hal ini menusuk hati Chu Beijie. Matanya membuatnya merasa bersalah karena telah menolak kebaikannya.

Pingting mnatapnya, kegelisahan, perhatian dan kebingungan tersembunyi di matanya. Matanya menantangnya hingga ia menyerah dan berkata. “Baiklah, baiklah. Terima kasih.”

Mata mungilnya tiba-tiba bersinar, seperti cahaya dari mutiara langka. Dan bila hati Chu Beijie terbuat dari es akan meleleh seketika, membuatnya merasa nyaman dan duduk menjadi pilihan yang menyenangkan.

Pingting melihat Chu Beijie duduk dan berbalik, untuk pergi ke ruang dalam.

Chu Beijie memperhatikannya ketika ia berjalan masuk, ia bingung dengan tindakannya sendiri. Tapi kemudian ia ingat janjinya untuk melindungi phoenix dan berbalik ke arah kamar Nona Hua.

Setelah beberapa saat ia mendengar langkah kaki lagi mendekatinya lagi. Chu Beijie menyipitkan matanya, tapi tidak berbalik. Seperti yang di duga, Pingting datang kembali. Ia meletakan sebuah nampan besar di tanah. Di atas nampan ada sebuah cangkir dan teko. Bahkan, juga ada beberapa kue kecil.

“Kau sungguh memikirkan segalanya.”

Pingting telah berjalan jauh untuk mendapatkan kue dari dapur. Ketika ia dipuji ia tak bisa menahan senyumnya.

Senyumnya perlahan mengembang, bukan hanya bibirnya yang tersenyum, tapi setiap senti wajahnya tersenyum indah. Chu Beijie seketika terpesona, ia benar-benar cantik. Tapi ketika ia melihat lebih dekat, ia menyadari bahwa gadis itu adalah si pelayan bisu, dengan dua mata besar meskipun sederhana.

Chu Beijie telah melihat lukisan Nona Hua, ia sangat cantik.

Pingting dikelilingi sinar bulan, dan Chu Beijie hanya menatapnya seperti orang yang sedang mabuk. Orang ini keberadaannya sangat kuat, bahkan di Kediaman Hua ini. Walaupun ia duduk di kursi saat ini, ia tetap lebih besar di banding orang lainnya. Apa ia manusia sungguhan? Ketika Pingting melirik sekilas padanya, sebuah pikiran jahil melintas di kepalanya, mengingatkannya pada Tuannya.

Yach, jika aku bertanya tentang Tuan sekarang, apa ia akan menjawab? Bulan bersinar lembut dan raut wajah Chu Beijie menjadi lebih ramah. Mungkin tidak masalah jika melontarkan satu atau dua pertanyaan.

Wajah penuh tekad Chu Beijie membawa Pingting kembali pada kenyataan. Tak mungkin, bagaimana aku melakukan itu? Dia bukan pria biasa yang terobsesi pada cinta.

Pikirannya kacau tapi ia segera mengingat jati dirinya. Si Pelayan Pingting, Si pembohong Pingting. Ia merasa tidak berdaya dan putusasa. Ia segera berdiri, tidak peduli dengan tatapan tajam Chu Beijie dan kembali ke kamarnya.

Bersembunyi dibalik jendelanya, Pingting memperhatikan Chu Beijie sepanjang malam lagi.

Pagi harinya Chu Beijie telah pergi.

Pingting sekarang sudah tidak tidur selama dua malam, dan batuknya mulai kambuh lagi. Ia bahkan demam dan sangat lemah.

Nona Hua tahu ia sedang sakit, maka ia menyuruh seseorang memanggilkan tabib. Ia berkata dengan sabar, “Minum obatmu. Aku akan mencari orang lain untuk menggurusku, jadi jangan berani meninggalkan tempat tidurmu hari ini !”

Pingting merasa agak sakit kelapa tapi ia tahu kesehatannya lebih penting. Ia mendengarkan perintah Nona Hua, meminum obatnya dan berisitirahat.

Ketika ia terbangun, hari sudah gelap.

Nona Hua baru selesai makan malam dan datang melihat keadaan Pingting. “Kau benar-benar tidur sepanjang hari, aku bisa katakan kau terlihat lebih baik. Dong Dingnanmu hari ini datang, tapi aku tak berani berkata sepatah katapun, jadi aku berpura-pura tenggorokkanku sakit dan memintanya pergi.”

Pingting menjawab “huh” dan terburu-buru duduk.

“Jangan khawatir, jika ia sungguh menyukaimu ia akan datang lagi.”

Pingting sangat kecewa, karena sudah melewatkan sebuah kesempatan lagi untuk mencari tahu tentang Tuannya. Waktu berlalu begitu cepat dan ia belum tahu kapan ia bisa berkumpul kembali dengan para penghuni Jin Anwang. Yang terpenting, semakin lama ia tinggal di Kediaman Hua, hatinya akan semakin gelisah, tak terkendali.

Ia merasa seperti berada di pasir hisap. Tidak baik jika bergerak dan tidak baik juga jika diam, ia terjebak.

Nona Hua tidak tahu apa yang ia pikirkan dan ia mengira Pingting masih agak pusing dengan sakit kepalanya. Ia meminta pelayan lain untuk membawakan Pingting makanan dan obat kemudian perlahan pergi.

Malamnya, Chu Beijie datang lagi. Ia sedang berdiri di depan kamar Nona Hua, tapi ia mendengarkan dengan seksama sekitarnya. Si Pelayan bisu sepertinya selalu berada di sekelilingnya tapi ketika ia berusaha menangkapnya, ia akan menghilang. Chu Beiji kesal dengan dirinya sendiri, bukankah ia disini untuk melindungi Phoenixnya? Ia merasa kecewa karena tidak setia dengan orang yang ia sukai, tapi malangnya ia tak bisa melupakan mata pelayan itu.

Bola mata bersinar itu seperti menyampaikan ribuan kata dalam diam.

Sekali lagi ia mendengar langkah kaki dan irama kebahagiaan mengalun di pikirannya. Ia segera berbalik. Tiba-tiba wajahnya menggelap “Apa yang terjadi ?”

Pingting berjalan goyah, seperti akan pingsan setiap saat. Chu Beijie menjulurkan tangannya, lalu menangkap tangan Pingting untuk menyeimbangkannya.

Tangan Pingting terasa hangat.

“Kau sakit ?” tanya Chu Beijie.

Pingting mengelengkan kepalanya, berusaha menyembunyikan airmatanya. Ia menghabiskan waktu begitu lama  sendirian, dan walaupun Nona Hua, Nyonya Hua dan Nonya Chen begitu peduli padanya, ia tak pernah merasa begitu bahagia mendengar pertanyaan yang baru saja dikatakan orang ini.

Dua kata itu sudah cukup untuk membuatnya tenang.

Ia tersenyum ringan dan Chu Beijie melihat lesung pipitnya yang sedih. Moment itu ditangkap hati Chu Beijie. Dan ia benar-benar melupakan phoenix terkasihnya. Ia segera membopongnya, melindungi.

“Kamarmu disana?” Ia bertanya.

Pingting menganguk. Ia ingin menyanggah tapi ia segera mengigit bibirnya.

Chu Beijie membawanya dengan cepat.

“Istirahatlah. Ini sangat larut dan kau sakit. Apa Nonamu tidak merawatmu.” Ia masuk ke kamar Pingting dan dengan lembut membaringkannya di tempat tidur.

Ia selalu melakukan hal yang ia inginkan lakukan, dan tak peduli dengan batasan pri dan wanita. Ia dengan kikuk menyelimuti Pingting, sebelum berdiri tegak.

“Tidur.” ia memperhatikan mata yang ia sukainya perlahan menutup. Suaranya tidak seperti biasanya ketika menyuruh Pingting untuk tidur lebih seperti seorang komandan kepada prajuritnya.

Pingting, entah bagaimana, merasa nyaman dengan hal itu. Ia menutup matanya menurut tapi setelah beberapa saat, ia membuka matanya lagi.

Chu Beijie baru hendak pergi ketika ia menyadari kalau 'prajurit' ini tidak mematuhi perintahnya. “Pejamkan matamu dan tidurlah.”

Pingting tiba-tiba merasa geli, ini mengingatkannya ketika ia menggoda Tuannya. Ia membuka matanya lagi dan menatap Chu Beijie.

Chu Beijie tiba-tiba merasa jantungnya berdegup kencang, dan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, mengalir membanjirinya. Perasaan ini bahkan membuatnya lebih bahagia daripada kesenangan dan kesibukan yang ia rasakan di medan perang.

Ia tidak terlalu suka dengan yang ini, karena sebagai Zhen Beiwang ia telah melalui setiap situasi dan selalu mampu mendapatkan yang diinginkannya. Tapi ini seperti sebelah jantungnya pergi, membuatnya bernapas dengan susah.

Si kecil bisu diatas tempat tidur, tidak diragukan adalah seorang yang cantik, jika mengabaikan wajah, hidung dan mulutnya. Ia memiliki keanggunan yang tak ada bandingnya yang tak dimiliki orang lain, itulah yang membuatnya terlihat cantik.

“Pejamkan matamu.” Chu Beijie membersihkan tenggorokannya, “Aku pergi.”

Pingting merasa kecewa, tapi kali ini ia benar-benar menutup matanya.

Chu Beijie adalah seorang pria sejati, ia benar-benar pergi.

Semalam lagi. Lebih sulit dari malam kemarin, lebih sulit dari malam sebelumnya.

Pingting terlelap ketika hampir pagi dan ia tertidur sampai siang hari. Nona Hua tergesa-gesa datang dan berbisik di telinganya, “Kau tahu siapa Dong Dingnan sesungguhnya?”

Jantung Pingting berdetak kencang.

“Kuberitahu kau, ia adalah Panglima Dong Lin, Zhen Beiwang! Aku melihat lukisannya kemarin, tapi oh Tuhan, ia si hebat Zen Beiwang !”

Pingting tiba-tiba pucat, tubuhnya masih lemah dan ia duduk dengan susah payah.

Panglima Zen Beiwang? Dong Dingnan, itu pria yang berdiri berjaga di malam hari, pria yang membopongnya adalah Zen Beiwang.... Panglima dari Dong Lin, Petarung terbaik Dong Lin, musuh Gui li, dan lawan terberat Tuan.

Nona Hua berpikir ini adalah keajaiban dan terus memuji Pingting. Kemudian ia menepuk pundaknya, berkata “Hong, kita sudah seperti saudara sendiri, jadi kau akan membantuku, ya kan ?”

“Eh ?”

“Mudah saja. Aku sudah mengirim Nyonya Hua untuk menyerahkan surat kepada Tuan Besar Zen Beiwang. Isinya mengatakan kalau Nona Hua saat ini sudah bertunangan bukan seorang wanita yang bebas. Dan jika ia berbaik hati,  bersedia  menggunakan kekuasaannya untuk membatalkan pernikahanku, maka akan lebih mudah untuk dikemudian hari.” Nona Hua terlihat senang dengan tindakannya, “Kali ini ayah takkan menentangnya, dan ketika pernikahanku batal, aku akan mengatakan pada Tuan Besar Zen Beiwang yang sebenarnya. Aku bahkan akan menghadiahkanmu gaun pernikahan yang indah. Oh Yach, kau bisa memakai gaun pernikahannku.”

Wajah Pingting menjadi suram. “Apa … apa yang kau pikirkan? Tuan Besar Zen Beiwang sangat kuat, sepuluh kali lebih kuat dari keluargamu. Jika ia tahu kita sudah membohonginya, orang-orang kediaman Hua akan dalam masalah besar.” Ia masih sangat lemah jadi ia tak bisa menekankan betapa seriusnya masalah ini.

Nona Hua tidak menanggapinya, “Ia menyukaimu. Aku yakin ia tak keberatan kau meminjam identitasku.”

“Bukan begitu!” Pingting menarik tangan Nona Hua, “Beritahu Nyonya Hua jangan mengirim suratnya!”

Nona Hua merasa agak khawatir melihat Pingting begitu marah. Kepalanya tertunduk malu, “Tapi Nyonya Hua baru saja kembali, ia bahkan memberitahuku balasan dari Tuan Besar Zen Beiwang.”

“Apa yang dia katakan?”

“Dia bilang, besok, Nona Hua akan kembali bebas.”

“Besok ?”

Nona Hua melihat expresi aneh di wajah Pingting dan ia mencebik. “Aku harus berlatih kecapi, aku akan bicara denganmu besok.” dan ia berlalu.

Pingting menatap kosong beberapa saat, akhirnya ia mampu menyerap kejadian ini di kepalanya.

“Tak mungkin … Tuan Besar Zhen Beiwang, ia sungguh adalah Tuan Besar Zhen Beiwang....” Pingting berpikir dengan keras untuk beberapa saat, lalu matanya bersinar, menunjukan ia telah membuat keputusan akhir. “Aku belum menemukan Tuan, aku tak punya alasan untuk tetap disini. Baiklah, Kediaman Hua … semoga beruntung.”

Entah bagaimana caranya, Pingting mampu bangun dan membereskan barang-barangnya. Ia merasa dirinya begitu kejam ketika memikirkan betapa baiknya orang-orang Kediaman Hua padanya. Tak peduli apa yang dipikirkannya, ia tetap harus pergi. Ia sedang berada di Dong Lin, negara musuh, dan jika Tuan Besar Zhen Beiwang menemukan identitasnya, Keluarga Hua akan masalah lebih besar.

Ia pergi melewati pintu belakang yang jarang di gunakan dan tak seorangpun yang menyadari kepergiannya. Seperti itulah, Pinting meninggalkan Kediaman Hua.

Malam itu ia lewatkan disebuah rumah makan. Ia telah terbiasa melihat Chu Beijie berdiri berjaga malam, karena itu ia tidak bisa tidur lagi, membiarkan kepalanya berpikir berulang-ulang sepanjang malam.

Yang paling menghawatirkannya adalah kenyataan bahwa batuknya semakin memburuk. Sekali batuk akan terus menerus, tak ada tanda tanda akan membaik.

Hari berikutnya, kota sangat tenang. Ia terlalu lemah untuk pergi keluar, jadi ia bertanya pada pekerja disana tentang keadaan diluar, tapi tak ada kejadian apa pun menyangkut orang terkemuka.

Ia melewatkan satu malam lagi. Pagi di hari ketiga seorang pekerja membawakannya air panas. “Sesuatu telah terjadi kemarin malam. Keluarga terpandang Hua karena suatu hal, telah membuat Tuan Besar Zhen Beiwang begitu marah sehingga ia memerintahakan untuk memenggal seluruh penghuninya.”

Pingting tersigap, tapi ia mencoba agar tidak terlihat terlalu antusias. “Apa ? Seluruh penghuni akan di hukum penggal?”

“Aku tak tahu apa yang membuat Tuan Besar Zhen Beiwang begitu murka.” Si pekerja mendesah, “Keluarga Hua pasti telah membuat hal yang luar biasa memalukan sampai pantas mendapat hukuman seperti ini. Tuan Besar Zhen Beiwang kami sebenarnya sanat baik.”

Pingting tidak mendengarkan dua kalimat terakhir. Ia menebak Chu Beijie pasti akan sangat marah tapi, ia tak pernah mengiria ia sampai menghukum mati begitu banyak orang.

Sifat keras dan wajah keras kepala Chu Beijie melintas di kepalanya dan ia memejamkan matanya. Ya, ia tahu kalau pria itu takkan pernah bisa dipercaya. Ia mungkin seorang pria baik, tapi begitu berhubungan dengan perang, ia seorang iblis haus darah yang pernah ada. Pinting pernah mendengar tentang kekejaman Tuan Besar Zhen Beiwang sifat haus darahnya hingga bisa membuat sebuah sungai dari para prajurit Gui Li.

“Apa ia akan membunuh semua penghuni Kediaman Hua?” Pingting menatap meja dan kursi di depannya, yang perlahan menggabur karena airmatanya, Ia menggelengkan kepala “tak mungkin...”

Bahkan jika Tuan Besar Zhen Beiwang menghancurkan sepuluh keluarga besar seperti Keluarga Hua, masyarakat Dong Lin tidak akan membantah.

Tuan Besar Hua, Nona Hua, Nyonya Hua, Nyonya Chen, You Er, Zi Hua … kepala mereka akan dipenggal, meninggalkan bencana berdarah. Dadanya terasa sesak, seperti ingin dimuntahkan.

“Tidak, aku tak bisa hanya duduk dan menyaksikan mereka mati.” ia mencengkram pinggir tempat tidurnya, perlahan memaksa bangun.

Kediaman Zhen Beiwang terasa lebih hening daripada biasanya, dua baris penjaga berdiri di luar. Pelayan yang melayani di dalam berjalan dengan berjingkat dan bila ada yang merasa tenggorokannya gatal, mereka harus diam-diam pergi ke tempat yang jauh dari Tuan Besar dan batuk disana.

Bahkan Chu Morang, yang biasanya sangat tenang, berkeringat sementara berdiri di dalam kantor.

Chu Beijie melihatnya dari atas kertas kerjanya, “Kau kepanasan ?”

“Tidak.”

“Hapus keringat di wajahmu kalau begitu.”

“Baik.”

Chu Beijie tidak benar-benar gelagapan seperti yang Pingting bayangkan.

Dua hari lalu, ia telah bertransaksi dengan keluarga tunangan Nona Hua untuk membatalkan perjanjian pernikahan. Ia telah menghabiskan sepanjang malam bersiap untuk Nona Hua, tapi ketika ia tiba di kediaman Hua, ia diberitahu kebenarannya. Ia tidak memicingkan matanya, tidak berteriak pada mereka dan tidak kehilangan ketenangannya. Ia hanya berdiri di depan kamar Pingting untuk beberapa saat, kemudian berlalu.

Dan di pihak Nona Hua, ia berpikir bahwa bahaya telah berlalu. Ia tersenyum tak bersalah pada Kepala Rumah Tangga dan berkata, “Aku benar kan? Tuan Besar Zhen Beiwang orang yang baik, Hong sudah khawatir tanpa alasan”

Kembali ke kediamannya, Chu Beijie telah duduk dan dengan perlahan menghirup tehnya. Chu Morang berdiri di sisinya, berusaha membuat napasnya tetap tenang, karena ia tahu Tuannya diambang batas. Ia sedang marah besar.

Seperti yang di harapkan, setelah tehnya habis ia memerintahkan dengan suara tenang, “Besok, sore hari, penggal seluruh penghuni Kediaman Hua di depan Kediaman kita.”

Akhirnya Chu Beijie bersuara, Chu Morang mendesah lega. “Baik.”

“Jangan lewatkan satu orangpun, bahkan seekor anjing” Chu Beijie menambahkan.

Sekarang, sore hampir tiba. Seluruh orang-orang Kediaman Hua terikat dan menangis. Pisau penggal sudah diasah, menunggu perintah Zhen Beiwang untuk memotong leher manis para korban.

“Tuan,” Chu Morang menatap langit, “Sudah waktunya.”

“Sudah waktunya?” Chu Beijie melihat sekeliling, terasa keheningan yang tidak biasa. Ia melihat langit, keajaiban yang ia harapakan tidak terjadi. Wajahnya berubah sedingin batu dan seringai haus darah muncul di bibirnya, “Bunuh mereka.”

Tapi sebelum kata-katanya dilaksanakan, terdengar suara lembut kecapi. Suara yang mewah terdengar dari dinding pembatas, melewati jendela dan sampai di telinga Chu Beijie.

“Ketika ada masalah, disana ada pahlawan.... ketika ada pahlawan maka ada wanita cantik. Bertahan dari kekacauan, bertahan dari kehancuran...” Suaranya redup tapi ini lagu yang sama. Ia tak bisa menahan senyumnya pada nada hangat dan lembut ...

“Jika ada pasukan, maka akan ada kemasyuran, akan ada kecurangan; prajurit tahu kecurangan, prajurit tahu kecurangan”

Suara kecapi sangat merdu terdengar. Kadang halus seperti benang laba-laba, kadang seperti burung yang terbang tinggi, begitu tinggi melewati awan, dan terkadang terbang rendah sejajar lapangan rumput.

Sudut mulut Chu Beijie terangkat.

Chu Morang juga terkagum-kagum mendengarnya tapi kemudian ia teringat harus menyampaikan pesan Tuannya. Tapi tiba-tiba ia mendengar Chu Beijie berkata, “Jangan bunuh mereka dulu. Bawa gadis yang memainkan kecapi kemari.”

“Baik.”

Segera Chu Beijie bertemu dengan mata hitam yang ia cintai sekaligus ia benci.

Kali ini matanya mengarah pada Chu Beijie, tanpa kemarahan, tanpa beban, tidak takut dan tidak gembira. Pingting hanya memperhatikannya dan dengan kerendahan hati membungkuk. “Aku disini, Tuan.”

Chu Beijie terkejut mendengar suara yang ia kenal yang terdengar dari balik tirai. Ia mengerutkan bibirnya.

Memicingkan matanya kepadanya, ia berkata, “Hari ini sepertinya pandanganku tentang kehidupan bertambah. Kau adalah Nona sekaligus si pelayan. Kau bisu tapi kau juga bisa bernyanyi. Kalau ada hal lain yang bisa kau lakukan, perlihatkan.”

Suara Tuan Besar Zhen Beiwang sangat mengancam, biasanya mampu membuat prajurit yang paling berani menjadi gemetar, tapi Pingting tidak marah juga tidak takut.

Pingting malah tersenyum, pura-pura terlihat sedih “Tuan, marah ?”

Chu Beijie mendengus dingin, ia malah bertanya balik, “Aku berpendapat kau sangat mengerti arti ‘prajurit tahu kecurangan’ kadang kecurangan membawa kemenangan tapi juga bisa menjadi kekalahan parah?”

“Pemenang selalu menentukan nasib yang kalah.” Wajah Pingting berubah serius dan ia menghela napas, “Jika begitu, silakan Tuan menghukumku.” Ia menundukkan kepalanya.

Chu Beijie diam-diam tersenyum pada kepalanya yang tertunduk. Ia mengambil lambang giok di mejanya dan mengenggamnya. “Aku mengerti maksudmu, Kau tak ingin Keluarga Hua dihancurkan. Kurasa itu suara hati yang bagus untuk seorang pelayan. Baiklah, aku memaafkan Keluarga Hua untuk saat ini, tapi....” Ia berpikir sejenak berkata dingin. “Kau harus tinggal disini.”

“Tinggal disini dan, melayani Tuan ?”

Chu Beijie berkata lagi, “Atau apa kau berencana menjadi istriku atau semacamnya ?”

Tanpa berkata lagi, Pingting perlahan membungkuk padanya.



--0--




novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia