Selasa, 27 Desember 2016

Gu Fang Bu Zi Shang -- 2.46

-- Volume 2 chapter 46 --



Di pagi hari sekali, cahaya kekuningan muncul di balik lapisan awan tipis.

Suara langkah kaki kuda memecah kesunyian, berlari cepat di jalan bersalju.

Bada, bada, bada bump….

Seekor kuda muncul dari kejauhan dan bendera darurat militer dipasang di belakangnya untuk memastikan ia tidak dihadang dalam perjalanannya.

“Buka gerbang! Cepatlah, buka gerbang kota! Pasukan Dong Lin sudah mundur! Pasukan Dong Lin sudah mundur!”

Si pembawa pesan menoleh ke atas sambil berteriak pada gerbang yang tertutup, ada kegembiraan dalam suaranya meskipun ia sangat lelah.

Para penjaga di gerbang terkejut tidak mempercayai apa yang mereka dengar. Mereka melihat ke bawah dan bertanya, “Apa yang baru saja kau katakana?”

“Cepatlah buka gerbang! Aku harus melapor pada Pejabat Senior. Pasukan Dong Lin mundur!”

“Pasukan Dong Lin sudah mundur! Pasukan Dong Lin mundur! Perang sudah selesai!”

Pintu gerbang yang berat mengeluarkan suara gemuruh ketika perlahan mulai terbuka. Berita tentang pasukan Dong Lin yang mundur segera menyebar melalui udara ke seluruh ibukota Yun Chang, menyirami hati setiap orang.

“Pejabat Senior, Pejabat Senior! Pasukan Dong Lin sudah mundur!”

Meskipun ia telah mempersiap hati, si tua Gui Changqing langsung terburu-buru duduk di tempat tidurnya. “Mereka benar-benar telah mundur?”

“Benar, Tuan Putri sendiri yang pergi untuk bernegosiasi dengan Chu Beijie, dan setelah itu pasukan Dong Lin mundur.” Si pengirim pesan berlutut sambil melaporkan dengan jelas. “Pasukan kita sudah mengirimkan mata-mata dalam jumlah yang banyak untuk memperhatikan pergerakan di dalam pasukan Dong Lin. Tidak ada yang mencurigakan sama sekali. Mereka benar-benar mundur.”

Gui Changqing telah selesai mengenakan pakaian yang dibawakan oleh pelayannya, “Dimana Tuan Putri dan Suaminya?”

“Tuan Putri dan Suaminya dalam perjalanan, memimpin pasukan menuju ibukota.”

“Kita harus mempersiapkan penyambutan meriah.” Gui Changqin berbalik, ekspresi wajahnya sangat lembut. “Pergilah, suruh Pejabat Umum untuk segera kemari, dan semua para pejabat yang terkait urusan persediaan, upacara, dan hiburan. Tunggu…” Ia berpikir sejenak, lalu melanjutkan kembali, “Dalam pertempuran antara Dong Lin dan Yun Chang ini, tetap saja ada sejumlah anak-anak Yun Chang yang telah meninggal atau terluka. Panggil Pejabat Militer untuk membicarakan masalah pensiun dan lainnya.”

Si pelayan, yang bertugas untuk menyampaikan perintah segera mengangguk, menulis semua perintah itu dan bergegas pergi.

Suara gemuruh.

Beberapa suara gemuruh terdengar dan sebuah suara sangat kencang, menguncang debu di ujung atap. Semua orang di dalam ruagan sangat terkejut dan ekspresi Gui Changqing berubah. “Apa yang terjadi di ibukota? Segera periksa!”

Tak lama kemudian, si pelayan segera kembali. “Melapor pada Pejabat Senior, kabar pasukan Dong Lin mundur telah mencapai ibukota. Setiap orang bangun dan minum arak, bernyanyi dan berdansa di jalan-jalan. Kembang api dan petasan dinyalakan di mana-mana, toko kembang api terbesar di ibukota telah menyalakan kembang api yang paling besar untuk merayakannya. Suara barusan berasal dari kembang api itu. Apa Pejabat Senior bermaksud memenjarakan mereka?”

Gui Changqing mengerti keadaan saat ini, ia mengelengkan kepalanya dan berkata, “Memenjarakan mereka untuk alasan apa? Siapa yang tidak punya anak atau adik kecil yang bergabung menjadi prajurit? Sekarang perang sudah berakhir, rakyat bergembira, artinya kekhawatiran kita juga akhirnya bisa beristirahat.” Lalu ia memerintahkan, “Panggil seorang pelayan untuk mengelurakan seribu dua ratus koin perak untuk membeli arak. Letakan di halaman depan istana kerajaan agar rakyat bisa dengan bebas mengambilnya.”

Si pelayan tertawa. “Pejabat Senior, gudang bawah dan gudang barang kita penuh, tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli arak dari rakyat.”

“Semua itu untuk digunakan ketika Putri dan Suaminya tiba di istana. Aku takut persediaan kita tidak cukup untuk para Jendral dan prajurit. Sungguh kabar yang mengembirakan!” Memikirkan peperangan artinya membawa kehilangan besar pada negara, dan sebab akibat yang tidak berakhir. Gui Changqing sangat memikirkannya, berkat dirinyalah selama ini Yun Chang memainkan kebijakan politik untuk tidak menyerang negara lain selama bertahun-tahun.

Tak lama kemudian, si pelayan pertama yang disuruhnya pergi telah kembali dan melapor, “Para Pejabat telah tiba dan sekarang sedang menunggu di ruang utama.”

“Baiklah.” Gui Changqing merapikan jubahnya yang besar sekali lagi sebelum melangkah keluar pintu.

Ia melewati jalan utama di kediaman, melewati taman dan berencana berjalan lurus menuju ruang utama. Karena gembira, langkahnya menjadi lebih ringan. Ketika ia tiba di kolam yang tertutup lapisan tipis es, ia mendengar suara salah seorang kurirnya berkata dengan tegang dan kencang, “Lapor! Laporan darurat dari pasukan! Lapor!” suaranya terdengar semakin dekat dan petugas itu yang berteriak dengan putus asa segera berlari mendekat padanya.

Hati Gu Changqing berdebar.

Pasukan Dong Lin sudah mundur, berita darurat apa lagi yang bisa dibawa dari perbatasan?

Apakah situasi telah berubah?

“Kau pergilah,” Gui Changqing berkata pada pelayan yang berada di belakangnya.

Si pembawa pesan telah tiba sebelum ia sempat berbalik.

Gui Changqing menghentikan langkahnya ketika hendak melewati jembatan. Ia berkata pelan, “Apakah pasukan Dong Lin batal mundur?”

Si pembawa pesan baru saja turun dari kuda dan berlari sekencangnya. Ia menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak datang dari perbatasan.”

“Oh?’ Gui Changqing perlahan mulai tenang, “Katakan kabar apa yang kau bawa?”

“Melapor pada Pejabat Senior, pos pemeriksaan di gunung Tonglin, Hemeng, Xiaoyang, Yunliao telah diterobos. Si pelaku bukan prajurit Bei Mo tapi seseorang yang datang dari arah Yun Chang.”

Gui Changqing bertanya dengan terkejut, “Hanya seorang pria?”

“Benar.” Bahkan wajah di pembawa pesan menampakan ketidakpercayaan. “Dengan hanya seekor kuda, ia dengan teratur menerobos empat pos pemeriksaan Yun Chang. Pria itu datang tidak terduga. Kemampuan berpedangnya sangat luar biasa. Karena pertempuran dengan Dong Lin, para prajurit dengan kemampuan lebih yang diletakan di pos pemeriksaan, seluruhnya di panggil ke perbatasan, jadi prajurit yang tersisa tidak berani melawan pria ini.”

Gui Changqing berpikir sejenak, lalu ia bertanya, “Jendral Chang yang paling dekat dengan kota itu, apa ia sudah mendengar kabar ini?”

“Para prajurit khusus Jendral Chang juga dibawa serta Suami Ratu. Ketika ia mendengar ini, ia segera mengirim sisa prajuritnya untuk mengalahkan orang ini. Tapi, orang ini terlalu kuat dan lihai. Ia sangat hebat menyembunyikan jejaknya dan hanya muncul ketika di pos pemeriksaan tersisa sedikit prajurit. Ia datang dan pergi dengan tenang, jadi ketika tim utama tiba, bayangannya sudah lama pergi. Jendral Chang tidak bisa berbuat apa-apa pada orang ini, ia hanya bisa memerintahkan untuk menutup seluruh pos pemeriksaan untuk mencegahnya menerobos lagi.”

“Karena ia secara teratur menerobos empat pos pemeriksaan, sepertinya tujuannya bukan untuk mencapai Bei Mo.”

“Bukan, setiap kali orang itu menerobos ia selalu menangkap pemimpin disana dan bertanya tentang seorang wanita. Ia memegang sebuah lukisan di tangannya, lukisan seorang wanita. Ia hanya bertanya apakah para penjaga di pos pemeriksaan pernah melihat wanita itu dan kalau mereka tahu kemana arah tujuannya. Orang ini sangat berani dan sangat terlatih. Kalau seorang prajurit biasa, berhadapan dengannya, bukan hanya pedangnya tapi cukup dengan tatapannya saja sudah membuat prajurit itu ketakutan.”

Akhirnya Gui Changqing bisa menebak apa yang sedang terjadi, dan ia tersenyum, “Apa kau tahu siapa orang itu?”

Si pembawa pesan terkejut dan bertanya, “Orang ini selalu mengenakan kain penutup wajah berwarna hitam, menyamarkan penampilannya, hanya terlihat matanya. Bagaimana Pejabat Senior bisa menebak jati diri orang itu?”

Sudut bibir Gui Changqing naik membentuk seulas senyuman. Ia meletakan tangannya di belakang punggungnya dan menatap langit. Ia menghela napas sambil meratap, “Siapa lagi kalau bukan pria itu? Ia tak lain dan tak bukan, Chu Beijie.”

Berita Pasukan Dong Lin menarik diri baru saja mencapai ibukota, tapi Chu Beijie sudah melewati empat pos pemeriksaan, sugguh kecepatan yang luar biasa.”

Ia pasti segera berangkat begitu selesai menarik mundur pasukan.

Kegelisahan Chu Beijie sangat terlihat jelas.

“Tuan Besar Zhen Beiwang dari Dong Lin?” Si pembawa pesan kembali terkejut, ia melebarkan matanya dan menatap agak lama sebelum ia menghembuskan napas kembali. Ia menggelengkan kepalanya. “Tak heran, ia begitu kuat. Aku akan segera kembali dan menyampaikan berita penting ini pada Jendral Chang.”

Berita militer sangat penting bagi negara. Hanya para prajurit setia dan pintar yang diperbolehkan menjadi pembawa pesan. Pikiran mereka lebih jernih di banding para prajurit lainnya.

Si pembawa pesan sedikit ragu ketika ia berkata, “Aku akan membuat pernyataan, karena Tuan Besar Zhen Beiwang dari Dong Lin telah memimpin pasukan untuk menyerang Yun Chang, oleh karena itu ia adalah musuh Yun Chang. Dan sekarang ia sedang sendirian, berada di perbatasan Yun Chang, ini merupakan kesempatan bagus untuk menghabisinya.”

Gui Changqing berpikir lama tentang ini. Bagaimanapun, Chu Beijie merupakan kekhawatiran bagi tiga negara lainnya juga. Tidak ada yang berniat menyentuhnya. Chu Beijie seorang diri dengan kudanya, keluar masuk perbatasan Yun Chang, seperti memberi umpan makanan pada orang-orang yang kelaparan di gurun. Meskipun Gui Changqing bijaksana dan berpengalaman, ia harus sangat menahan diri dari gagasan – segera mengirim pasukan untuk menangkap Chu Beijie.

Chu Beijie takkan mudah di tangkap.

Di gunung bersalju Songsen, memerintahkan pasukan untuk mengepung seorang jendral terkenal yang mampu bersembunyi dengan sempurna adalah hal mustahil untuk dilakukan.

Sulit untuk menangkap seorang seperti Chu Beijie, tapi jauh lebih sulit lagi menemukan kesempatan bagus.

Apalagi….

“Apa gunanya juga jika mengirim pasukan dan berhasil membunuh Chu Beijie dengan sekali tusukan?” Gui Changqing tersenyum pahit sambil mengelengkan kepalanya, dengan segan berusaha melepaskan ide yang begitu meggodanya. “Kalau berita ini tersebar, pasukan Dong Lin yang sedang mundur akan segera bergegas datang kesana. Saat itu, tak diragukan lagi, akan terjadi pertempuran sampai prajurit terakhir tersisa.”

Kedamaian yang sudah mereka usahakan dengan susah payah akan hancur karena satu hal saja.

Yang seperti itu, Gui Changqing sama sekali tidak ingin mengalaminya.

Si pembawa pesan telah mendengar kehebatan Chu Beijie sejak lama, ia mengerti apa yang dikatakan Gui Changqing memang benar. Ia tak berpikir jauh lagi, sambil berlututu ia berkata, “Saya akan meninggalkan ibukota malam ini. Apa Pejabat Senior masih ada perintah lain?”

“Sampaikan pada Jendral Chang dua hal. Yang pertama, tidak perlu mengirim pasukan untuk menyerang Chu Beijie. Orang ini luar biasa berani dan berbahaya. Mustahil dibunuh, kalau bersikeras hanya akan membuat banyak  prajurit Yun Chang mati sia-sia. Perang baru saja selesai, tidak perlu membuat marah Panglima musuh. Masalah pos pemeriksaan, ia hanya sedang mencari seseorang, tidak berniat melukai, jadi tidak perlu melawannya. Dan yang kedua,….” Gui Changqing ragu sesaat, sebuah kilatan bersinar di matanya. Ia berkata pelan, “Katakan pada semua yang berada di pos pemeriksaan, apapun yang terjadi, jangan sampai Chu Beije bertemu wanita itu.”

“Baik.”

“Ingat baik-baik yang kedua.”

“Baik, aku mengerti.”

Gui Changqing memperhatikannya, prajurit itu terlihat sedikit kecewa ketika ia pergi. Mata Gui Changqing melihat sekelilingnya, ada sebuah kolam kosong di sebelahnya, sebuah jembatan yang tertutup salju, tidak ada seorangpun yang bisa bersembunyi disana tanpa diketahui. Gui Changqing bertanya lagi pada si pembawa pesan, “Apa kau mengenal gunung Songsen dengan baik?”

“Aku selalu ditempatkan di gunung Songsen dan sangat tahu seluk beluk gunung itu.”

“Siapa namamu dan apa jabatanmu di pasukan?”

“Melapor pada Pejabat Senior, namaku Fanlu, jabatanku Wakil Jendral.”

“Aku akan menaikan pangkatmu menjadi Jendral.”

“Eh?” Fanlu terlihat sangat terkejut. Ia menyadari ekspresi serius Gui Changqing, jadi hal ini bukan sekedar becandaan. Matanyanya bersinar sambil ia menjawab dengan kencang, “Terima kasih, Pejabat Senior! Aku pasti akan melakukan yang terbaik untuk membalas kebaikan Pejabat Senior.”

Gui Changqing melangkah turun dari jembatan, membantu Fanlu untuk berdiri sambil berbisik, “Aku ada permintaan ketiga, hanya untuk kau dengar. Hanya keluar dari mulutku dan masuk ke telingamu.”

“Baik.” Fanlu menjawab dengan tegas dan ia mendekatkan telinganya kea rah Gui Changqing.

“Wanita itu, mungkin berada di sekitar gunung Songsen, tidak boleh bertemu Chu Beijie. Kau harus menemukannya lebih cepat dari Chu Beijie.”

“Membunuh wanita itu?”

“Tidak.” Gui Changqing menjawab dengan berbisik, “jangan sampai ada tanda di tubuhnya kalau itu perbuatan manusia.”

Sekilas sinar kejam yang hanya bisa nampak di mata seorang prajurit muncul di mata Fanlu. “Disana banyak binatang buas yang keluar sepanjang tahun. Aku tahu apa yang harus kulakukan.”

“Apa kau sudah pernah melihat lukisannya?”

“Belum, hanya orang-orang yang di tangkap Chu Beijie yang pernah melihatnya. Tapi, hanya sedikit wanita yang berani berada di sekitar gunung Songsen.”

“Ingatlah, wanita itu memakai sebuah tusuk rambut giok yang bercahaya. Itu satu-satunya perhiasan yang tak pernah dilepasnya sejak ia berangkat dari Dong Lin sampai Yun Chang.

--

Zuiju lupa sama sekali sudah berapa lama ia menunggu dalam kegelapan. Setiap menit dan setiap detiknya membuat hatinya tersentak. Pernderitaan itu berlanjut berkali-kali dalam kegelapan. Ia mengenggam ringan tangan Pingting, tak mau melepaskannya. Ia takut kalau ia lepaskan, ia akan selamanya kehilangan Pingting. Udara bergemuruh oleh dua tarikan napas.

Oh langit, tolong lindungo Nona Bai dan anaknya melewati rintangan ini.

Ia merasa wajahnya basah. Airmatanya jatuh melewati kulit wajahnya.

“Kapan badai akan selesai?” Zuiju sulit berkata dengan tenang, tanpa menangis.

“Mungkin akan segera berhenti.” Pingting menjawab dengan tenang dan pelan.

Semakin Pingting tenang, semakin Zuiju menjadi panik. Setelah sunyi yang tidak menyenangkan, suara Zuiju terdengar lagi. “Aku benar-benar benci Tuan Besar.” Zuiju berbisik.

“Zuiju.”

“Aku benar-benar benci Tuan Besar, sunggu benci padanya.” Zuiju mengertakan giginya.

Zuiju hanya mampu menyalahkan pria itu dan hanya bisa membenci pria itu. Mengapa, ia memiliki kemampuan begitu luar biasa, tapi wanita yang ia cintai harus menderita seperti ini?

“Semua ini salah Tuan Besar. Semuanya salah dia. Bukankah seharusnya seorang pria melindungi wanita? Seharusnya wanita yang mereka cintai dilindungi dalam telapak tangannya.” Semakin ia berpikir, semakin ia menjadi marah. Semakin ia berucap, semakin ia menjadi gelisah.

Pingting menghela napas dan menarik tangan Zuiju dalam gengamannya. Ia menenangkannya. “Zuiju, jangan dilanjutkan.”

“Tuan Besar seharusnya berada disini. Seharusnya Tuan Besarlah yang menemanimu disini.”

Kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan mengalir keluar, dan akhirnya menghasilkan kesunyian yang menyakitkan. Zuiju baru menyadarinya, ia pasti telah menjadi gila karena badai dan kegelapan.

Chu Beijie, kalau saja Chu Beijie disini, apalah artinya badai seperti ini? Pundaknya yang lebar, bisa melindungi Pingting dari cuaca keras begini.

“Nona, aku….” Zuiju menyesal, “Aku seharusnya tidak menyebut namanya.”

“Kau benar.” Pingting menjawab dengan sedih. “Akan lebih baik kalau ia disini.”

Benar-benar akan lebih baik kalau mereka tidak berpisah, meskipun kekuasaan paling tinggi berusaha melakukannya.

--
Badai menyembunyikan siang. Gunung Songsen telah mejadi putih. Angin mulai melolong, menghantam keras bukit bebatuan, menghasilkan suara siulan yang mewakili ketidakpuasan hati.

Chu Beijie duduk di antara bebatuan, mengayunkan pedangnya di tangannya.

Ia telah menghabiskan hampir seluruh hidupnya dalam peperangan dan melihat badai yang jauh lebih buruk dari yang ini. Ia segera mengamankan dirinya di dalam gua yang paling kokoh ketika mulai memasuki gunung.

Tidak ada tempat untuk badai di hatinya. Ia menunggu badai berlalu dalam diam. Begitu angin berhenti, ia akan segera turun gunung dan berniat memeriksa satu lagi pos pemeriksaan, Suyang.

Suyang, pos pemeriksaan Yun Chang yang paling lemah. Kalau Pingting berniat pergi ke Bei Mo, ia pasti akan memilih untuk melewatinya.

Mungkin juga Pingting sudah melewati pos pemeriksaan Suyang hari ini.

Tapi bagaimana kalau hari inipun tanpa hasil? Sinar di bola mata Chu Beijie mulai meredup.

Beberapa hari belakangan ini, ia telah mencapai empat pos pemeriksaan Yun Chang tapi tak satupun yang telah melihat Pingting. Apakah Pingting tidak menuju Bei Mo?

Hal ini membuatnya sangat khawatir. Kalau ia tetap tinggal di Yun Chang, meskipun Putri Yaotian membebaskannya pergi, tapi He Xia jelas tidak. He Xia akan mengirim pasukan pengejar dan akan tiba dalam satu atau dua hari.

Suara gemuruh yang memekakan telinga terdengar dari langit, dan petir berwarna merah darah seperti memukul hati Chu Beijie, menusuk luka di dadanya dan membuat segalannya mengalir ke dalam kegelapan yang tak pernah berakhir. Tubuhnya terasa kosong, kecuali kegelisahan dan penderitaan yang masih tersisa.

Pinting, dimana kau?

Apa kau dan anakmu berada di gunung, di dalam badai salju, disuatu tempat di jalanan bergelombang?

Aku hanya ingin memelukmu erat, tubuhku melindungi tubuhmu dari salju yang melolong.

Kalau kau mengijinkan aku melakukannya, aku akan menjadi pria paling berbahagia.

“Dimana kau? Dimana kau berada?” Chu Beijie melihat sarung pedangnya. Ukiran bunga di sarungnya mengingatkannya pada tusuk rambut emas yang menghiasi rambut Pingting.

Saat ini, ia sangat merindukan kehangatan Pingting, ia ingin melihat ekspresi tenangnya, dan senyumnya yang sangat percaya diri itu sekali lagi.

Deru angin mulai mereda. Bumi telah gelap, tidak seperti sebelumnya, kali ini menandakan badai akan berakhir.

Wajah Chu Beijie menjadi gembira. Ia segera bergerak keluar.

Kalau ia tidak berhasil di pos pemeriksaan Suyang, berarti Pingting telah menemukan jalan lain menuju Bei Mo.

Dan ia takkan ragu untuk menuju Bei Mo.

Bahkan kalau ia harus berjalan ke ujung dunia, ia harus menemukan Pingting.
--

Zuiju hampir berpikir kalau ia takkan bisa bertahan sampai badai berakhir. Ia telah berdoa dan memohon pada langit dengan cara yang ia tahu, meskipun nadi Pingting masih belum stabil, setidaknya tidak memburuk.

“Sepertinya badai hampir selesai.”

Dalam kegelapan, ia mendengar Pingting menghela napas lega. “Sungguh?” Pingting berusaha duduk dan meluruskan punggung dengan sangat lama. Terlihat seperti seseorang yang sangat kelelahan sedang berjuang dengan napas terakhirnya mencapai tujuannya sampai ia pingsan.

“Nona!” Zuiju menangis dengan panik.

Pingting berusaha menahan dirinya. “Jangan khawatir.” Suaranya sangat lemah.

Zuiju mengeluarkan tangannya dan mengelap dahi Pingting yang penuh keringat. “Apa dadamu terasa kaku?”

“Benar.” Pingting berbisik.

“Salju sudah hampir berhenti.”

Pingting dengan perlahan bergeser agar pintu keluar terlihat. bagian itu tidak dituangkan air maka tidak tertutup blok es. Ujung pakaian dari atap telah jatuh menutupi pintu masuk, penuh embun beku dari badai salju. Pingting mendorong dengan kuat, tapi pakaian dan salju sama sekali tidak bergerak. Setelah beberapa kali mendorong, seberkas cahaya mulai memaksa masuk. Meskipun hanya sedikit, tapi lebih baik daripada kegelapan total. Pingting dan Zuiju segera mengigil, dua kali.

Sungguh dingin, tapi salju sudah hampir berhenti. Suara mengerikan yang mengertakan ranting-ranting perlahan menghilang. Akhirnya, mereka berhasil membuka pintu masuk dan berjuang keluar.

Tenda es itu telah melindungi mereka dari bencana, bersinar cerah di bawah cahaya matahari. Sangat kecil, sehingga terlihat mustahil kalau tenda itu telah membantu dua orang dewasa terbebas dari badai salju.

Udara dingin mengalir melewati hidung mereka, membawa kesegaran khas dari hutan gunung. Mereka telah berhasil bertahan hidup dan melihat sinar matahari di depan mereka, membuat mereka lebih menghargai kehidupan mereka. Semangat mereka segera pulih.

“Nona, ayo kita lanjutkan perjalan kita.”

“Tentu.”

“Ijinkan aku memeriksa nadimu lagi. Apa dadamu masih terasa kaku?”

Pingting mengelengkan kepalanya. “Sudah lebih baik.”

Zuiju mempelajarinya, ragu sesaat.

Pingting memang benar. Badai salju telah menghancurkan seluruh cabang pohon, dan buntelan mereka diterbangkan entah kemana beberapa saat lalu. Mereka sudah tidak memiliki jarum lagi atau juga tumbuhan obat yang dipersiapkan sebelum mendaki gunung.

Zuiju bertanya dengan khawatir. “Apakah kita akan terus?”

“Iya.”

“Kuharap langit terus melindungi kita dan membiarkan kita menemukan beberapa tanaman obat. Tanpa jarum perak, jarum dari dahan cemarapun bisa melakukan sesuatu untuk saat ini.” Zuiju melanjutkan. “Nona duduklah disini sebentar. Aku akan mencari cabang cemara untuk dibuat jarum. Setelah beberapa tusukan kau akan bisa menahan ketidaknyamananmu untuk beberapa saat.”

--00--


Home


novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia

Gu Fang Bu Zi Shang -- 2.45

-- Volume 2 chapter 45 --



Akan selalu ada saja hari yang tidak terduga.

Setelah dua hari panas, langit mulai murka lagi. Awan tebal menggantung di atas, gelap mengelilingi gunung-gunung yang dekat dan gunung-gunung yang jauh.

Zuiju melihat ke langit dan menghela napas. “Sepertinya akan ada badai salju.”

Pingting berbaring di atas batu ketika ia menaiki lereng gunung yang tertidur. Ia sedikit terenggah-enggah dengan diam memperhatikan sosok kabur orang-orang berada jauh di bawahnya. “Gunung Xiaoyang sudah di depan. Setelah itu, pos pemeriksaan dan kita akan tiba di Bei Mo. Masalah badai salju khawatirkan nanti saja.”

Zuiju mengangguk.

Buntelan bawaan mereka telah di curi oleh para petugas ketika mereka menginap di kabin pasangan tua. Mereka sudah tidak memiliki baju atau uang. Terkadang mereka mengobati orang untuk mendapatkan sedikit uang, tapi ini memang masalah penting dalam perjalanan mereka. Tangan mereka yang halus telah berubah menjadi kasar.

Hari ini mereka melihat salah satu pos pemeriksaan untuk memasuki Bei Mo, Gunung Xiaoyang. Mereka berdua sedikit merasa lega. Begitu mereka tiba di Bei Mo, Yangfeng pasti akan menerima mereka. Pingting dan Zuiju saling membantu menuruni lereng. Mereka lebih berhati-hati dibanding ketika mendakinya. Mereka sudah mendapat pengalaman tak terhitung, dalam perjalanan dari ibukota Yun Chang sampai ke tempat itu. Sekarang mereka bersembunyi dengan tenang di jalan kecil hutan, duduk tenang di ujung jalan sambil memperhatikan pergerakan di Gunung Xiaoyang.

Beberapa orang terlihat seperti saudagar membawa kereta, bersiap untuk melewati pos pemeriksaan. Mengetahui badai salju akan segera datang, kepala saudagar menoleh ke langit dengan khawatir. Ia mengeluarkan sekantung uang dan menyerahkannya pada kepala penjaga. Ia memohon, “Tuan, lihatlah cuacanya. Badai salju segera turun, meski kami bisa bertahan, tapi barang-barang kami tidak. Berbaik hatilah, biarkan kami lewat tanpa kegaduhan. Aku lewat jalan ini setiap bulan, tiga atau empat kali, bagaimana mungkin aku tidak diperbolehkan melewatinya hari ini? Biasanya kalian tidak pernah memeriksanya, jadi hari ini mengapa tiba-tiba….”

“Jadi kau menyalahkan kami, hee?” si kepala penjaga mengerutu. “Kami tidak pernah memeriksa karena atasan kami memerintahkan seperti itu. Perang akan dimulai sekarang. Perang, kau mengerti? Ada dokumen tergantung disana dan jika kau cukup terpelajar, bacalah sendiri. Ditulis dengan jelas, tanpa surat ijin, kau tidak bisa melewati pos pemeriksaan.”

Di balik semak-semak, mereka berdua yang turut mendengarkan percakapan itu, saling bertukar pandang.

“Tempat ini seperti Gunung Hemeng, hanya mereka yang memiliki surat ijin yang bisa lewat.” Wajah Zuiju menjadi sedih, “Bagaimana ini, kita sudah menghabiskan tenaga, tergesa-gesa kesini dari Gunung Hemeng.”

Mata hitam Pingting menatap ke balik celah kecil diantara pintu gerbang tua Gunung Xiaoyang. “Sepertinya seluruh pos pemeriksaan dari Yun Chang menuju Bei Mo telah di perintahkan dengan ketat, hanya memperbolehkan mereka yang memiliki surat ijin yang bisa lewat.”

Seharusnya ia telah memikirkan hal ini sebelumnya. Pos pemeriksaan pasti akan luar biasa ketat begitu perang dimulai.

Yun Chang tidak bisa membiarkan serangan tiba-tiba dari Bei Mo yang bisa mengakibatkan kerugian ketika mereka bertempur menghadapi Dong Lin.

“Apa yang akan kita lakukan?”

“Tak ada cara lain.” Pingting menaikkan kepalanya, melihat ke ujung gunung yang tertutup awan gelap.

Jalan gunung ini memisahkan dua negara, Yun Chang dan Bei Mo. Pos pemeriksaan telah ditempatkan di seluruh kaki gunung. Di musim salju, hutan di gunung yang tinggi luar biasa dingin, para binatang kelaparan. Hanya orang gila yang akan melewati jalan itu.

“Nona?” Zuiju terlihat sangat gelisah.

Pingting tersenyum kecil, “Karena kita tidak bisa melewati pos pemeriksaan di sini, kurasa begitu juga dengan Gunung Songsen.”

“Sungguh beresiko…” Zuiju mulai berkata, “Kenapa kita tidak tinggal disekitar perbatasan sebentar dan menunggu…” tatapan Zuiju beralih ke perut Pingting dan ia berhenti berucap.

Pingting menggelengkan kepala. “Pos Pemeriksaan tidak akan lengah, hanya akan bertambah ketat. Putri Yaotian pasti sudah bergegas ke garis depan medan perang saat ini. He Xia pasti akan segera menyadari arah pelarian kita. Aku sangat tahu kemampuan He Xia. Pada saat ia kembali dari medan perang, ia akan segera terjun langsung ke pos pemeriksaan untuk menangkap kita. Ketika itu terjadi, takkan ada lagi kesempatan untuk meninggalkan Yun Chang.”

Zuiju menatap hutan gunung Songsen yang gelap dibawah awan hitam, ia menarik napas panjang dari udara dingin. Bagaimanapun, ia berhasil menenangkan diri. “Sebelum kita mendaki gunung, aku ingin memetik beberapa tumbuhan obat. Rumput Mo untuk mencegah keguguran, rumput itu banyak di kaki gunung.”

Pingting sudah memikirkannya, seharusnya begitu ia berhasil melewati gunung Songsen, pertempuran antara Yun Chang dan Dong Lin sudah terselesaikan, berkat keberhasilan Yaotian mengantarkan suratnya.

--

He Xia duduk di atas kudanya menyaksikan pasukan Dong Lin mundur sebaris demi sebaris.

Asap di udara mulai menghilang.

Setelah ketegangan di tali senar dilepaskan, hanya menyisakan kesepian dan kekecewaan.

Ratusan ribu prajurit telah dikirim untuk kesempatan ini, tapi tiba-tiba orang yang paling berkuasa di Yun Chang muncul di tengah medan peperangan. Saat ini, ia adalah Jendral tertinggi di Yun Chang, dan ia tidak tahu tentang hal ini sama sekali.

Dibawah begitu banyak tatapan pasang mata, Chu Beijie dan Yaotian dengan tenang berbincang-bincang tanpa khawatir, di tengah-tengah dua barisan pasukan.

Ia melihat Chu Beijie menunggang kudanya kembali dan mendengar suara lantang yang memerintahkan pasukan Dong Lin.

Ia sangat mengerti apa yang sedang terjadi.

“Pasukan Dong Lin mundur?”

“Pasukan Dong Lin mundur!”

Dari samping, dari belakang, setiap senti tanah, dari seluruh prajurit Yun Chang yang telah menunggu kematian yang pasti terjadi di medan pertempuran, bergemuruh suara gembira yang mengejutkan.

Penasihatnya datang mendekat, berkata dengan suara pelan, “Suami Ratu, pasukan Dong Lin sudah mundur.”

Mata He Xia tiba-tiba menjadi muram.

Saat itu, ia sangat ingin menarik pedangnya keluar dari sarungnya dan memerintahkan untuk menyerang. Kedua jumlah pasukan kurang lebih seimbang, tapi karena pasukan Dong Lin sedang bergerak mundur maka serangan yang tiba-tiba akan membuat mereka di atas angin.

Selama mereka bergerak sangat cepat ke depan, ia yakin sekali ia mampu memenggal kepala Chu Beijie.

Tangannya mencengkram kuat pangkal pedangnya. He Xia dengan susah payah menahan keinginan kuat yang bergelora di hatinya.

Ia tidak mampu mengeluarkan perintah.

Bahkan jika ia mengeluarkan pedangnya, para prajurit tidak akan mengikuti perintahnya.

Yaotian berada disini, dan bendera dari orang yang paling berkuasa di Yun Chang sedang berkibar. Ia hanya seorang Suami Ratu atau hanya salah seorang Jendral.

“Suami Ratu, pasukan Dong Lin sudah mundur.” Penasihatnya kembali melaporkan dengan berbisik.

Wajah He Xia kelabu, tapi akhirnya muncul sebuah senyum kecil di wajahnya. “Aku melihatnya.”

Ia tersenyum sambil melihat kereta Yaotian yang perlahan bergerak menuju pasukan Yun Chang. Di dalam kereta yang berhias mewah dan rumit itu, istrinya, penguasa Yun Chang duduk.

Seluruh pasukan tiba-tiba terdiam.

Orang yang telah mencegah peperangan adalah penguasa tertinggi Yun Chang dan satu-satunya orang yang dipatuhi seluruh prajurit, Tuan Putri Yaotian.

Kereta dengan perlahan menderap mendekat, akhirnya berhenti di depan pasukan Yun Chang, dan pasukan Dong Lin bergerak mundur di belakangnya. Kereta itu berada di depan ratusan ribu prajurit, termasuk di depan He Xia sendiri.

Yaotian duduk di dalam kereta. Tubuhnya di balut berlapis-lapis pakaian, tebal dan berat, tapi ia bisa merasakan gelombang dingin yang membuatnya gelisah.

Setelah meyakinkan Chu Beijie, ia memiliki masalah sulit lain yang harus dihadapi, sepertinya tatapan tajam He Xia telah menembus tirai jendela yang tipis. Ia tak mampu mengeluarkan keberaniannya, untuk menyibak tirai dan menghadapi He Xia.

Bai Pingting sudah tidak lagi berada di Kediaman Suami Ratu.

Pergi.

Puluhan ribu alasan hal yang terjadi adalah demi kebaikan semuanya, kenyataannya Bai Pingting telah pergi.

Karena itu, ia telah memikirkan banyak alasan untuk menjelaskan hal ini.

Adakah sebuah alasan yang masuk akal dan terhormat bagi penguasa Yun Chang untuk meyakinkan, baik dengan paksaan ataupun kelembutan? Atau menggunakan kejujuran seorang wanita untuk mengatakannya pada He Xia? Mungkin mengeluarkan seluruh kesedihannya sendiri…

Tidak berguna, saat ini, semua itu benar-benar tidak berguna.

Kereta berhenti dalam kesunyian. Dalam pikiran Yaotian hanya ada satu sosok, He Xia, duduk di atas kudanya, di depannya.

Ia mendengar sebuah suara nyaring, pedang di keluarkan dari sarungnya.

Begitu nyaring, begitu manis, sebuah pertanda kebulatan tekad dan ketetapan hati.

Tak ada seorangpun yang bisa mengeluarkan pedannya dengan cara seperti itu, kecuali pria yang telah mendapatkan seluruh hatinya.

Suamiku, Suamiku, apa kau membenci Yaotian?

Apa kau ingin membunuhku?

Yaotian memejamkan matanya.

He Xia menatap ke dalam kereta, melewati tirai yang tertutup, ketika ia mengeluarkan pedangnya.

Pedangnya sudah keluar, bergetar tak berhenti. He Xia lalu mengangkatnya ke langit, mengeluarkan seluruh tenaganya sampai kelelahan. Ia berteriak, “Panjang umur Tuan Putri.”

“Panjang umur Tuan Putri!”

“Panjang umur Tuan Putri!”

“Hoooraay! Hoooraaay! Panjang umur Tuan Putri!”

Para prajurit di belakangnya mengikutinya, suara mereka seperti petir.

“Hooraay!”

“Panjang umur Tuan Putri!”

Di atas dataran, gema itu terus berlangsung.

Tirai diantara mereka perlahan mulai terangkat, dan sebuah wajah muncul di depan He Xia.

“Putri.”

“Suamiku…” Yaotian berbisik.

“Terima kasih, Putri.”

Yaotian menatap wajah tampan yang tak pernah puas-puasnya, ia berbisik, “Mengapa berterima kasih padaku suamiku? Suamiku tahu aku telah melepaskan Bai Pingting, yang untuk mendapatkannya telah membuat suamiku mencurahkan segenap kemampuannya, demi membuat pasukan Dong Lin mundur.

Ekspresi He Xia masih seperti biasanya. Ia memperhatikan Yaotian dengan seksama lalu tertawa manis, “Setelah kejadian ini, aku tahu pasti kalau Putri benar-benar mencintaiku.”

“Suamiku!” airmata Yaotian tak bisa berhenti. Mengalir keluar tak mempedulikan kerumunan para prajurit. Ia memeluk dada He Xia. Dalam pelukannya, Yaotian menangis, “Yaotian melepaskan Bai Pingting berarti Yaotian telah menghianati suaminya.”

“Putri salah.” He Xia dengan lembut memeluk istrinya dengan lengannya, berbisik, “Hanya wanita yang tahu cinta sejati yang mampu merasakan cemburu. Untuk membiarkan Pingting tetap hidup, He Xia…. sangat berterima kasih pada Putri.”

Yaotian bergetar sedikit di dalam pelukan He Xia, mengetahui pundak He Xia yang lebar melindunginya memberinya keberanian yang tak terkira.

Suara He Xia lembut dan hangat. Bendera pasukan Dong Lin terpancar di bola matanya ketika mereka bergerak menjauh.

Kalau Pingting pergi, ia tidak akan menetap di Yun Chang juga tidak akan kembali ke Dong Lin.

Satu-satunya tempat ia bisa pergi adalah Bei Mo.

--
Di gunung Songsen, badai salju segera tiba.

Jejak kaki Pingting dan Zuiju terkadang dalam, dan terkadang dangkal di atas salju. Mereka tetap bergerak maju mendaki sambil terengah-engah.

“Badai salju mendekat.”

“Apa kita bisa sampai di bebatuan sebelum badai?”

Pingting mempertimbangkannya. “Aku rasa tidak.”

Hati Zuiju menjadi sedih dan ia gelisah. “Lalu, apa yang akan kita lakukan? Kita di tengah hutan dan musim dingin. Daun-daun berserakan. Salju tak bisa dihentikan, jadi kita akan mati kedinginan.” Sepuluh jari-jarinya memegang erat-erat pada satu-satunya buntelan mereka.

Mereka berhasil mengumpulkan sedikit uang dari hasil mengobati beberapa orang belakangan ini. Disamping membeli jarum perak untuk keperluan pengobatan dan makanan, mereka telah menggunakannya untuk membeli pakaian hangat. Tapi, meskipun mereka mengenakan pakaian paling tebal yang mereka miliki, tetap tak bisa membuat mereka bertahan melewati badai salju di udara terbuka. Pingting menoleh ke atas, menatap langit yang sudah tertutup awan gelap. Badai salju belum turun. Tapi tak ada angin sama sekali, tapi bayangannya sudah terlihat di awan.

“Zuiju, nyalakan api.”

“Haaah, kenapa menyalakan api disaat seperti ini? Ketika angin dan salju datang, api sama sekali tidak berguna.”

Pingting menjawab dengan lembut. “Nyalakan api dan masak air.” Sebuah senyum hangat terlukis di wajahnya yang anggun.

Zuiju ingin berkata lagi tapi setelah melihat senyum Pingting, ia menelan kembali kata-katanya. “Baiklah, aku akan menyalakan api dan memasak air.” Ia menjawab.

Zuiju mengeluarkan korek, beberapa ranting kering dari hutan segera disusun di atas tanah bersalju yang tidak berangin.

“Gali sebuah lubang di tanah.”

Salju tidak terlalu padat, mereka mengali dengan tangan, lutut mereka menyentuh tanah. Dalam sekejab tangan mereka telah menyentuh tanah di bawah salju. Tanah terasa lebih panas dan lebih sulit digali di banding salju.

Zuiju mengerutkan dahi, “Masih belum terlalu dalam, ayo gali lagi.”

“Tak perlu” Pingting menjawab, “Buat sebuah bentuk tenda kecil dengan ranting.”

Tak banyak waktu tersisa, awan hitam bergerak dengan cepat, seperti sedang gelisah mencari jalan keluar. Sebuah tenda kecil terbentuk di atas lubang, dengan ranting-ranting. Pingting mengumpulkan banyak daun dan dengan cekatan menyebarkannya di seluruh ranting-ranting itu.

Zuiju mendekat untuk membantunya, suaranya menjadi panik. “Ini akan berserakan dengan satu hembusan angin. Untuk apa?”

Setelah menyebarkan cukup daun-daun, Pinting membuka buntelan mereka dan membuka dua pakaian yang tersisa. Ia melebarkannya dan meletakannya di atas ranting.

“Nona, untuk apa kau lakukan itu?”

“Ambilkan air dan siramkan diseluruh permukaanya.”

“Tapi masih belum mendidih,” Zuiju berkata dengan menyesal.

Pingting merasa kesal tapi ia menahan tawanya. “Cukup mencairkan saljunya. Untuk apa air mendidih?’

Zuiju melihat ke tenda kecil dan melihat ke panci salju yang sedang meleleh. Tiba-tiba ia mengerti, “Oh! Oh!” karena telah mengerti maksudnya, matanya membelak lebar, “Baik, baik! Aku akan mengambil airnya.”

Mereka menyiramkan salju yang mencair ke atas tenda, pakaian dan daun menyerap air itu seperti spon, dan air itu membeku kembali. Dengan segera sebuah lapisan tipis es terbentuk di atas pakaian.

“Sangat mudah!” Zuiju mulai tertawa.

“Jangan tertawa terlalu cepat, airnya masih belum cukup. Cepatlah buatkan lagi.”

“Baik, baik, aku lakukan sekarang.”

Zuiju pergi dan terus melelehkan salju.

Sepanci demi sepanci terus disiramkan ke tenda kecil. Lapisan es menjadi semakin tebal dan kuat.

Zuiju terus membawa panci dan terus menyiramkannya, “Apa sudah cukup?” air selalu disiramkan di atas tenda dan air itu mengalir turun kebawah, membentuk selapis es di pakaian, sebelum sempat menyentuh tanah.

“Badai pasti kuat sekali.” Pingting memperhatikan awan gelap di atas mereka. “Cairkan sedikit lagi.”

Suara gemuruh…

Ada beberapa kali suara petir teredam mengikuti awan badai. Sepertinya perjalanan jauh harus di tempuh sebelum akhirnya bisa menyentuh tanah.

Di dataran bersalju mungkin ada angin yang bertiup, tapi mungkin juga tidak.

Ekspresi Pingting tiba-tiba berubah, “Sudah tidak ada waktu untuk mencairkan salju lagi. Ayo segera masuk ke dalam. Ia menarik tangan Zuiju dan mereka berdua masuk melewati celah yang dibuat sebagai pintu masuk. Mereka berdua berada dalam ruangan yang sangat kecil dan sempit, saling berpelukan.

“Didalam sini sangat hangat.” Meskipun masih terkena sedikit cipratan, Zuiju masih merasa nyaman.

Angin sudah mulai menderu.

Kaki tenda itu tertanam salju dan atapnya berbentuk seperti batu yang terbuat dari es. Seharusnya cukup kuat untuk bertahan dari badai.

Pingting dan Zuiju dengan gugup mendengarkan suara seram dan pergerakan angin diluar.

Berlawanan dengan di luar, di dalam sangat tenang.

“Kita seharusnya bisa melewati gunung Songsang, benar?”

Pingting tetap diam. Setelah agak lama ia akhirnya berkata, “Iya, seharusnya bisa.”

“Nona?”

“Hm.”

“Apa kau sedang memikirkan sesuatu?”

“Benar.”

“Memikirkan tentang apa?”

Pingting bergerak lambat dan menjawab dengan lambat, “Zuiju, tak peduli seberapa lama badai diluar, tak peduli betapa hangatnya didalam sini. Kita tidak boleh tertidur. Kalau salju menutupi pintu keluar, dan kita tertidur, maka kita pasti akan mati.”

Zuiju memang sangat mengantuk dengan kehangatan yang dirasakan. Hal ini membuatnya terkejut. Tapi ia segera menyingkirkan kekhawatirannya. Ia menjawab, “Mengerti.” Ia tak bisa menyingkirkan hal ini dalam pikirannya.

Di dalam tenda, sangat sunyi. Mereka berdua saling berpelukan erat, Pingting bisa mendengar Zuiju menghela napas.

“Mengapa kau menghela napas?” Pingting bertanya.

“Tidak untuk apa-apa.”

Ada kesunyian beberapa saat sebelum Pingting bertanya kembali, “Apa kau berpikir bagaimana kalau kita mati disini, dan tidak akan ada yang mengetahui dimana kita berada, selamanya?”

Zuiju menghela lagi, “Nona Bai, mengapa kau begitu pandai?”

Sudut bibir Pingting terangkat. Senyumnya sedikit getir.

Lagi-lagi kesunyian terjadi di tempat kecil itu.

Beberapa saat kemudian, Zuiju bertanya dengan suara pelan, “Kalau kita memang akan memberikan nyawa kita pada gunung Songsen…”

“Itu tidak akan terjadi.” Pingting menyela kata-kata Zuiju, lalu ia berkata lagi dengan pelan, “Itu tidak akan terjadi.”

Sebuah rasa mulai muncul di ujung hidungnya dan matanya mulai memerah. Zuiju meraba-raba mencari ujung jari Pingting. Dan ia mengenggamnya dengan erat.

Kedua tangan yang sudah melepuh, tapi masih cekatan, saling mengenggam dengan erat di kegelapan.

Dalam kesunyian Zuiju tiba-tiba berhenti bernapas.

Tarikan napas yang berhenti tiba-tiba adalah hal yang tidak normal. Pingting menunggu dengan diam sementara Zuiju sama sekali tidak bergerak, seperti sedang menunggu sesuatu juga.

Setelah beberapa saat, Zuiju melepas napasnya. Napas yang keluar melewati telinga Pingting sepertinya lebih khawatir dibanding sebelumnya.

“Nona Bai, nadimu sangat….. sangat lemah.” Suara Zuiju sangat khawatir. “Aku harus melakukan akupuntur padamu.”

“Tidak perlu sekarang Zuiju.” Pingting menjawab dengan tenang.

“Tidak, ini harus dilakukan secepatnya.” Zuiju segera menarik tangannya mencari-cari buntelan mereka, tapi tangannya membentur tembok tenda dan ia merasa sakit.

Dimana buntelan mereka?

Zuiju tiba-tiba menjadi kaku.

“Kita masuk dengan terburu-buru.” Dalam kegelapan, suara Pingting sangat lemah. “Zuiju, butelan itu masih di luar, ingat? Tertinggal ketika aku mengeluarkan pakaian.”

Salju dengan kuat menghantam luar tenda, menghasilkan suara mengerikan.

Kesunyian mematikan di dalam, dan deru angina yang meraung di luar seperti dua dunia yang berbeda.

Sebuah cahaya bersinar di kedalaman mata Zuiju yang gelap. Sama sekali tidak ada keraguan ketika ia berkata, “Aku akan mengambilnya, seharusnya dekat-dekat sini. Aku akan segera menemukannya begitu aku keluar.”

“Jangan.” Pingting berkata lemah.

Zuiju menyadari posisi Pingting berada menghalagi pintu masuk. Tidak mungkin ia menggeser tubuh Pingting keluar.

“Nona Bai, aku mengerti kekhawatiranmu, tapi aku harus mendapatkan jarumnya.” Zuiju berkata lagi dengan pelan, “Aku seorang tabib.”

Dalam kegelapan, sosok Pingting terlihat kabur, sepertinya seluruh dunia mulai pudar. Tapi tubuhnya yang rapuh itu tetap kokoh seperti gunung.

“Zuiju kau bahkan tidak tahu dimana jarumnya berada. Tidak ada yang tahu apakah benda itu sudah terbawa angin ketika badai datang.”

“Mungkin benda itu tersangkut di ranting terdekat. Aku masih bisa mencarinya.” Ia masih melanjutkan berkata dan tangannya menggenggam tangan Pingting, “Nona Bai, aku pernah mengatakan bahwa aku akan melakukan apapun untuk melindungimu dan anakmu.”

Tubuh Pingting berusaha untuk tidak bergerak. Ia diam tak bergerak seperti sebuah patung berumur ratusan tahun. Tangannya mengenggam tangan Zuiju dengan erat pula.

“Aku juga pernah berkata kalau kita tidak akan mati. Itu tidak akan terjadi Zuiju.”

Mereka berdua kedinginan, jari-jari kurus itu saling mengenggam satu sama lain, akhirnya sedikit kehangatan perlahan mulai menjalar.

Ruang gerak di dalam tenda tidak banyak. Zuiju tidak bisa mengeser Pingting.

“Tapi, anakmu…” Zuiju mendengar suaranya sendiri, sedikit terisak, dalam kegelapan yang pekat. Ia menarik tangannya dari genggaman Pingting dan mencari nadi Pingting sekali lagi.

Setelah menemukan denyut yang tidak teratur, barulah ia menarik tangannya kembali.

Cairan hangat mengalir dari baju Pingting.

Dalam kesunyian malam, suara airmata Pingting yang terjatuh terdengar jelas sekali.

Jarum-jarum itu, bagaimana bisa ia melupakan benda yang paling penting?

Dalam perjalanan, ia selalu menggunakan ramuan obat dan jarum untuk menguatkan tubuh Pingting dan menstabilkan nadinya. Mengapa ia bisa lupa ketika badai salju datang?

Kemana angin akan membawa buntelan yang berisi jarum itu?

Zuiju takkan pernah melupakan badai yang kejam ini seumur hidupnya.

“Jangan khawatir, anakku akan baik-baik saja.”

Apakah ia salah dengar?

Dalam suara Pingting ada kelembutan dan ketenangan.

Zuiju bisa merasakan nadi yang kacau di pergelangan tangan Pingting. Ketenangan dari kata-kata Pingting seperti jarum yang menusuk jantung Zuiju.

Dalam kegelapan, ia mendengar Pingting menahan tawanya, suaranya lembut seperti dalam mimpi. “Anak dalam perutku sedang tidur dengan patuh. Aku ibunya dan aku akan melindunginya. Badai sangat dashyat tapi ia berada di dalam tubuhku, hangat dan selamat.”

Mendengar suara Pingting, Zuiju bisa merasakan sudut bibirnya terangkat menjadi sebuah senyum kecil.

Lembut dan menyentuh, seperti hujan pertama di musim semi.

Pingting benar-benar tersenyum.

Kesalahan yang paling utama selalu dilakukan pada saat yang paling genting.

Dalam badai salju, Pingting mengingat buntelannya dengan jarum akupuntur didalamnya. Pada saat yang sama, ia tahu waktu tidak bisa diputar ulang. Gemuruh angin di dataran bersalju tidak hanya hebat dalam membawa benda, tapi juga membawa nyawa orang yang hidup.

Pingting tahu, nadinya sangat kacau.

Kepalanya sangat pusing dan matanya memerah. Entah karena kegelapan atau karena hal lain, tapi ia merasakan tenaganya terkuras sedikit demi sedikit.

Meskipun demikian, ia harus tersenyum.

“Jangan khawatirkan anakku dan aku, Zuiju. Kita akan berhasil melewati badai ini.”

Meskipun anak ini masih sangat muda, tapi ia tidak selemah yang kau kira.”

Anak itu dikandung di musim dingin.

Dalam Rahim ibunya, ia bisa merasakan kedamaian di kediaman terpencil, mendengarkan suara kecapi yang mampu mengetarkan empat negara, mengagumi hati yang putus asa di bawah bulan yang begitu terang. Ia telah melihat api yang mengamuk di langit malam, tanah bersalju yang berubah merah karena darah, dan kereta yang membawa ibunya pergi, penuh keputusasaan dan kepedihan.

Anak ini akan lebih kuat daripada aku, jauh lebih berani.

Ayahnya adalah Jendral paling terkenal, yang tak pernah terkalahkan Panglima Zhen Bei Wang

Dalam urat nadinya mengalir darah Chu Beijie.

Darah paling kuat di dunia.


--00--


Home

novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia