Minggu, 31 Mei 2015

Gu Fang Bu Zi Shang -- 1.13

-- Volume 1 chapter 13 --

Rumput hijau liar tapi segar, secantik yang pernah dikatakan Yangfeng.

Ia akhirnya mencapai Bei Mo. Sebuah tempat dimana alam terbentang luas didepannya, mungkin karena gunung gunung yang anggkuh atau mungkin karena telah lewat musim dingin dan rasa musim semi lebih kuat dari pada di selatan. Ditengah hutan hijau yang subur, semak belukar terlihat bersemangat dan menyilaukan di terik matahari.

Sebuah sungai kecil berlari dari atas sampai ke bawah gunung.

Beberapa orang telah mengikat kuda mereka pada sebuah pohon dan sibuk mengisi tempat air minum mereka dengan air segar.

Sebuah angin sepoi yang dingin membungkus tubuhnya yang mungil, dan bagaimanapun terlihat kurus kering. Matanya bersinar lebih terang daripada kristal hitam. Ia menyentuh dahinya sebelum menoleh lagi, matanya tak pernah meninggalkan kejauhan.

Jauh disana, pengembala bernyanyi sambil mengumpulkan persediaan mereka.

“Seekor elang terbang, langit sangat tinggi. Seorang gadis cantik mengejar anak kuda di padang rumput....”

Pingting tak menahan tawanya dan ia mengambil tempat air dari pinggangnya.

Begitu dingin. Pasti karena es yang di ujung gunung mencair.

Ia perlahan meneguk lagi, kali ini ia juga memejamkan matanya, terasa manis.

Hampir sampai, melelahkan tapi sepadan, dan biasanya pendapat orang-orang yang menurutnya berguna semua disimpan  dikepalanya, tapi saat ini yang mampu ia pikirkan hanya tempat persembunyian sahabat dekatnya. Memilih sebuah pohon tua untuk ia sandarkan dan beristirahat sebelum akhirnya menutup matanya.

Yangfeng memilih melarikan diri tak peduli apapun, apakah itu pilihan yang tepat? Dalam setengah hari, ia sudah tahu jawabannya.

Bagaimana dengan jalan yang telah di pilih Pingting? Pergi ke Bai Mo bukan ide buruk karena disini memiliki langit biru dan rumput yang hijau. Mungkin ia cocok dengan tempat seperti ini, diantara rumput kasar tapi bersih dan teman yang jujur, diantara sedikit orang yang bisa dihitung.

Air yang mengalir gembira, gunung hijau yang mengagumkan.

Matanya masih terpejam ketika ia mendengar langkah kaki mendekatinya.

Ada seseorang? Pingting membuka matanya. Seseorang yang juga sedang berpergian sedang mengagumi pemandangan, tali kekang kudanya di tangannya.

Seorang pria dengan pundak yang lebar, pedang yang tergantung di pinggangnya dan panah di punggungnya serpertinya sangat penting baginya. Sulit untuk menerka usianya dari jenggotnya, tapi matanya sangat cerah.

Ketika ia menyadari bahwa sudah ada seseorang disana, seorang gadis dengan mata besar, ia terlihat sedikit terkejut.

“Kuda yang bagus.” Pria itu tidak tertarik pada Pingting melainkan pada kudanya, dan matanya mengagumi dengan sungguh-sungguh.

Pingting tersenyum, melepaskan kudanya, sudah waktunya untuk pergi.

“Nona, apa kau berniat untuk menjualnya?” Suaranya lantang, jelas seorang pria yang berasal dari padang rumput.

Ia benar. Kuda ini adalah salah satu yang terbaik, bahkan di Kediaman Jin Anwang sendiri. Dongzhuo, pria itu, ternyata sangat baik hati, ia memilihkan kuda yang bagus dan bahkan memberikan banyak uang untuknya.

“Tidak dijual.” Pingting menaiki kudanya, mencoba menyingkirkan kegembiraannya. Pingting memejamkan matanya beberapa saat kemudian membukanya lagi. “Tuan, arah Pondok Daun Bunga kesana bukan ?”

“Kau ingin pergi ke Pondok Daun Bunga ?”

“Benar.”

“Apa kau tinggal di Pondok Daun Bunga ?”

“Tidak, aku sedang mencari seseorang.”

Pria itu tertawa, “Pondok itu sudah ditelantarkan. Kau takkan menemukan seorangpun disana.”

“Apa mereka pindah ?” Pingting terkejut, “Kenapa? Kemana mereka pergi?” Tiba-tiba pikirannya menjadi kacau. Yangfeng tidak pernah berpindah tempat kecuali sesuatu telah terjadi.

Pingting memutuskan bahwa Yangfeng tidak memberitahukan tempat barunya untuk keselamatannya, tapi hal ini malah membuat Pingting semakin mengkhawatirkan temannya itu.

“Mereka baru saja pindah.”

“Kemana mereka pindah?”

“Hei, Nona, juallah kuda ini padaku.” Kuda bagus sangat penting bagi pengembala dan wanita menyukainya.

Sudut mulut Pingting terangkat. “Apa kau tahu apa yang terjadi di Pondok Daun Bunga? Siapa namamu?”

“Aku A-Han. Sekarang, apa kau berencana menjual kudamu ?”

Ia melompat turun dari kuda dan menyerahkan tali kekang ke tangan yang sudah menunggunya. “Kuberikan padamu cuma-Cuma. Aku ingin tahu apa yang terjadi pada temanku.”

A-Han mengelengkan kepalanya kasar. “Aku tidak mau menerima sesuatu tanpa memberikan sesuatu sebagai balasan.” Ia mengeluarkan koin perak lumayan banyak, cukup untuk membeli dua buah kuda bagus, lalu diserahkan pada Pingting. 

“Biar kuberitahu; Tuan Besar Pondok Daun Bunga adalah orang penting! Ia Jendral terkenal Ze Yin! Siapa yang mengira ia memiliki sebuah pondok kecil di atas gunung? Tapi sejak Raja mencarinya, dan memberinya hadiah dan kekuasaan untuk memerintah pasukan Bei Mo, ia memutuskan untuk pindah dari gunung. Dan semua orang yang tinggal disana sudah pergi.

“Benarkah ?” Pingting mengerutkan dahi, mempertimbangkan sesuatu. Lalu ia mengembalikan uang A-Han. “Ambil ini. Aku ingin membeli kudamu. Lagipula, aku memang butuh kuda. Ia seharusnya sudah mengganti kudanya dengan kuda yang terlepas dari cap Jin Anwang secepatnya.

“Tidak, kudaku tidak sebagus itu. Aku tak bisa mengambil keuntungan seperti ini.”

Pingting melepaskan ikatan kudanya dan melompat naik, lalu berbalik ke arah A-Han, berkedip dengan gembira. “Pria tinggi, simpan uangnya dan dapatkan istri yang baik. Kau orang baik!” Ia dengan pelan memacu kuda barunya dan meninggalkan gelak tawa dibelakangnya.

Udara segar dari padang rumput menyalakan semangatnya, bau harum rumput segar yang dipotong tidak sebanding dengan Gui Li dan Dong Lin. Para pengembala meneruskan nyanyian mereka, yang bergema di telinga Pingting.

“Padang rumput kesayanganku, sapi-sapi dan kuda-kuda, sungai yang mengalir melewati daun rumput muda. Semua ini, tak bisa dibandingkan dengan gadis cantiku...”

Pingting tersenyum, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.

Ze Yin, Jendral hebat dari Bei Mo, bukankah ia berjanji membahagiakan Yangfeng apapun yang terjadi? Tapi sekarang ia memutuskan untuk mengikuti keinginan Raja Bei Mo dengan kembali ke pemerintahan; ada apa ini?

Biasanya, ia hanya membutuhkan setengah hari perjalanan dengan kuda, untuk bisa melihat Yangfeng di Pondok Daun Bunga. Tapi sekarang, sepertinya ia harus masuk lebih dalam ke ibukota Bei Mo, Bei Yali.

“Kau bahkan tidak memberiku beberapa hari untuk aku bergembira?” Pingting mengerutkan hidungnya ke langit atas. Perjalanan seorang diri membuat Pingting terbiasa bicara sendiri.

Apakah bagus kalau Jin Anwang sudah bukan bagian dariku lagi? Bagaimana dengan Dong Lin? brengsek, Chu Beijie...

Tanpa sadar ia mulai mengerut lagi. Jarinya perlahan mengusap alismatanya seperti berusaha menyingkirkan sakit yang ia rasakan.

Menyadari orang-orang di padang rumput berteriak dengan keras, ia mulai memacu kudanya kencang. Debu berterbangan di balik bayangannya yang semakin mengecil di kejauhan.

Debu dan matahari terbenam; dimana orang-orang yang patah hati?

Aku harap langit memiliki jiwa, yang bisa memberikan pengampunan. Kemanapun aku pergi, semoga kebagiaan menanti.



Jendral Bei Mo, Ze Yin, kembali ke pemerintahan setelah di panggil oleh Raja tiga kali.

Bukannya Raja Bei Mo tidak menghargai kemampuan Ze Yin.

Dulu, ia dikenal sangat muda dan pemberani, pujaan dari Raja Bei Mo yang naif, tapi ia tiba-tiba memutuskan untuk pensiun dan melepaskan masa depannya yang cerah untuk alasan yang tak mau ia katakan.

“Pasti cinta,” tebak Raja Bei Mo.

Telah dikatakan bahwa pria lebih memilih wanita cantik daripada negaranya.

Ze Yin berdiri di depan Raja Bei Mo, bibirnya memainkan senyum cuek. Senyumnya begitu polos sehingga Raja Bei Mo bertanya-tanya apakah ia akan tetap bisa menjadi Jendral terbaiknya di sisinya.

Ketika pria jatuh cinta, tak ada yang bisa menghentikannya melakukan tindakan bodoh.

Raja Bei Mo hanya bisa mengangguk.

Dan sekarang, Ze Yin sudah kembali.

Berita tentang Jendral kesayangan Bei Mo telah kembali untuk melindungi negara telah menyebar dan membawa kebahagiaan dan kesenangan bagi seluruh rakyat.

Bei Yali penuh kegembiraan dan nyanyian-nyanyian ketika Ze Yin memasuki kota, memimpin para penghuni Pondok Daun Bunga dibelakangnya. Ia tidak hanya di sambut oleh Raja Bei Mo sendiri tapi juga disambut sorak sorai gembira dari jutaan rakyat.

Kediaman baru sudah siap menanti Ze Yin, hiasannya berkilau cermelang.

Yangfeng menempati kamar paling mengesankan, mendengarkan perbincangan yang mengalir melewati dinding yang tipis. Ze Yin telah dipanggil kembali dalam pemerintahan. Ia sendiri bahagia, terkejut, mengetahui kalau dirinya mendapat kunjungan dari seorang teman lama.

Pelayan di pintu tidak mau menyebutkan namanya dan mata Yangfeng membesar seperti hampir jatuh.

“Berapa lama kau ingin melotot padaku?” Pingting duduk di kursi, tersenyum dan berkata. “Lama tak bertemu, jadi kenapa kau tidak membiarkan aku melihatmu baik-baik.” Yangfeng mengeluh dalam, merenggangkan rubuhnya di depan Pingting, tangannya seputih ivory. “Pingting kemarilah. Biar aku melihatmu baik-baik.”

Pingting menyeringai dan tertawa, “Baik Tuan, Jendralku... bukan, Nyonya Jendral.” Ia berjalan menuju Yangfeng, duduk disebelahnya.

Dua pasang mata cerdas saling menatap satu sama lain, sebuah pantulan yang sempurna.

“Kau sangat kurus.”

Pingting hanya bisa tersenyum, “Dan kau semakin cantik.”

“Aku sangat merindukanmu, aku selalu mengingat masa kecil kita. Aku sungguh tak bisa bicara dengan yang lain selain denganmu.”

“Yangfeng...” Pingting menyela, “Kenapa kau tidak pernah bertanya tentang itu?”

“Bertanya ?” Yangfeng tersenyum tipis, ia menundukan kepalanya. “Aku... tak berani bertanya. Kenapa kau meninggalkan Tuanmu, kecuali untuk hal yang sangat buruk? Alasannya pasti sangat, sangat  mengerikan.”

Seperti tambur yang bergemuruh, Pingting terkekeh. “Sangat menggetarkan ketika kau memikirkan hal itu. Mainkan sebuah lagu untukku dan aku akan mengatakannya dari awal.”

Sebuah kecapi diletakan di sebuah meja kecil disamping tempat tidur. Yangfeng menatapnya, berpikir dalam. Ia mengambil kecapinya, ujung jari-jarinya menyentuh ringan sebuah senar.

Bergetar.

Hatinya berdebar dengan suara petikan senar. Kesenangan dan kesedihan dalam hatinya melompat keluar menghancurkan dinding yang telah di bangunnya menutupi emosinya.

“Yangfeng !” Pingting menangis, berlari ke pelukan Yangfeng, airmata mengalir dari pipinya.

Biarkan airmata mengalir turun sampai ke tanah. Ini bukan di Gui Li juga bukan Dong Lin. Orang yang membuatnya sedih tidak ada disini juga orang yang membuat tidak berjiwa tidak ada disini.

Bagaimana ia bisa melupakan hari di musim dingin yang indah itu, malam yang lembut, tubuh yang tinggi, ingatan yang nyata kehidupan selama delapan belas tahun?

Bagaimana ia bisa membuat Yangfeng menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada seorang pria? Ia mencintainya tapi juga telah menyakitinya dan berbohong padanya. Ia bahkan memutuskan untuk meninggalkannya walaupun itu berarti kematiannya, hanya untuk kemudian mengetahui bahwa ia tak  lagi bisa tinggal di Jin Anwang?

Hari ini, dibawah tatapan kedua mata Yangfeng, Pingting akhirnya bisa mengeluarkan tangisan kepedihan yang ia rasakan, kesedihannya mengalir keluar seperti tanaman kacang yang tumbuh keluar dari potnya.

Dibawah langit ini, mungkin hanya Yangfeng yang bisa mengerti hatinya.

Pingting hanya menangis tanpa bicara, membiarkan Yangfeng bertanya-tanya apa yang terjadi. Pasti sesuatu yang berkaitan dengan cinta, atau Pingting tak mungkin sekecewa ini.

Tapi siapa yang telah membuat Pingting yang begitu angkuh jatuh cinta?

“Siapa namanya?” Yangfeng bertanya sambil menepuk kepalanya.

Pingting masih bersimbah airmata ia mengertakkan giginya, kata-katanya penuh kepedihan. “Chu. Bie. Jie.”

Panglima Zhen Bei dari Dong Lin? Yangfeng terlihat sedikit kurang memperhatikan, tapi kemudian dia mengeluh lagi, dan berkata pelan, “Menagislah. Menangis sampai puas.”

Dinding kesedihannya runtuh, Pingting kembali ke pelukan Yangfeng, airmata mengalir deras.

“Yangfeng, sekarang akhirnya aku....” Pingting menarik dirinya berdiri tapi kemudia ia tiba-tiba merasakan sesuatu di tenggorokannya. Ia memekik “waaah” batuknya mengeluarkan darah merah segar.

“Pingting !” Yangfeng segera berdiri, menatap baju Pingting yang berlumuran darah. “Pelayan! Cepat kemari!”

Dan setelah menagis sampai puas, ia sakit lagi.

Baru kemarin, ia telah berpikir tidak akan kesepian lagi.

Tapi sakitnya malah kembali.

Bahkan lebih parah dan berbahaya dari sebelumnya.

Berkat pelayanan yang tersedia di rumah itu, ia segera mendapat pertolongan yang tepat. Dan dibawah perawatan Ze Yin dan Yangfeng, Pingting perlahan mulai membaik.

Setelah beberapa hari beristirahat, Pingting sudah mampu bangun. Tangisannya sudah membuatnya jauh lebih baik dan pipinya tak lagi menyaratkan kesedihan, walaupun ia sangat sakit, ia pulih lebih cepat  dibanding ketika sakit sebelumnya.

“Kau terlihat lebih baik,” terdengar suara akrab di balik kerai. Yangfeng masuk dan tertawa. “Tabib bilang kau bisa turun dari tempat tidur dalam dua hari. Ohh, kau sungguh membuatku takut.”

“Kemarilah, duduk disini.” Pingting menepuk sisi tempat tidurnya.

Yangfeng duduk, kemudian mengeluarkan tusuk rambut dan dengan hati-hati merapikan ramput Pingting. Memperhatikannya dan berkata, “Ini diberikan oleh Raja kepada Ze Yin, aku tidak cocok mengenakannya jadi kuberikan padamu.”

Pingting melihat lewat cermin apa yang dimaksud Yangfeng. “Apa kau memberikannya dengan ikhlas?” Pingting berhenti sebentar sebelum bertanya, “Apa Jendral tahu darimana asalku ?”

“Ia tidak bertanya,” jawab Yangfeng. “Selama kau adalah temanku, ia akan melindungimu, tapi...” wajahnya tiba-tiba dilanda kesedihan. “Ia akan segera memimpin pasukan berangkat dari ibukota.”

Suasan tiba-tiba menjadi muram seperti ada sebuah awan hitam besar yang menutupi matahari di musim panas.

Pingting mengambil cermin dari tangan Yangfeng, meletakannya di samping meja, tapi tak mengatakan apapun.

Yangfeng berkata, “Kita selalu akrab. Aku tidak kalah darimu dalam permainan kecapi, tapi aku benar-benar kurang dalam hal perencanaan.”

Pingting memaksa tersenyum, “Kau selalu sombong. Sejak kapan kau begitu merendah?”

“Aku hanya sedikit pintar, seseorang yang hidup diatara dinding, dikelilingi oleh bawahan suaminya baik di Pondok Daun Bunga maupun di Kediaman Resmi seorang Jendral. Untuk urusan masalah militer, kaulah yang mewakili semua wanita.” Mata hitam Yangfeng menatap Pingting sebelum akhirnya berkata, “Mengapa tiba-tiba Raja Bei Mo ingin Ze Yin memperoleh kembali kekuatan militernya? Ze Yin bukan orang yang mengejar kekayaan atau kemasyuran kecuali, Bei Mo dalam masalah besar. Ia takkan mengobarkan segalanya dan membawaku kesini, melupakan sumpahnya. Aku tidak mengerti, Pingting bisakah kau katakan padaku apa yang sedang terjadi?” Yangfeng menekankan setiap kata-katanya.

Diluar jendela kehidupan penuh semangat, tapi didalam ruangan sunyi mematikan.

Pingting terdiam, kepalanya menunduk.

Mata Yangfeng yang ingin tahu menusuk kepala Pingting. Kemudian, Pingting terlihat sangat lelah dan membaringkan kepalanya di atas bantal yang empuk. Dengan senyum kecut ia berkata, “Chu Beijie masuk ke dalam perangkap, dan terpaksa meninggalkan pedangnya. Ia berjanji tidak menyerang Gui Li sampai lima tahun kedepan. Raja Dong Lin ingin menaklukan seluruh daerah, dan karena Gui Li saat ini tidak mungkin untuk diserang, sangat wajar kalau ia mengubah sasarannya. Jadi, apakah ini artinya Dong Lin sudah mulai menyerang Bei Mo?”

“Yeah,” Yangfeng mengerutkan dahi dengan letih, “Akhir-akhir ini, Ze Yin selalu membicarakan Chu Beijie, Panglima terbaik Dong Lin, Tuan Besar Zhen Beiwang...dan orang-orang memberinya julukan Raja Iblis dari Neraka terdalam. Sudah banyak orang yang mati ditangannya.”

Matanya menatap Pingting kemudian senyumnya perlahan mengembang lembut seperti sekuntum bunga. “Jangan khawatir, kita tak bisa mengambil alih masalah para pria. Aku sungguh tidak mengerti mengapa Raja selalu berusaha melebarkan daerah kekuasaannya. Apa memiliki pengaruh yang kekal begitu penting? Ze Yin akan segera berangkat, jadi aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya hari ini.” Yangfeng berdiri, tangannya menekan lembut pundak Pingting. “Kau baru membaik, jadi berbaringlah lebih lama. Kalau kau merasa bosan disini, suruh pelayan pergi memetik beberapa kuntum bunga untukmu. Dan kalau kau menemukan masalah, suruh seseorang mencariku.”

Yangfeng pergi melewati tirai manik-manik. Suara bergemerincing membuat Pingting kecewa dan mengerutkan dahi.

Sepertinya ada sebuah perangkap besar disetiap arah dan tak ada celah untuk melarikan diri.

Dan itu adalah sesuatu yang buruk sekali.


--0--




novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia

Gu Fang Bu Zi Shang -- 1.12


-- Volume 1 chapter 12 --

Ketika malam tiba, Pingting berhasil keluar dari ruangannya.

Di tangannya ada sebuah bundelan kecil. Ditemani oleh Dongzhuo, Pingting memandang kebelakang dan melihat lilin yang berkelip tersembunyi di gunung.

Salah satu dari lilin itu adalah ruangan Tuannya? Ia tiba-tiba merasakan perasaan sedih melandanya.

“Kau tak perlu menemaniku lebih jauh lagi,” Pingting memberitahu Dongzhuo, “Kau bisa kembali sekarang.”

“Aku...” Dongzhuo menghentikan kata-katanya dan menyerahkan tali kekang kuda dengan ragu kepada Pingting, lalu berguman, “Jaga dirimu.”

Pingting naik keatas kuda, agak tiba-tiba sehingga ia dan kudanya sedikit bergoyang. Dan sebagai perpisahan, Dongzhuo berkata pelan, “Kak...”

Pingting tak bisa menahan untuk menoleh ke belakang.

Dongzhuo sepertinya tidak yakin apa yang ingin ia katakan, tapi akhirnya ia menegakkan kepalanya dan berkata, “Sejujurnya, aku mengatakan segalanya tentang malam ini pada Tuan.”

Pingting memperhatikan Dongzhuo, lalu memandang kembali ke arah tempat orang-orang Jin Anwang sedang tertidur di dalamnya. Mereka seharusnya mengetahuinya besok dan segera pergi untuk tempat persembunyian yang lebih baik. Ia merasakan kesedihan luar biasa, “Apa yang Tuan katakan?”

“Tuan bilang, kalau percaya pada dirimu sendiri, kau akan tinggal. Kau tidak, kami takkan menghalangimu walaupun kami takkan bisa menahanmu juga.”

“Ada yang lainnya?”

Dongzhuo menundukkan kepala, “Tidak ada lagi.”

Sudut mulut Pingting menaik membentuk senyuman, berpura-pura mengeluh, “Dongzhuo, kau akhirnya cukup dewasa untuk bisa berbohong.”

“Aku...” Dongzhuo menundukan kepalanya lebih rendah, menolak berbicara selama beberapa saat. “Tuan juga berkata kau seharusnya bisa pergi dengan kemampuanmu sendiri, tapi kau malah meminta bantuanku, yang.... yang sebenarnya rencanamu pada akhirnya adalah untuk memojokan Tuan pada sebuah dilema. Ia bilang ia ingin jatuh ke perangkapmu dan menahanmu di sisinya, tapi sekarang...”

“Sekarang saat paling genting ketika nasib Jin Anwang dipertaruhkan. Bukan tindakan kejam untuk merelakan seorang pelayan.” Pingting melanjutkan, menaikan kepalanya menatap langit, tertawa pahit. “Kuberitahu kau, Tuan tidak bersalah.”

Tanpa menunggu jawaban Dongzhuo, Pingting segera memacu kudanya.

Kuda terbaik dari Kediamannya memekik dan mulai berlari kencang. Ia berpegang kuat pada tali kekang, airmata mengaburkan pandangannya.

Selamat tinggal, Kediaman Jin Anwang kesayanganku. Kecermelangan dan cahayamu tak lagi berhubungan dengan Pingting.

Hati yang Pergi tetap tinggal di pinggir jendela. Ketika matahari terbit besok, sinar matahari akan merefleksikan kilau mata pedang di atas tempat tidurku yang kosong. Permainan bayangan yang biasa kita mainkan ketika kanak-kanak.

Sayangnya, Pingting masih bermurah hati.

Kalau ia tidak berbelas kasihan, mata pedang akan menyorotkan sinarnya ke arah luar bangunan. Kilaunya akan melambung tinggi, seperti kaca yang baru di poles atau sebuah lonceng perunggu besar. Kilaunya akan memantul jauh, memberitahukan para pengerjar dimana lokasimu.

Tuan, bukan, He Xia apa yang akan kau lakukan?

Matahari perlahan mulai mendaki awan di arah timur. 

Setiap kali ia memacu kudanya kencang, kepulan debu mengikutinya. Ia lanjut berkuda melewati jalur kuning utara.

Bekas airmata di wajahnya sudah lama tertupi pasir. Pingting memandang kebelakang, separuh berkedip pada matahari yang berwana kuning kemerahan. Matahari akan segera tinggi dan bersamaan dengan itu, perasaan hangat mengalir di tubuhnya.

“Jalan!” ia meneguk airnya sebelum melanjutkan perjalanannya.

Ia berkuda mengikuti arah angin, melewati dataran lumpur kuning yang tak berujung. Bei Mo di depan sana, sebuah tempat dimana tidak ada He Xia maupun Chu Beijie.


--0--

Home

novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia

Minggu, 17 Mei 2015

Gu Fang Bu Zi Shang -- 1.11

-- Volume 1 chapter 11 --

Musim dingin berlalu, dan musin semi datang.

Bunga-bunga bermekaran dan kupu-kupu berterbangan, terkadang mereka bertengger di jari.

Disebuah rumah besar dekat perbatasan Gui Li dan Bei Mo, Pingting menatap bosan ke arah langit.

“Kau semakin kurus akhir-akhir ini.” He Xia berdiri dibelakangnya, mengeluh. “Pingting, kau berubah.”

“Berubah?” Pingting tertawa kecil, mengerakkan jarinya sehingga kupu-kupu yang bertengger di jarinya terbang. Ia melihat keatas, “Siapa yang berubah? Pingting masih bernama Bai, masih pelayan Tuan, masih bermain kecapi untuk Tuan setiap hari.”

He Xia memperhatikan Pingting, sampai Pingting tak berani bertemu mata dengannya. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari belakangnya. “Untukmu.”

“Apa itu?” Pingting melihatnya dengan hati-hati, ternyata itu adalah pedang yang diberikan oleh Chu Beijie sebagai bukti janji gencatap senjata. “Ini adalah lambang perdamaian antara dua negara. Kau tak bisa begitu saja memberikannya padaku.”

“Chu Beijie memiliki kebiasaan, disetiap peperangan ia selalu mengenakan pedang di kiri dan kanan. Lambang perdamaian ini adalah pedang kirinya.”  He Xia berhenti sebentar, merendahkan suaranya dan berkata, “Pedang ini dikenal dengan nama Hati yang Pergi.”

Mata Pingting menatap pedang abad dua puluh itu, tangannya terbuka dan perlahan menyentuhnya, menggulang kata-kata Tuannya, “Hati yang Pergi.”

“Dan aku tidak mengerti mengapa waktu itu ia meninggalkan pedang yang paling penting, pedang kirinya, bukan pedang kanannya. Tapi sekarang aku mengerti. Ia meninggalkan pedang ini untukmu, karena jiwamu telah pergi dari dunia ini.”  He Xia menyerahkan pedang itu ke tangan Pingting, mengeluh lagi, lalu berjalan pergi keluar ruangan.

Hati yang pergi.

Pingting memeluk pedang itu, sarung pedang yang dingin menekan kulitnya.

Ia menatap jauh.

Benar, jiwanya telah hilang bersama tubuh yang menghilang diatas kuda.

Bagaimana aku bisa melupakan Chu Beijie?  Saat ini sedang musim semi, waktu yang cocok untuk mengagumi bunga-bunga.

Setelah segalanya dipersiapkan, ia menghabiskan siang dan malam, dengan hati-hati dan mantap, memikirkan tentang Chu Beijie.

Mengapa hatinya menjadi seperti lumpur yang berangsur-angsur meleleh di air, ia tidak tahu. Ia tidak mengingat tipu dayanya, perencanaannya, atau tindakannya yang telah memojokkan Chu Beijie pada kekalahannya. Ia hanya bisa memikirkan tiga malam itu, ketika di Kediaman Hua, waktu itu wajahnya sangat tulus dan bersungguh-sungguh saat berdiri berjaga.

“Orang seperti apa dirimu?” Pingting menaikkan kepalanya menatap awan. “Kau membenciku atau kau mencintaiku? Sebelum kepergianmu, apa kau berpura-pura cemas, atau kau berbohong padaku?”

Ia sangat lembut, siang dan malam. Itu benar.

Tipu muslihat dan kebohongannya, tidak salah juga.

Pingting sangat pintar, tapi ia sangat binggung saat ini seperti terjebak di pasir hisap, tak bisa menarik keluar dirinya sendiri.

Tiba-tiba merasakan tepukan di pundaknya, Pingting segera berbalik, terkejut.

“Hahaha, mimpi siang hari lagi?” Dongzhuo pura-pura menyeringai, tapi melihat wajah pucatnya, ia segera berhenti tertawa. “Eh, eh? Kenapa kau menangis?”

Pingting segera menghapus air matanya, melirik sekilas dan berkata, “Kau tak pernah serius. Kau akhirnya memutuskan untuk merubah kebiasaanmu itu setelah kecelakaan kemarin, tapi baru beberapa hari kebiasaan burukmu kembali lagi.”

Dongzhuo mengaruk kepalanya, memandang ke arahnya, duduk dan mengambil secangkir teh. “Aku datang untuk menjenggukmu dan menghiburmu. Tapi kau malah memarahiku, ingin menyuruhku pergi atau tak ingin diganggu olehku?”

Pingting merasa tidak enak hati ketika mendengarnya. Ia menundukkan kepala dan berguman, “kau tak perlu khawatir tentang aku, aku benar-benar sehat, dan aku akan baik-baik saja beberapa hari lagi.”

“Beberapa hari lagi? Kita akan pergi hari ini, jadi semangatlah.”

“Hari ini?” Pingting merasa ragu, “Kemana kita akan pergi?”

Dongzhuo terlihat kebingungan, sepertinya ia berpikir Pingting tahu segalanya. Sesuatu yang tidak benar, berkelebat di wajahnya, tapi segera menghilang secepat datangnya. Ia berkedip, “Aku hanya samar-samat mendengar Tuan mengatakannya dua kali, sesuatu seperti....’walaupun tempat ini telah menjadi tempat pelarian kita selama beberapa tahun, tapi masih termasuk daerah kekuasaan Gui Li, maka lebih baik kita segera pergi secepat mungkin.....’ Aku tidak tahu kemana kita akan pergi.” Ia mengaruk kepalanya berpikir keras, “Aku baru ingat, Tuan memintaku melakukan sesuatu. Dan aku belum melakukannya.”

Pingting melihat Dongzhuo pergi terburu-buru, lalu ia menatap lama pada kejauhan.

Tuannya dan Dongzhuo tidak bersalah untuk tipu muslihat di Gui Li.

Sejak kembalinya ia pada sisi Tuannya, ia serperti orang yang kehilangan jiwa. Orang-orang akan mengatakan sepuluh kalimat sementara ia hanya mengatakan satu kalimat yang terasa janggal.

Ia biasanya terlibat dalam pekerjaan rumah tangga, tapi sejak ia jatuh ke tangan Dong Lin, pekerjaannya diserahkan pada para pelayan lain. Kepulangannya tidak memberi dampak pada kegiatan sehari-hari.

Seperti itulah, hidup terus berlangsung.

Tuannya benar, walaupun tempat persembunyian ini terasa aman, tetap masih dalam area dimana Raja bisa bertindak bebas, maka persiapan harus dibuat sesegera mungkin. Kalau dulu, ia pasti sudah menyadarinya lebih cepat dan memberitahu Tuan, tapi sekarang..... apa ia sudah kehilangan kecerdasannya ?

Dan seperti yang diharapkan, seorang pelayan datang untuk membereskan pakaiannya hari itu.

Pingting bertanya, “Kemana kita akan pergi ?”

“Aku tidak tahu.”

“Dimana Tuan?”

“Tuan sedang sibuk.”

Ia mengikuti mereka naik ke kereta dan ketika ia menyadari bahwa Dongzhuopun tidak kelihatan. “Dimana Dongzhuo ?”

“Bagaimana aku bisa tahu? Kak Pingting, jangan khawatir tentang hal itu dan duduklah dengan tenang selama perjalanan.”

“Tuan berada di kereta yang mana? Aku selalu duduk di kereta yang sama dengan Tuan.”

“Kak Pingting, Tuan ingin kau duduk di kereta bersama kami dan aku tidak tahu dimana Tuan.”

Hanya satu jawaban yang diberikan, dari setiap sepuluh pertanyaan, perjalanan cukup aman tanpa insiden sampai mereka akhirnya tiba di sebuah tempat. Sepertinya sudah dipersiapkan secara rahasia oleh orang-orang Jin Anwang beberapa tahun lalu.

Mencurigakan, Pingting akhirnya melupakan Chu Beijie dan memperhatikan keadaan sekitarnya.

Kegelisahaannya meningkat.

Ia belum melihat Tuannya dan ia tidak menyadari apa yang terjadi sebelumnya, tapi sekarang ia sadar.

“Dimana Tuan besar?”

“Tuan Besar tidak tahu kita sudah tiba disini.”

“Ini dimana?”

“Aku tidak tahu.”

Menyadari kalau si pelayan sama sekali tidak tahu apa-apa, ia mencoba pergi keluar mencari Tuannya, tapi ia dipegat di depan. “Aku ingin bertemu Tuan, tolong biarkan aku lewat.”

Tapi ia hanya mendapat tatapan kosong, “Tuan sedang pergi, ia akan menemuimu kalau ia sudah kembali.”

Ia tidak melihat He Xia untuk beberapa hari berikutnya dan ia hanya mendapat sedikit kabar. Pingting tidak bisa melihat sekitarnya, disamping dan di depan. Segalanya menjadi kabur.

Ia merasa kedinginan. Bagaimana keadaan bisa berubah begitu banyak dalam waktu yang begitu singkat.

Apakah orang-orang berubah atau dia yang berubah?

Kemudian sakitnya mulai kambuh.

Pingting terbangun di tengah malam, batuk. Ia dikirimkan seorang tabib, dan tabib itu sibuk sepanjang malam.

He Xia akhirnya muncul hari itu.

“Kenapa kau sakit lagi?” Dahinya berkerut dan berkata, “Kau tak pernah memperhatikan dirimu dengan baik. Lihar, kau menghancurkan tubuhmu lagi. Apa masalahnya ?” Ia sendiri yang membawa dan menyuapi obat untuk Pingting.

Pingting menatap He Xia dan ia tersenyum, “Tuan sungguh sangat sibuk akhir-akhir ini, aku bahkan tak bisa menemuimu lagi.”

“Aku takut akan mengecewakanmu. Aku takut kalau kau akan bekerja terlalu keras, jadi aku menyembunyikan segalanya yang akan membuatmu kecewa dan bekerja terlalu keras.”

“Tentang kelangsungan Keluarga Jin Anwang dan kita semua, apa Tuan sudah membicarakannya dengan Tuan Besar?”

“ya kan, ya kan. Sudah kubilang aku tak mau membuatmu khawatir. Aku sudah mengatur segalanya.”

Pingting bersandar untuk meminum obatnya, dan ia menutup matanya. He Xia tidak segera pergi.  Ia duduk disampingnya, dengan lembut memeluk pundaknya. “Tidurlah, kau begitu kurus sampai hanya tinggal tulang. Lebih banyak makanan dan tidur akan membuatmu lebih baik. Kau begitu pendiam akhir-akhir ini, tapi itu mengingatkanku ketika kau anak-anak dan biasa melempar piring ke mata air.”

“Menjadi anak kecil dan tidak bersalah sangat menyenangkan.”

“Kita masih bisa.”

Sebuah senyuman menghias wajah tirus Pingting, ketika ia tiba-tiba teringat sesuatu. “Tuan, Chu Beijie pernah memberitahuku sesuatu.”

“Apa yang ia katakan?”

“Ia bilang; aku pelayan He Xia tapi tidak tahu kalau ia adalah seorang Jendral hebat. Mengapa hebat? Karena ia bisa membedakan mana yang penting dan mana yang tidak. Nyawa seorang Bai Pingting... tidak sebanding dengan kedamaian selama lima tahun.”

He Xia menggelengkan kepalanya, “Gadis bodoh. Kau percaya semua kata-katanya selama ini?”

“Ia mungkin Panglima musuh, tapi aku percaya perkataannya.” Pingting melihat dengan lembut ke arah wajah He Xia dan berbisik “Tuan adalah seorang Jendral hebat.”

He Xia tidak menjawab.

“Pingting sejak kau datang, kau tak pernah memberitahuku apapun tentang Tuan Besar Zhen Beiwang.”

Chu Beijie sudah mencurigaiku sejak awal; walaupun aku sering berada di ruangan ketika ia membaca dokumen laporan resminya, aku tak bisa membaca sedikitpun isinya.”

Tak ada gunanya hidup di masa lalu.

Seperti tembok lusuh di Gui Li yang dulu pernah menjadi tembok megah dari Kediaman Jin Anwang.

Dengan mengalami kekalahan, bagaimana sifat seseorang tidak berubah?

“Gui Li sekarang memiliki waktu lima tahun, selama lima tahun, Raja bisa membentuk pasukan lebih kuat untuk melawan Dong Lin. Setiap langkah yang kita lakukan, berharga untuk negara kita. Tak peduli apa yang He Su katakan, bagaimanapun ia seorang Raja Gui Li, kalau ia tak suka dengan kita, kita tak bisa berbuat apapun untuk itu. Mulai sekarang, Kediaman Jin Anwang tidak lagi ada, kita akan bersembunyi di gunung dan tidak akan pernah muncul lagi di masyarakat.” He Xia berhenti sebentar, lalu menambahkan, “Tapi masalahnya adalah Jin Anwang memiliki banyak musuh hebat. Banyak yang berniat membunuh kita, termasuk Raja kita sendiri. Karena itu, keamanan kita bergantung pada satu hal, yaitu tempat persembunyian kita.”

Gemerak tulang membekukan hatinya seperti tali yang tiba-tiba menjerat nyawanya.

“Tuan...” Pingting mengertakan giginya, dan akhirnya mampu berkata, “Kau mencurigaiku?”

“Kau bertindak melawan Chu Beijie dan memenangkan perdamaian untuk Gui Li. Kau orang yang baik. Aku percaya padamu.” He Xia menaikan kepalanya, menutup matanya. Lalu ia membuka matanya dan bertanya dengan pelan, “Tapi Pingting apa kau percaya dirimu sendiri?”

Tujuh kata ini menghujamnya.

Pingting benar-benar terkejut. Kesedihan dan tidak percaya tersirat diseluruh wajahnya.

“Apa yang kau katakan?” Pingting berguman, setelah suaranya kembali.

He Xia tidak menjawab pertanyaannya, “Apa yang kau cengkram begitu kuat?”

“Hati yang Pergi.” Pingting menjawab, “Kau memberikannya kepadaku.”

“Bukan, Chu Beijie yang memberikan itu padamu.” He Xia mengeluh, “Kalau kau menolaknya waktu itu, aku akan melihat sedikit harapan. Aku berharap kau tidak kehilangan hatimu dan alasan untuk Chu Beijie. Tapi kau menerimanya. Kau hanya memikirkan tentang Chu Beijie, melupakan Gui Li. Ketika kau menerima pedang itu pernahkah kau berpikir kalau itu hanya sebuah lambang perdamaian antara dua negara untuk seluruh rakyat biasa.”

“Kalau aku melupakan Gui Li, apakah aku akan menyeret Chu Beijie dalam jebakan.”

He Xia menatapnya, “Cinta yang goyah lahir di tengah bahaya. Hanya ketika mereka berpisah, baru mereka menyadari betapa dalamnya cinta mereka.”

“Tidak...”

“Pingting sejak kau kembali, kau selalu menolak untuk duduk di kereta yang sama denganku. Kita selalu dekat seperti saudara sebelum ini. Hari itu, ketika ia membantumu turun dari kuda, yach, tidak setiap pria mampu melakukan hal seperti itu...”

“Sudah cukup, sudah cukup!” Pingting menggelengkan kepalanya, tenggorokannya terasa ada yang mengganjal. Ia menutup matanya, airmata bergumpal di bulumatanya. “Aku mengerti.”

Rencana serangan balik.



Memang benar ia menjebak Chu Beijie, tapi Chu Beijie juga menggunakan perasaannya yang sesungguhnya untuk menjebaknya.

Cinta ada, tipu muslihat juga ada.

Kebersamaan dengan Tuannya selama delapan belas tahun tidak ada apa-apanya di banding cara licik Chu Beijie yang sederhana.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Pingting menyadari betapa mudahnya ia terjatuh dalam jebakannya. Ia takkan pernah lagi mendapat kepercayaan He Xia sepenuhnya, karena kebenarannya adalah ia telah jatuh cinta pada Chu Beijie.

Di dunia ini, mereka yang jatuh cinta tak pernah bisa membuat keputusan yang jernih.

Kalau ia berniat bertemu Chu Beijie dikemudian hari, tindakannya akan sangat tidak bisa diperkirakan.

He Xia yang curiga padanya benar-benar tindakan yang wajar.

Sangat bisa diterima.

Itu rencana akhir Chu Beijie, untuk membuat hatinya rindu.

Matanya terbuka sampa fajar, ia mendengar ayam jantan berkokok, Pingting terburu-buru bangun dari tempat tidurnya. Ia meraba-raba sekitarnya, seperti kehilangan sesuatu, sampai akhirnya tanganya menyentuh ukiran yang dikenalnya di sebuah sarung pedang.

‘kepergian’ dan ‘Hati’, dua bentuk kuno yang terukir di sana.

Ia mengingat kembali saat Chu Beijie melemparkan pedangnya ke tanah, matanya penuh kemarahan kemudian mengingat apa yang baru saja dikatakan He Xia kepadanya.

Kalau saja ia tidak menerimanya, masih ada harapan.

Tapi kalau ia menerimannya....

Delapan belas tahun melayani dengan sepenuh hati tersapu bersih hanya dengan sebuah pedang.

Ia tidak suka menangis, tapi hari ini ia memiliki air mata lebih banyak daripada sebelumnya. Hatinya seperti air yang membeku. Ia ingin menagis tapi ia tak bisa.

Ia duduk dengan kaku di tempat tidurnya, merasa pikirannya berantakan. Ia menyentuh kepalanya.

Ia menyadari demam tingginya kembali ketika ia menyentuhkan jarinya yang dingin ke dahinya yang panas.

Seorang pelayan bernama Lingdang, dikirim oleh He Xia, datang dan bertanya dengan hati-hati bertanya, “Kak, sudah waktunya bangun?”

Ia menggulang pertanyaannya tiga kali sampai Pingting akhirnya mampu menjawab, “Eh?”

Lingdang membawa air panas, dan memegang pakaian bersih yang kemudian diberikan pada Pingting. Mereka selalu berpindah tempat dan segalanya berserakan di ruangan. Lingdang mencari-cari sisir yang biasa Pingting gunakan.

Pingting yang berdiri dibelakangnya berkata, “Tak usah dicari. Temukan Dongzhuo untukku.”

“Dongzhuo ?”

“Dia tidak disini ?”

Lingdang mengelengkan kepalanya, tersenyum, “Akan kucari.”

Matahari sudah terik, aroma musim semi semakin terasa kuat. Tirai manik-manik di pintu bergemerincing ketika Lingdang datang, berkelip terkena cahaya matahari. Saat itu, Pingting mengingat tirai di Kediaman Hua.

Ia dan Nona Hua bersembunyi di balik tirai, sembunyi-sembunyi melirik kearah tamu mereka.

Itulah, pertama kalinya ia melihat Chu Beijie.

Seorang diri di ruangan terasa sangat dingin, begitu dinginnya sehingga Pingting tidak begitu peduli dengan masa lalu. Setelah turun dari tempat tidurnya dan menemukan sisirnya, ia perlahan merapikan rambut hitam panjangnya disamping jendela, membiarkan matanya menatap warna-warna yang bersemangat di luar.

Bunga merah dan unggu setengah mekar. Rumput hijau tumbuh subur di samping kolam. Walaupun disini sangat indah tetapi segalanya terasa asing.

Ini bukan Kediaman Jin Anwang juga bukan Kediaman Zhen Beiwang.

“Naiklah ke kuda bersamaku dan ucapkan selamat tinggal pada He Xia. Mulai saat ini kau bukan lagi Bai Pingting melainkan Chu.”

“Kau hanya memikirkan tentang Chu Beijie, kau melupakan Gui Li. Ketika kau menerima Hati yang Pergi, pernahkah kau berpikir bahwa itu hanya lambang perdamaian antara dua negara untuk seluruh rakyat?”

Pingting mengerutkan dahi, seperti ingin mengakhiri hidupnya secepat dia bisa, tangannya mencengkram kuat dadanya sementara ia melihat kebelakang pada sebuah pedang di samping tempat tidurnya.

Hati yang Pergi.

Ia meninggalkan Chu Beijie, tapi ia juga tak bisa lagi kembali pada Jin Anwang. Bagaimana ia bisa, Bai Pingting, pelayan utama kepercayaan Tuan Muda Jin Anwang, penasihat perang wanita yang berpengalaman, gadis yang memenangkan lima tahun kedamaian untuk Gui Li, berakhir sebagi jiwa yang kesepian?

“Pingting,” terdengar suara Dongzhuo dibelakangnya, “Kau mencariku?”

Pingting meletakan sisirnya, berbalik dan bibirnya sedang tersenyum. “Aku ingin memberitahumu sesuatu.”

Dongzhuo terlihat sedikit terkejut, ia belum melihat Pingting beberapa hari ini. Ia sangat sibuk, tapi ia tahu sesuatu telah membuat Pingting sangat khawatir. Melihat temannya begitu putus asa, senyum isengnya segera menghilang, digantikan wajah serius, wajah dewasa. Ia merendahkan kepalanya, “Katakan.”

“Aku akan pergi.”

Hati Dongzhuo tenggelam karena tiga kata ini.

“Pergi ?” ia menyentakkan kepalanya, mencari-cari ke dalam mata hitam Pingting. Ia lupa akan semua masalahnya. Ia seperti terguncang, mencari-cari kata yang ingin ia ucapkan. Dan akhirnya ia berkata dengan janggal, “Apa Tuan sudah tahu?”

Pingting tertawa kecil, berbaring pada pinggir jendela, mengerakkan tanggannya. “Dongzhuo, kemarilah.” Mengenggam tangan Dongzhuo , ia berhati-hati mengatakan apa yang dipikirkannya. “Geez, kau selalu memanggilku Pingting ini, Pingting itu, tapi sesungguhnya aku lebih tua darimu beberapa bulan. Kau seharusnya memanggilku ‘Kak’.”

Dongzuo kecewa dan ia terpaksa berguman “Kak” sambil mengertakkan giginya.

“Anak baik,” Pingting sedang bertingkah seperti kakak perempuan, mengajarinya. “Hal yang paling sulit untuk seseorang adalah mengetahui kapan harus menyerang dan kapan harus mundur. Hari itu, aku menyerang Chu Beijie. Tapi hari ini, ini waktunya aku untuk mundur.”

“Tapi kau bagian dari Jin Anwang, lagipula, kemana kau akan pergi? Raja menangkap semua orang yang melayani Jin Anwang, termasuk kau, dan Chu Beijie sudah pasti akan memburumu.”

“Aku punya rencana sendiri.”

Rasa frustasi Dongzhuo yang terpendam akhirnya meledak, “Aku tahu Tuan mencurigaimu. Aku akan bilang pada Tuan kalau orang baik.”

“Kau tak boleh.”

“Aku tidak tahan lagi, kali ini kesalahan Tuan. Kalau ia tetap seperti ini, ia sama buruknya seperti Raja kita, ya kan?”

“Hentikan !” Pingting menariknya, menekankan setiap kata-katanya. “Tuan telah bertindak benar dengan curiga.”

Dongzhuo segera diam, mengerutkan dahi. “Aku tak pernah berpikir kalau kau akan memihak selain Jin Anwang kita.”

Pingting terlihat terkejut, tapi kemudian ia mengeluh. “Kau takkan mengerti walau kujelaskan. Dan, ketika aku pergi, katakan kalau kepergianku adalah yang terbaik. Untuk semuanya, untuk Tuan dan juga untukku. Tuan sedang sangat kesulitan saat ini, dan aku tak bisa membantunya hanya membuatnya kecewa.”

“Bagaimana kau bisa mengecewakan Tuan?”

“Dongzhuo...” Pingting melihatnya dengan lembut, tapi senyumnya pahit. “Berpikirlah seperti ini. Tuan tak bisa mengabaikan aku karena jasaku tapi ia juga tak bisa tenang karena mencurigai tindakanku. Ia tak berani untuk bertindak jauh, menyakiti atau membuatku sedih, aku sangat menyesal pada Tuan.”

“Tapi kalau kau pergi...”

“Ketika aku pergi, aku tak lagi berhubungan dengan Jin Anwang. Aku takkan bisa memberitahumu apapun, bahkan kalau aku ingin.”

Dongzhuo tetap mengellengkan kepalanya, “Tidak, kalau kau seperti itu, bukankah kau sangat tidak berterimakasih pada Tuan dan membuang kedudukanmu?”

Mata Pingting bersinar terang, “Karena itu aku butuh bantuanmu. Aku ingin pergi tanpa diketahui Tuan.”

“Tidak, tidak, tidak, aku tak bisa menyembunyikan apapun dari Tuan.”

“Tentu saja tidak, tapi Tuan akan berbohong padamu. Mau bertaruh, kalau ia tahu apa yang kita rencanakan, ia bukan hanya diam tapi juga sembunyi-sembunyi membantu rencana pelarianku.”

“Aku tidak bisa mengerti kau!” Dongzhuo mengaruk kepalanya, dengan cepat berjalan bolak balik ruangan. Lalu ia menyentakkan Pingting, “baiklah aku akan membantumu. Apakah salah Tuan atau bukan, yang aku tahu adalah kau orang yang tidak beruntung dan aku tahu kau takkan pernah menghianati Jin Anwang kita. Tapi... kemana kau akan pergi? Jangan lupa kau sedang sakit dan ini baru dua hari sejak...”

Pingting menyela, “Tidak, aku pergi malam ini.”

Suaranya pelan, tapi Dongzhuo bisa merasakan keteguhan tekadnya. Ia menaikkan alisnya, “Kalau kau tidak memberitahuku kemana kau akan pergi, aku tak mau membantumu. Kau akan sendirian diluar sana dan jika sesuatu terjadi padamu, aku takkan pernah bisa tidur nyenyak.” Tangannya menyengkram dadanya dan menatap Pingting.

“Setelah pergi darisini, aku akan bebas, jadi aku bisa pergi kemana saja aku mau dengan mudah. Kau tahu kalau banyak orang yang mencariku dan apa kau benar-benar berpikir kalau aku akan memberitahu seseorang yang agak ceroboh sepertimu? Tapi aku berencana menuju...” Pingting berbisik di telinganya, “utara.”

Bukankah musim semi datang terlambat di utara?

Dulu ketika ia masih tinggal di lingkungan istana, teman baiknya Yangfeng pernah menggatakan tanah impiannya adalah padang rumput yang tak berujung di utara, dimana ribuan ternak, domba dan kuda digembalakan diatasnya. Terkadang seekor kuda akan berlari memimpin dan kuda lain akan mengikuti, dan terdengar suara yang semakin kencang hingga memekakan telinga, seperti bumi akan terbelah.

Ia tak bisa tetap tinggal di Gui Li, sementara Dong Lin lebih berbahaya dari gua naga dan sarang singa.

Kenapa tidak Bei Mo

Dikejauhan, matahari merah siap untuk terbit. Pingting menarik napas dalam menikmati segarnya udara pagi. Ia telah terlalu lama beristirahat sehingga tulang-tulangnya terasa berkarat. Tempat ia tinggal tersembunyi di sebuah lembah dan hanya terkena sedikit matahari. Kapanpun ia pergi keluar, ia merasakan perasaan rindu ketika ia menatap langit yang luas. Ia melupakan segalanya ketika ia berpikir untuk secepatnya menemukan temannya di Bei Mo.

Senyum yangfeng lebih bersinar dari yang pernah ia lihat.

--0--





novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia

Minggu, 10 Mei 2015

Gu Fang Bu Zi Shang -- 1.10

-- Volume 1 chapter 10 --


Para serangga telah lama menghilang untuk tidur panjang karena sekarang sudah masuk malam musim dingin. Bulan sabit di atas awan, memancarkan aura dingin, malam yang pucat.

Ia merasa gusar selama berjalan menuju penjara bawah tanah.

Berdasarkan pengamatannya selama beberapa hari terakhir ini, ia menyadari bahwa melewati para penjaga seperti menjadi agak mudah. Sementara Pingting berjalan, ia melihat beberapa pelayan, mereka melambai padanya lalu dengan cepat menghilang.

Sekitar pergi ke sekitar gunung buatan dan pohon bambu, dan akhirnya ia tiba dipintu masuk penjara bawah tanah.

Penjaga penjara melihat seseorang menghampirinya dari kejauhan dan ia terkejut melihat bahwa itu Pingting. Ia menyapanya dengan senyuman.

“Mengapa Nona Yangfeng memutuskan untuk mengunjungi kami? Saat ini udara sangat dingin.”

“Aku kehilangan tusuk konde, aku sedang mencarinya.”

“Sebuah tusuk konde?” Penjaga merasa ragu, “Apakah tidak tertinggal di kamar Nona?”

“Aku sudah mencarinya, tapi tidak ada. Sepertinya hilang saat aku berada di sini.” Pingting memelankan suaranya, “Aku mendapatkannya dari Tuan Besar pagi ini dan aku baru memakainya sekali. Bagaimana aku akan menjelaskan pada Tuan besok pagi? Tolong, Tolong bantu aku mencarinya.”

“Itu...” Penjaga merasa ragu-ragu. “Penjara ini tempat yang penting, dan biasanya terlarang untuk dimasuki.”

“Bukankah aku sudah masuk pagi ini?”

Si penjaga mengatupkan mulutnya tapi ia berpura-pura riang. “Nona, apakah kau sedang menilai pekerjaanku? Kalau Tuan Besar bertanya....”

Pingting segera menyelanya, dan berpura-pura anggun. “Kalau begitu bisakah kau masuk kedalam dan mencarinya untukku? Cari pelan-pelan ditanah dan di ruangan. Aku akan menunggu disini.” Lalu ia mulai batuk, berpura-pura sakit karena udara dingin.

Angin utara sangat menusuk. Bahkan si penjaga merasa kedinginan, dan sekarang ketika mendengar Pingting terbatuk batuk, membuatnya gelisah. “Nona, tolong kembalilah ke kamar. Nanti ketika aku sudah menemukannya, aku sendiri yang akan mengantarkannya kepada Nona.”

“Tidak, tidak, menunggu lebih baik. Uhuk, uhuk, uhuk....uhuk.... Aku...uhuk.... dadaku terasa sesak, kepalaku serasa seperti terbakar, tapi aku tidak kedinginan.”

Kata-katanya membuat si penjaga terkejut.

Si Penjaga tahu kalau Tuan Besar sangat menyayangi gadis ini. Untuk merawat sakitnya, Tuannya memilih tabib terkenal Chen Guanzhi. Dan sangat bisa dipastikan kalau nantinya akan menjadi istri resmi disini, Nyonya Besar mereka. Kalau ia sakit karena berdiri diluar penjaranya, maka....

Setelah beberapa kali mempertimbangkan, kepala penjara sambil mengertakan gigi berkata, “Setelah kupikirkan matang-matang, kau boleh masuk. Didalam lebih hangat. Dan kau akan lebih yakin kalau mencarinya sendiri.”
Lalu ia membuka pintu penjara yang besar, membiarkan Pingting masuk dan dengan hati-hati menutup pintu dibelakangnya.

Di ujung lain ruangan hitam dan gelap, disana berbaring Dongzhuo.

Ia tidak merasa dingin. Darah kering menutupi tubuhnya rasanya seperti neraka seribu tahun. Begitu lekatnya, sehingga sedikit gerakan saja bisa membuka lukanya.

Ia bersandar di dinding, berusaha menyimpan tenaga sebanyak mungkin.

Creak....

Suara pintu penjara dibuka memecah kesunyian. Sebuah cahaya api mendekat.

Mata Dongzhuo berkedip.

“Dongzhuo?” Pingting muncul di pintu, memegang sebuah obor menyala.

Mulut Dongzhuo terbentuk senyuman, memukul ringan seperti tingkah nakalnya yang biasa. “Aku sudah menunggumu.”

Ia bangun berdiri, luka dikakinya mengancamnya untuk menyerah.

Wajah Pingting bersinar kearahnya, tersenyum dan rantai bergemerincing.

Setelah Dongzhuo dibebaskan, ia bertanya, “Apa yang terjadi dengan para penjaga diluar.”

“Pingsan.” Pingting memutar bola mata hitamnya. “Aku bahkan tidak menggunakan bom gas obat tidur.”

“Maksudmu resep yang hampir membuat seluruh penghuni Jin Anwang tertidur?”

Pingting menaikan ujung bibirnya dengan bangga. “Ikuti aku.”

Mereka meninggalkan penjara, kepala penjara dan tiga penjaga lainnya tergeletak di tanah di depan pintu penjara. Mereka berdua telah melewati banyak peperangan sehingga mereka segera bertukar pakaian penjaga tanpa perlu mengucapkannya. Pingting sangat tahu seluk beluk kediaman, ia memimpin jalan dengan pasti.

Langit masih gelap dan anak penjaga kandang masih tertidur lelap.

Dongzhuo memilih dua kuda terbaik. Satu untuk Pingting dan satu lagi untuknya.

“Sepertinya Chu Beijie masih belum kembali, syukurlah.” Pingting melihat ke langit. “Saat ini, Tuan Zhang pasti sedang menjaga pintu belakang. Ia tidak terlalu kuat, jadi jangan terlalu melukainya.”

Setelah mereka menjatuhkan Tuan Zhang, mereka keluar lewat pintu belakang kecil. Seperti itulah, mereka telah melarikan diri dari Kediaman Zhen Beiwang, tanpa banyak masalah.

Mereka tersenyum satu sama lain, tidak perlu perayaan.

Lagipula, semakin jauh mereka pergi, semakin aman.

Segera, mereka telah meninggalkan dinding kota, berderu melewati ladang rumput kuning dan pepohonan.

Berpikir kalau mereka sudah melawati bahaya, mereka memelankan kudanya sedikit.

Keduanya sudah sangat lelah, maka mereka memilih sebuah tempat dan beristirahat.

Dongzhuo menundukkan kepalanya, berpikir keras. Ia tak bisa menahan tanyanya, “Aku sebaiknya bertanya tentang hal ini dikemudian hari tapi.... Pingting, bagaimana kau bisa berada di Kediaman Chu Beijie?”

Senyum di bibir Pingting bimbang sejenak tapi ekpresi wajahnya segera kembali normal. “Mendekatlah. Biar kuberitahu kau.”

Dongzhuo berbaring mendekat dan Pingting berbisik di telinganya. Apa yang didengarnya membuat wajahnya berubah dan setelah Pingting selesai, ia menyentakkan kepalanya menatap Pingting.

Pingting tetap berwajah biasa, “Kenapa?”

“Jadi begitu ceritanya.....”

“Baiklah, kembali ke permasalahan utama.” Pingting berkata, “Kediaman Zhen Beiwang telah kehilangan seorang tahanan. Chu Beijie pasti akan mengirim pasukan untuk mengejar kita. Salah satu dari kita harus mengalihkan perhatian para prajurit, yang lainnya kembali ke Tuan.”

“Pingting, kurasa sebaiknya kita menyerah.”

Wajahnya menjadi dingin, “Bagaimana mungkin kita menyerah sekarang? Aku akan ke arah timur dan kau ke barat. Pergilah.”

Dongzhuo tidak menjawab, jadi Pingting mendorongnya naik ke kuda dan menepuk punggung kuda. Ia menyaksikan Dongzhuo dan kudanya perlahan mulai menghilang di kejauhan.

“Pingting akhirnya bisa bertemu lagi dengan Tuan.” Ia memastikan Dongzhuo telah benar-benar menghilang, sebelum ia berjalan ke arah sebaliknya.

Pingting ternyata benar, salju segera turun. Di pagi hari, matahari muncul sebentar menampakkan cahayanya sebelum tiba-tiba muncul awan tebal dan segera menjadi gelap menutupi langit.

Pingting, yang masih berada di atas kuda, tahu kalau didepan sana awan akan semakin tebal.

“Ah, ini kepingan salju yang besar.” Ia meraihnya, mengapai sebuah kepingan salju di udara. Ia melihatnya mencair di tanganya yang beku, dan ia tersenyum seperti anak kecil .

Ia belum melihat lagi, salju yang menyenangkan untuk waktu yang lama.

Untuk beberapa tahun terakhir, Tuannya selalu memanggilnya keluar pada waktu waktu seperti ini. “Cepat! Waktunya menikmati salju, jangan lupa kecapi, ingat bawa kecapinya.”

Walaupun Tuan sedang sembunyi, ia seharusnya bahagia dengan salju ini, ya kan?

Ia tidak berkuda dengan cepat, dan biasanya akan terlihat pemandangan sekitar yang semakin memutih. Ia sudah melepaskan mantel bulu srigala putih diatas kudanya untuk ia kenakan di badannya.

Chu Beijie memberinya mantel itu beberapa hari lalu. Sepertinya buatan khusus daerah Dong Lin. Sangat nyaman di gunakan, dan sepertinya tidak ada angin sedikitpun yang bisa menembusnya. Dan karena ia sudah memperkirakan akan turun salju maka ia sudah mempersiapkannya.

“Dimana ada masalah, disana ada pahlawan; Dimana ada pahlawan, disana ada wanita cantik; Bertahan dari bencana, bertahan dari bencana....”

Walaupun udaranya dingin, suasana hati Pingting sedang baik dan ia menikmati pemandangannya, maka ia mulai bernyanyi.

Pikirannya sibuk walaupun wajahnya tersenyum, dan tidak diragukan ia sedang kebingungngan.

Tapi suaranya tetap lembut seperti biasa.

“Jika ada pasuka, akan ada kemasyhuran; Jika ada kemasyhuran, akan ada kecurangan; Prajurit tahu kecurangan, prajurit tahu kecurangan....”

Ia tiba-tiba teringat Chu Beijie.

Wajahnya merona merah dengan cepat, seperti baru saja dipakaikan perona pipi.

Orang itu, pria itu. Pinting berhenti bernyanyi, dan perlahan bersenandung. Tak ada kata-kata yang bisa mengambarkan dia.

Salju turun lebat tiga hari berikutnya, dan ia terus menunggang kuda menuju timur.

Tiga hari kemudian, salju berenti. Ia sudah tiba di perbatasan Dong Lin. Ia berhenti di tempat sehari perjalanan lagi menuju Gui Li.

Tanah berwana putih.

Pingting berhenti dan bertanya pada orang yang lewat untuk pertama kalinya.

“Permisi, Tuan, apa kau tahu dimana Bukit Tiga Bayangan ?”

“Lurus kedepan. Kalau menemukan sebidang tanah yang digunakan para pengembala domba? Lewati dan dipersimpangan belok ke kanan. Kau akan tiba disana sekitar setengah hari dengan kuda.” Orang tua itu memegang makanan yang di awetkan untuk musim dingin. Ia menatap Pingting, “Udara sangat dingin, apa kau tetap akan pergi?”

“Yep!” ia berterimakasih pada orang tua itu, lalu berguman, “Domba di sebidang tanah....”

Itu tepat di depan.

Ia memikirkan, Tuannya akan tersenyum dan bagaimana reaksi Tuannya ketika melihat dirinya.

Ia tak bisa menahan kegembiraan di hatinya; ia memacu kudanya berlari lebih cepat.

Ketika tiba di sebidang rumput tipis, ia melihat jalurnya adalah sebuah lembah yang cukup lebah, bisa dilewati oleh tiga kuda berjajar, langit di depan menampakkan sebuah celah tipis.

Abu-abu putih terang bersinar melewati celah.

Pingting berhenti di pintu masuk.

Angin yang datang dari arah lembah sangat dingin, sampai menusuk ke tulang. Udara dingin bertemu suara gemerincing baru kericil.

suasananya seperti pertanda tidak baik.

“Para pengejar...” Pingting berkeluh lembut, seperti sudah merasakan bahaya. Ia segera menyentakkan kudanya dan memacu kencang.

“Lari !”

Kuda hitam kecil itu sepertinya juga merasakan bahaya. Mereka berada dibelakang perbatasan lembah.

Lalu datang pemangsa yang menakutkan.

Mereka bisa mendengar deru langkah kuda dibelakang mereka. Dan tiba-tiba mereka terlihat, seperti iblis muncul dari dalam tanah.

Pasukan pengejar, pasukan pengejar!

Pasukan Panglima Zhen Beiwang sudah disini!

Seperti, mereka berusaha untuk mengalahkan putihnya bumi.

Mereka semakin dekat dan dekat, dan hampir melewatinya. Sulit untuk dibayangkan – hawa pembunuh di udara dan para prajurit dengan pedang bersinar di cahaya silver.

Pingting tidak melihat ke belakang, hanya memacu kudanya lurus ke depan.

Seseorang berteriak di belakang, yang segera digantikan rasa cemas.

“Yangfeng!” terdengar suara yang sangat dikenalnya, menyapu lembut telinganya.

Chu Beijie disini.

Tubuh rampingnya gemetar, tapi Pingting berpura-pura tidak mendengar, ia tetap memacu kudanya kencang.

Lebih cepat, lebih cepat! Angin menebas wajahnya, terasa sakit.

“Bai Pingting !” suara yang sama, kecuali kali ini penuh kemarahan.

Pingting berguncang.

Ia tahu betul suara orang itu.

Ia mengatakan; kalau mereka tidak akan berpisah.

Ia mengatakan; jika musim semi tiba, ia sendiri yang akan memilihkan bunga untuknya setiap hari.

Tapi sekarang ia sangat marah seperti singa yang mencium darah.

Ia mencoba usaha terbaiknya untuk memacu kudanya dengan memecutnya lagi.

Tapi sebelum pecutnya mengenai kuda, seseorang telah mengambil pecutnya dari tangannya dan melilitkan tangannya di pundaknya, seperti ingin menegaskan sesuatu. Chu Beijie telah berada dibelakangnya diatas kudanya.

“Ah !” Pingting berseru, sepertinya ia jatuh ke pelukan sesuatu yang siap meledak.

Pingting membuka matanya dan ia melihat sepasang mata berbahaya menatap ke arahnya.

“Kau melarikan diri sangat jauh.” Ia menggunakan satu tangan untuk mengendalikan kuda dan yang lainnya untuk menahan tawanannya. Chu Beijie memaksakan senyuman, “Lihat dirimu, sangat tidak patuh, dan pergi sejauh ini.”

Meskipun tahu berbahaya, Pingting harus menanyakannya, “Kapan kau menyadari kalau namaku Bai Pingting?”

“Hmm, Belum terlalu lama.” Chu Beijie mengamati sampai ke bawah, seperti memperhitungkan sesuatu.

Leher ramping, tangan putih, wajah yang lembut.

Matanya terlalu tenang. Gadis ini benar-benar tidak tahu seperti apa penyiksaan itu, juga tidak tahu bagaimana bahayanya kemarahan dari seorang Panglima Zhen Beiwang.

Bagaimana aku akan menghukumnya?

“Dimana Dongzhuo?” Pingting berhenti melawan karena tahu, mustahil untuk bisa melepaskan diri dari lengan Chu Beijie.

“Berhasil kabur, jangan khawatir, aku akan menangkapnya segera, dan kau akan bisa mengadakan pertemuan yang bahagia.” Chu Beijie membalas dengan dingin, “Bukit Tiga Bayangan ?”

Pingting mulai tertawa kecil.

Suara Chu Beijie menjadi lebih manis, “Aku lebih takut kalau kau menangis. Air matamu benar-benar melukai hatiku.”

Pingting berhenti tertawa, “Tuan pasti punya sumber yang sangat terpercaya.”

“Benar.”

“Kau pasti curiga pada identitasku sejak awal. Kau menangkap seseorang dari Jin Anwang untuk membuktikan kebenarannya.”

“Kau mungkin benar. Kalau saja kau membiarkan aku membunuhnya, aku takkan mencurigaimu lagi.”

“Tuan berpura-pura pergi dengan sengaja, tapi kemudian mengikuti kami setelah aku menyelamatkannya. Kau melakukan ini semua untuk menemukan tempat persembunyian Tuanku He Xia.”

Chu Beijie menatapnya dengan kagum. “Satu pasukan sudah berkumpul di Bukit Tiga Bayangan, jadi teknik berdalihmu tidak berguna.”


“Pelukan Tuan selalu membawa kehangatan.” Pingting sepertinya ingin menyerah, ia menutup matanya dan dengan patuh mendekat ke Chu Beijie dan berkata, “Kalau Tuan begitu kuat, mengapa tidak berhasil menangkap Dongzhuo?”

Suara Pingting telah membuat Chu Beijie berpikir tentang sesuatu, lalu ia berteriak, “Mundur! Keluar dari tempat ini!”

Pingting tersenyum lembut, “Terlambat.”

Wajah setiap orang seperti ditampar.

Mereka belum mengerti sampai terdengar suara panah di atas kepala mereka. Mereka melihat keatas, melihat begitu banyak panah mengarah pada mereka dari dua sisi.

Dengan panah yang sebanyak ini, bahkan pejuang hebatpun akan kesulitan melarikan diri.

“Ini sebuah penyergapan!”

“Ah! Orang-orang Jin Anwang!”

“Berengsek! Lari! Ah....”

Banyak prajurit berteriak berusaha melarikan diri dengan kuda mereka, tapi panah-panah tanpa ampun menembus tubuh mereka.

Mereka tetap berteriak, dan prajurit berjatuhan dari kuda mereka.

Kuda-kuda meringkik ketika darah bercipratan kemana-mana.

Panah-panah hanya mengarah pada mereka yang berusaha melarikan diri. Beberapa orang di atas bukit berteriak, “Mereka yang menyerah tidak akan dibunuh! Mereka yang menyerah tidak akan dibunuh!”

Sudah sangat jelas kalau pemenangnya sudah ditentukan.

Chu Beijie tahu ia sudah terlalu ceroboh, dan ini akan meninggalkan noda pada riwayatnya. Ia menaikkan tangan dan berteriak, “Berhenti bergerak. Kalian semua turun dan pegang kuda kalian.”

Ia menggulang perintahnya dua kali lagi dan para prajurit menjadi tenang. Seperti yang diperintahkan, mereka turun dari kuda dan mereka semua berkumpul disekitar Chu Beijie. Pasukannya mengeluarkan pedang dan semacamnya, mata pisau mereka bersinar terkena cahaya.

Ia melihat kebawah dan melihat sepasang mata cerdik.

“Jadi kau memilih acak sebuah tempat untuk meninggalkan si brengsek itu. Dan pertanyaanmu pada oran tua itu sebenarnya perangkap untuk menangkapku.”

“Tuan terlalu menyanjungku. Tempat ini sulit untuk di temukan, dan membuat Dongzhuo menghilang dari mata-matamu membutuhkan banyak pemikiran.”

Perjalanannya yang lambat melewati salju, termasuk cara untuk memberi Dongzhuo cukup waktu, agar sempat melapor pada Tuannya. Untungnya ia telah membaca banyak tentang lembah ini yang berada di pinggiran Dong Lin. Sangat membantu perencanaannya.

Chu Beijie memikirkan perkataannya. “Sayangnya, kau salah perhitungan tentang satu hal.”

“Oh ?”

“Kalau tidak, mengapa kau berakhir di tanganku?” Setelah jeda sejenak, ia menambahkan, “Kalau ribuan panah mengarah padaku, walaupun aku takkan hidup lama, aku ragu kau juga.”

Pingting menaikkan alisnya dan dengan suara pelan berkata, “Aku sudah menjualmu. Jadi tidak masalah kalau aku menemanimu sampai mati ya kan?”

Mata tajam Chu Beijie menatap rambutnya, mengancam menusuk tengkoraknya. “Itu pertanyaan yang tidak perlu dijawab, lagipula, aku tak yakin kau ingin mati.”

Pingting menjawab, “Tuan memang seorang pahlawan, jadi tentu saja anda tidak akan suka mati sia-sia ya kan? Sebernarnya, aku tidak benar-benar menginginkan kematian Tuan, tapi Tuan harus berjanji satu hal. Satu hal dan semua busur dan panah itu akan menghilang tanpa perlu melukai seorangpun.”

“Katakan.”

“Mudah, untuk lima tahun kedepan, tentara Dong Lin tidak boleh memasuki atau menyerang Gui Li.”

Chu Beijie memelankan suaranya, “Hanya Raja yang bisa membuat keputusan seperti itu.”

“Tuan adik dari Raja dan juga seorang Panglima terbaik, jadi pasti Tuan memiliki beberapa pengaruh benar kan? Gui Li mendapat lima tahun ketenangan sebagai ganti nyawa Tuan, aku rasa itu cukup sebanding.” Pingting mengigit bibirnya dan merendahkan suaranya juga, “Kalau kau hidup, aku hidup. Kalau kau mati, aku hanya bisa menemanimu di kematian.”

Chu Beijie menyadari kalau ia sedang memeluk seorang wanita yang sangat licik, tetapi hatinya menolak untuk menyerah.

Perlahan, ia bisa mengingat bekas sentuhannya.

Pingting bisa sangat lembut, tapi juga bisa penuh muslihat tak terbatas, banyak tipu daya.

Chu Beijie mengertakan giginya, urat di lehernya semakin menonjol.

Ia tak pernah dimanipulasi oleh siapapun.

Ini sungguh penghinaan yang tidak termaafkan.

Pingting tidak menyadari kemarahan Chu Beijie.

Hatinya menjadi kacau ketika melihat wajah Chu Beijie.

Ia tak mampu menahan pemandangan yang menyesakkan napas itu, maka ia mendesak dengan lembut, “Tuan, Tuan harus membuat keputusan sekarang juga.”

Pikirannya kosong.

“Ha, ha, hahahahha!” Chu Beijie menolehkan kepalanya kebelakang dan tertawa, mereka yang melihatnya bertanya-tanya apakah dia sudah gila. Ia menatap marah kepada Pingting, matanya penuh kebencian. “Sesuai keinginanmu.”

Mengeluarkan pedang kesayangannya yang tergantung dipinggangnya, ia melemparkannya ke tanah dengan sekuat tenaga, begitu kuatnya hingga cukup untuk menyalakan api.

“Aku, Panglima Zhen Beiwang dari Dong Lin, Chu Beijie, berjanji atas darah kerajaanku, untuk lima tahun kedepan, takkan ada prajurit Dong Lin yang akan menginjakkan kaki di daerah kekuasaan Gui Li. Aku meninggalkan pedang ini sebagai bukti janjiku.”

Suaranya yang penuh kebencian bergema di lembah, seperti ratapan kesedihan menjelang ajal. Suaranya terdengar jelas dan lantang. Segera setelah Chu Bejie mengucapkan ini, seseorang turun dari atas bukit melihat ke bawah dan tersenyum. “Tuan Besar Zhen Beiwang memang seorang pria sejati, Aku He Xia percaya kau akan memegang janjimu dan atas nama para petani yang tidak ingin bertarung, aku mengucapkan terima kasih.”

Disanalah, Tuan Muda Jin Anwang, terlihat anggun tapi tidak menyolok, mengenakan pakaian seputih salju. Ia adalah orang yang paling ingin di bunuh oleh Raja Gui Li saat ini.

Pingting melihat Tuannya dan berseru dengan gembira “Tuan !”

He Xia menoleh ke arahnya dan mengangguk. “Pingting, kau sudah berusaha keras, Aku...” kata-katanya berhenti di tenggorokkannya, seperti terlalu pribadi untuk diperdengarkan. Ia menatap Chu Beijie, “Tolong, lepaskan pelayanku. Kita telah membuat kesepakatan, Tuan Besar Zhen Beiwang anda boleh pergi. Kami takkan menyerangmu.”

Chu Beijie tidak mengatakan sepatah katapun, hanya menlihat sekilas ke arah Pingting.

Kembali?

Melepaskannya. Ia membantunya turun dari kuda. Tindakan yang sederhana, tapi Chu Beijie tidak bisa menahan dirinya untuk memeluk Pingting lebih dan lebih erat.

Wanita langsing ini, yang sangat beracun seperti ular dan scorpio yang akan memanfaatkan dirinya tanpa berpikir dua kali. Ia seharusnya menganggapnya sebagai musuh, yang harus segera dibunuh begitu ada kesempatan.

Tapi ia tetap memeluknya.

Tak mau melepasnya... pergi.

Tubuh hangatnya, ujungjarinya yang langsing dan wajah lembutnya yang mendingin karena salju.

Tanganya menyabu bibir Pingting.

Seperti yang biasa ia lakukan.

Ia telah terbiasa mendengarkan permainan kecapinya, terbiasa mendengarkan candaannya tentang cuaca, terbiasa dengannya yang berbaring malas di tempat tidur sepanjang malam ketika ia membaca dokumen kerjanya.

Kalau saja ia tahu siapa gadis ini sebenarnya, ia bisa mencegah hal ini terjadi, dan tetap bersamanya dalam damai.

Kebahagiaannya hanya menjeratnya dalam perangkap.

Ketika ia berpikir ia sudah menangkapnya, tiba-tiba ia mengembangkan sayapnya dan terbang kembali ke Tuannya.

Tetap ia tak mampu untuk melepaskannya.

Ia terbiasa menyentuhnya, memeluknya, menciumnya. Menciumnya....

Kebenciannya semakin dalam, dan rasa cintanya semakin memudar.

Ia terbiasa....

Diantara bumi dan surga, wanita ini sangat kejam seperti iblis dan orang yang paling dibencinya, tapi diantara bumi dan surga juga ia wanita yang paling lembut, sangat lemah lembut.

Dan ia dengan susah payah mendapatkan wanita yang luarbiasa ini.

Chu Beijie menutup matanya, berpikir bagaimana mempertahankannya.

“Tuan, tolong lepaskan pelayanku,” terdengar suara pelan dari He Xia.

Chu Beijie sepertinya terbangun dari masa lalu kembali pada kenyataan. Ia menatap ke bawah, wanita ini masih disini, menatapnya dengan matanya yang bersinar.

“Tuan, tolong biarkan aku pergi,” ia berbisik.

Chu Beijie tak yakin ia mendengar dengan benar.

Pergi? Kemana kau akan pergi?

Kau berbohong padaku, kenapa aku harus membiarkanmu pergi hanya karena kau berkata serperti itu?

Diseluruh dunia ini, aku hanya menginginkanmu, hanya kau.

Kebencianku sangat kuat, tapi cintaku juga sangat dalam. Aku menginginkan tubuh dan hatimu, kau tak bisa melarikan diri.

Chu Beijie membalas dengan angkuh, “Aku hanya menjanjikan kedamaian Gui Li selama lima tahun, aku tidak berjanji untuk melepaskanmu.”

Pingting mengelengkan kepalanya dan berkata, “Prajurit Tuanku belum pergi. Situasi ini tidak menguntungkanmu.”

“Seperti yang diharapkan dari seorang penasihat militer wanita He Xia.” Mulut Chu Beijie menutup rapat, tapi kemudian ia tersenyum, “Kau pikir apa yang akan terjadi kalau aku membunuhmu disini saat ini?”

Pingting sama sekali tidak takut, ia malah tertawa manis, “Pingting akan mati bersama Tuan di hari dan waktu yang sama.”

“Salah.” Chu Beijie menjawab dengan santai, “He Xia takkan mengijinkan seorangpun memanahku. Ia akan membiarkan aku pergi dengan selamat, selama aku bisa menjaga janjiku atas kedamaian Gui Li.”

Sebuah keraguan melintas di mata Pingting, walaupun hanya sekejab dan segera kembali normal. Tapi tidak terlewatkan oleh mata tajam Chu Beijie.

Chu Beijie berseru, “Kau seorang pelayan He Xia, tapi kau tidak tahu kalau Tuanmu seorang Jendral hebat? Apa itu hebat, kau tahu, ia membedakan mana yang penting dan mana yang tidak. Nyawa seorang Bai Pingting tidak sepadan dibanding kedamaian Gui Li selama lima tahun.

Pingting ragu sesaat tapi kemudian ia berkata, “Tuan, apa kau begitu membenciku?”

Chu Beijie memandangnya sangat dalam, tapi tak berkata sepatah katapun.

Pingting tersenyum pedih. “Baiklah. Bunuh aku.”

Setelah ia berkata seperti itu, kakinya mendarat di tanah dengan lembut. Lalu ia melihat ketas, menatap pria yang sudah dikenalnya dan sangat mempesona.

“Ini kesempatan terakhir.” Chu Beijie mengeluh. “Naik keatas kuda bersamaku dan ucapkan selamat tinggal pada He Xia. Mulai sekarang dan selanjutnya namamu bukan lagi Bai Pingting tapi kau akan menjadi keluarga Chu.”

Kata-katanya menguncang Pingting, setelah penghianatan yang dilakukannya, ia masih memberinya kesempatan. Bagaimana aku tidak merasa berterimakasih?

Matanya Chu Beijie menatap lurus kearahnya, memancarkan cinta mereka yang meluap.

Pemain kecapi dari Kediaman Zhen Beiwang.

Bunga-bunga telah menghilang ke sebuah tempat yang tak seorangpun mengetahuinya.

Aku jiwa yang tersesat di dataran putih bersalju, dan kau mata pisau paling tajam di dunia. Diantara kita terbentang gunung kebencian dan penghianatan.

Gunung yang sangat tinggi tertutup salju. Kau tak bisa melihatku, aku tak bisa melihatmu.

Hati yang terluka, takkan pernah kembali utuh.

Pingting melihat dikejauhan He Xia sedang menunggu. Ia mengigit bibirnya dengan kuat, mundur selangkah sebelum berkata, “Tuan silakan pergi. Pingting tak bisa mengantarmu.”

Wajah Chu Beijie menjadi dingin tanpa ekspresi. Ia mengangguk.

“Baiklah, baiklah, baiklah....” ia menjawab dengan dingin, “Suatu hari, aku akan membiarkanmu tahu bagaimana rasanya kepiluan yang mengerikan.” Dengan itu, ia berbalik, mencabuk keras kudanya.

Kudanya meringkik keras sebelum berlari kencang, meninggalkan awan debu di belakangnya.

Tubuh yang kesepian menuju matahari.


--0--



novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia