Jumat, 25 Agustus 2017

Gu Fang Bu Zi Shang -- 3.66

-- Volume 3 chapter 66 --



Warna merah matahari, naik dari timur ibukota.

Sinar terang mengantikan cahaya bulan yang lembut, menandakan fajar. Seperti hendak mengejek hati orang-orang yang sedang bersedih. Ibukota Yun Chang, bendera berkibar di tiup angin, seperhti hari-hari biasanya.

Di dalam pengepungan ketat.

Setelah hari ini, kemewahan dan kemegahan Gui Li akan menghilang.

Dibawah kemilau pedang prajurit Yun Chang, gerbang kota yang berat itu mulai terbuka perlahan.

Raja Gui Li, He Su, membawa Ratu dan para pejabat penting lainnya di belakangnya. Mahkota telah di turunkan dan sepatu di lepaskan, ketika mereka berjalan keluar dari gerbang. Tapi langkah mereka terhenti ketika para prajurit maju mengepung mereka dari dua sisi. Banyak sekali sosok-sosok yang  duduk berlutut, sambil berusaha menahan tangis, mereka adalah para penduduk Gui Li.

Negara telah hancur.

Segalanya telah berakhir.

Kediaman Jin Awang hangus terbakar api, malam itu, berita pemberontakan Tuan Besar Jin Awang tersebar cepat begitu juga pelarian mereka dari ibukota. Hari ini, Tuan Muda Jin Anwang telah kembali, tapi negara mereka telah berakhir.

Di sisi luar ibukota Gui Li, He Su berdiri di hadapan prajurit Yun Chang. Tanpa mempedulikan statusnya yang tinggi, ia berlutut di depan musuhnya.

“He Su sungguh berdosa, gagal memimpin Gui Li, membuat rakyat menderita. Sejak jaman dulu, harta berharga hanya di berikan kepada yang memiliki kemampuan, He Su dengan rendah hati memberikan segel penguasa Gui Li kepada Suami Ratu Yun Chang sebagai tanda penyerahan diri.”

Suaranya tenang, setiap kata di ucapkan seperti melilit tengorokannya. He Su memegang segel pusaka dengan kedua tangannya, perlahan mengangkatnya ke atas kepalanya ketika menyerahkannya.

Pusaka negara lebih penting daripada emas.

He Su ketika berlutut menyerahkan segel dari atas kepalanya, tangannya bergetar sedikit.

Sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya, Gui Li yang besar ini akan hancur di tangannya.

Selama saat-saat terakhir ketika ayahnya sekarat, ia memperingati dengan diam-diam dan sungguh-sungguh, “Kau harus sangat berhati-hati untuk segala masalah yang berhubungan dengan Keluarga Jin Anwang.”

Ia sudah sangat berhati-hati, ia segera menyusun rencana begitu menaiki taktah. Setiap tindakan, peralatan, orang-orang dilapangan, semuanya sudah diperhitungkan matang-matang untuk menghanguskan Kediaman Jin Anwang sampai helai rumput terakhir. Ia sangat menekankan dan memperingatkan berkali-kali untuk membunuh Tuan Besar Jin Anwang beserta istri, dan meninggalkan He Xia seorang diri.

Sungguh ironi, hari ini, ia baru menyadari apa maksudnya ‘Sangat berhati-hati’.

Ratu dan para Pejabat menjadi pucat, semua orang terlihat sudah kehilangan jiwa mereka, ketika mereka berlutut di belakang He Su.

Pasukan Yun Chang berbaris rapi dan diam, senjata mereka berkilau tajam.

Ekspresi He Xia sepertinya sangat bersemangat dan segar. Sebelah tangannya menggenggam pedang di pinggangnya sambil menatap ke bawah dari kudanya, memperhatikan segel tanpa emosi. Sudut bibirnya terangkat, “Bereskan benda ini.”

Salah seorang prajuritnya yang dipercaya menjawab, “Baik.” Ia turun dari kudanya dan menghampiri.

He Su hanya bisa merasakan berat di tanganya terangkat, dan menyadari segel pusakanya telah di genggam oleh orang lain. Dan sekarang ia benar-benar merasakan kalau negaranya sudah bukan miliknya. Tenaga di tubuhnya menghilang dan ia hampir pingsan.

Negara sudah jatuh, bagaimana ia menemui para leluhurnya nanti?

Tapi seberapa kecewanya dia saat itu, tak mungkin ia tidak peduli dengan situasi saat ini, penentuan hidup dan mati orang-orang yang turut berlutut di belakangnya. Di hadapan He Xia, ia hanya bisa berlutut dan menunduk sambil menahan sakit hatinya. “Suami Ratu dan pasukannya, silakan memasuki ibukota. Istana telah di kosongkan, siap untuk di gunakan.”

He Su merasakan perasaan aneh di punggungnya, ia tahu He Xia duduk di atas kudanya, memperhatikan dirinya sedang merendah.

Setelah beberapa saat, ia mendengar suara yang terdengar akrab di atas kepalanya, pelan bersuara, “Dulu, ketika kita belajar bersama. Guru pernah berkata - Raja dari negara yang telah dikalahkan jika hendak menunjukan ketulusan hatinya, ia sendiri dengan rendah hati melayani si pemenang, menuruti segala perintanya meskipun sangat kasar dan tidak sopan. Aku ingin tahu, apakah Yang Mulia sungguh berniat tulus pada He Xia?”

Para Pejabat Gui Li saling berguman di belakang, membuat ekspresi He Su menjadi kacau.

Kenangan saja tidak cukup, ini adalah pembalasan atas dendam yang sudah meresap sampai ke akar. Sepertinya He Xia tidak hanya menginginkan nyawanya saja tapi juga hendak mempermalukan dirinya di depan orang-orang dengan cara yang bisa dipikirkannya.

He Xia seperti belati. Dan aku seekor ikan. Kematian saja benar-benar tidak cukup, tapi…

Tinju He Su terkepal kencang di balik lengan bajunya. Ia menundukan kepalaya dan menggertakan gigi-giginya, “Tolong ijinkan He Su, menyambut Suami Ratu di dalam ibukota untuk menunjukan kerendahan hati.”

“Yang Mulia..” Ratu berbisik dari belakang, sambil mulai terisak.

Dan para Pejabat yang lain mulai menangis.

“Jangan berkata lagi.” He Su menyela ucapan Ratu, menahan penghinaan. He Su berdiri, ia melangkah seperti melewati duri, perlahan mendekati He Xia selangkah demi selangkah sampai mendekati tali kekang kuda He Xia.

Sebelum He Su sempat menyentuhnya tiba-tiba sesuatu berkelebat di depannya, menghentikannya. Sepertinya sebuah cemeti.

He Su mendonggak ke atas, tidak mengerti, ia hanya berpkir ini salah satu cara untuk membuat hidupnya lebih sulit lagi.

He Xia berkata dengan dingin lagi, “Meskipun aku sangat membencimu, sudah cukup.” Ia menaikan tangannya dan berkata lantang, “Masuk kota! Kita tidak menuju istana, hanya mampir ke Kediaman Jin Anwang.”

“Masuk kota!”

“Masuk kota!”

“Masuk kota….”

Kata-kata itu dilanjutkan dari prajurit ke prajurit. Suaranya semakin tendengar kencang dan seperti gema yang tak henti-hentinya.

Pasukan Yun Chang perlahan mulai begerak memasuki ibukota Gui Li seperti hewan buas yang baru saja bangun dari tidurnya.

He Xia duduk di atas kudanya, diikuti bendera kerajaan, dikelilingi oleh para prajuritnya. He Su beserta para Pejabat dan yang lainnya mengikuti di belakang dengan sakit hati.

Begitu memasuki ibukota, perasaan akrab dan asing menyerbu He Xia. Tempat kuno ini, tempat ia tumbuh besar, bermain di gang-gang kecil dan berkuda dengan riang di jalanannya.

Gui Li, Kediaman Jin Anwang di Gui Li, Tuan Besar Jin Awang dari Gui Li.

Pemain kecapi terbaik Gui Li, Yangfeng dan Bai Pingting.

Mengapa sampai seperti ini?

Tak ada yang mengerti bagaimana perasaan He Xia.

Ini pertama kalinya ia memasuki ibukota Gui Li secara resmi setelah Kediaman Jin Anwang runtuh.

He Xia sudah memenuhi sumpahnya untuk balas dendam, tapi entah mengapa, rasa sakit itu sama sekali tidak terpuaskan dan rasa kehilangan yang dulu dirasakannya tidak tersapu bersih.

Ia telah mendapatkan ibukota Gui Li. Tapi di ibukota sudah tidak ada lagi Kediaman Jin Anwang, tidak ada lagi senyum kedua orangtuanya, tidak ada ada Pingting. Hanya tersisa He Su, yang telah menjadi musuhnya selama sisa hidupnya.

Setelah berhasil membalas dendam dan memenangkan sebuah negara, tak ada seorangpun untuk dikabari tentang berita besar ini?

Bahkan Yaotian sudah tidak ada lagi disini.

Suara langkah kaki kuda terdengar sekali lagi, membawa si penunggangnya kembali ke rumah. Ketika ia berhenti, bunga-bunga seperti mulai menangis dan burung-burung berterbangan, menyisakan bangunan yang habis terbakar.

“Setelah Kediaman Jin Anwang hancur terbakar, tempat ini sepenuhnya ditinggalkan.”

He Xia berguman sambil memandang lama bagian yang dulunya berdiri pintu masuk yang megah. Dan akhirnya ia melangkah maju, perlahan, menaiki undakan, melewati ambang pintu kediamaannya.

Kenangan masa lalu berkelebat di kepalanya, pelayan yang hilir mudik dan para tamu yang berdatangan.

Ayahnya berada di ruang utama, berdiskusi masalah politik dengan para Pejabat, sedangkan ibunya dikelilingi para pelayan berbincang tentang hal-hal menarik dan berbincang gosip seputar istana. Biasanya, He Xia bergegas masuk dari luar ruangan, dan ibunya segera berdiri dari kursinya, berkata dari balik tirai, “Xia’er meskipun kebanyakan orang sedang sangat sibuk, pastikan kau pergi bersama beberapa orang penjaga, jangan hanya berdua saja dengan Pingting.”

“Mengerti, kalau begitu aku tidak akan pergi keluar. Putra Mahkota He Su mengirim pesan, di Kediamannya akan datang seorang Guru yang akan mengajarkan tentang seni perang. Kami akan kesana.”

“Baiklah, kau boleh pergi. Tapi jangan berkuda di dalam kota, karena kalau kau sampai jatuh dari kudamu itu sama sekali tidak lucu. Jauh lebih baik kau menggunakan kereta dan duduk di dalamnya.”

“Mengerti Ibu.”

“Satu lagi, mempelajari seni perang akan memakan waktu lama, pastikan kau makan di kediaman pangeran, dan ingatlah untuk pulang….. aaaah….. anak itu….”

Sang ibu belum selesai bicara, He Xia sudah berlari keluar dengan semangat. Ia mencari Pingting, sama sekali tidak peduli dengan kesibukannya, ia segera menarik tangan Pingting dan mengajaknya berlari. Mereka berdua bergegas menuju kuda-kuda yang berada di pintu gerbang, lalu memacu kudanya dengan cambuk sampai sosok mereka tidak terlihat lagi.

Kenangan sepertinya terperangkap oleh rumput liar di tempat ini, terasa jauh dan tapi dekat. Setiap sudut seperti memegang kenangan yang tak terhitung, tetap disana, sulit dihilangkan.

Apalagi untuk melupakannya, sangat susah.

He Xia berdiri di halaman, wajah tampannya sedingin es. Ia memerintahkan, “Persiapkan jamuan disini, untuk menikmati arak di Kediaman Jin Anwang ini.”

Ia sekarang pemegang kekuasaan yang dashyat, tak ada seorangpun yang menganggap remeh perintahnya sekecil apapun.

Rumput-rumput liar dibersihkan, daun yang berguguran disapu. Lantai yang tertutup debu tebal menampilkan kilaunya, dan tirai-tirai di pasang di setiap daun pintu yang tersisa.

Sutra merah, saten hijau dan banyak warna-warna lain di pasang di pilar-pilar yang masih utuh. Mereka berkibar di terpa angin sepoi-sepoi, bergerak bebas di tengah halaman.

Puing-puing yang tersisa sudah dibersihkan, meja dan kursi sudah diletakan. Poci dan cangkir teh sudah siap di atas meja, bersama buah-buah segar.

Matahari senja tiba, Kediaman Jin Awang selesai dihias indah. Butuh waktu sepanjang hari.

Selama senja, barang-barang berharga Jin Anwang dikeluarkan. Hanya tersisa kurang dari separuh yang masih selamat melewati kebakaran hebat, dan sangat penuh kenangan.

Arak dan makanan sudah siap. He Xia duduk di kursi, memerintahkan prajuritnya untuk berbaris seratus langkah di belakangnya, menjaganya dari kejauhan.

Ratu Gui Li bertugas menuangkan arak, ia duduk di satu sisi, pucat tapi tetap tenang.

Hanya He Su yang mampu minum bersamanya.

“Bersulang.” He Xia mengangkat cangkirnya, dan membunyikannya di udara.

He Su banyak pemikiran, tapi saat ini, tak ada apapun yang bisa membuatnya takut. Sama sekali tidak khawatir tentang kematian ataupun secangkir arak.

Ia juga mengangkat cangkirnya. “Bersulang.” Ia menengadah dan meneguk araknya, rasa tajam mengalir di tenggorokannya.

Arak membawa kesedihan, membuatnya menjadi sedih.

He Su menatap sekeliling, memperhatikan sekitarnya yang di tata dengan menggagumkan, menyembunyikan kehancuran di baliknya. Dan penyebab semua itu adalah dirinya. He Su hanya bisa menghela napas sambil berkata, “Aku tidak mengira, kita masih bisa duduk dan minum bersama.”

Ratu bergerak, mengisi cangkir-cangkir kosong mereka.

“Kau tak pernah tahu, benarkah?” He Xia tersenyum tanpa di duga dan bertanya pada He Su, “Apa kau tahu mengapa aku mengundangmu minum?”

“Tidak tahu.”

Mereka berdua sudah saling mengenal sejak lama, dulu mereka selalu dikenal sebagai teman kecil. Tak pernah menduga situasi akan seperti saat ini. Mereka saling menatap tajam.

He Xia mengangkat cangkirnya lagi dan berkata dengan suara dalam, “Aku ingin berterima kasih padamu.”

“Berterima kasih, padaku?”

Wajah tampan He Xia seperti tertutup kabut tipis, tidak membiarkan seorangpun melihat kegetiran di matanya. “Kepada siapa lagi aku bisa berterima kasih, alasan dibalik hebatnya diriku saat ini?”

Ia benar-benar tidak menduga, saat seperti ini akan tiba.

Ia biasanya selalu lembut, romantis, riang dan terhormat, Tuan Muda Jin Anwang yang terkenal di empat negara.

Ia memiliki sebuah negara untuk dilindungi, sebuah rumah untuk pulang, ada orangtua, Pingting dan Dong Zhuo di sekelilingnya, dan dipuja oleh seluruh pasukannya. Ia sudah siap menumpahkan darahnya untuk bertarung demi Gui Li yang ia cintai.

Tapi segalanya berubah sangat cepat, tanpa sempat bernapas. He Xia tidak pernah melupakan langit malam yang terbakar merah oleh api di Kediaman Jin Anwang.

Ratu Gui Li duduk diam di kursinya. Ia bisa melihat kebencian di balik ekspresi tenang He Xia. sebuah getaran dingin mengalir di tulang belakangnya.

He Su tersenyum. Ia berkata pelan, “Apa kau membenciku karena menyingkirkan Jin Anwang? Memang benar, kau besar bersamaku dan aku menghormati Tuan Besar Jin Anwang sebagai tetua. Hari itu, demi melindungi wibawa kerajaan, aku terlalu kejam.”

He Xia berkata, “Tak perlu menjelaskan, aku mengerti.”

“Benarkah?”

“Benar, aku sangat mengerti.” He Xia menegak araknya lagi.

Arak yang pahit. Setiap cangkir yang ia tegak terasa semakin pahit.

He Su menghancurkan Jin Anwang.

Tapi dia, Tuan Muda Jin Anwang yang terhormat, menggunakan racun untuk membunuh Raja Bei Mo, mendorong pelayan kesayangannya dan istri satu-satunya menuju kematian mereka. Ia menangis ketika mendengar Yaotian, yang sedang mengandung, meninggal.

Bagaimana mungkin ia tidak mengerti?

Langit semakin gelap, ketika senja menghilang, meninggalkan sinar yang teredam di balik hutan.

He Xia mengangkat cangkirnya, bersulang pada orang yang telah menghancurkan Kediaman Jin Anwang, sungguh setiap tegukannya terasa sangat pahit.

Reruntuhan puing-puing di belakang dan sekitarnya membuat hatinya sangat rindu sampai membuatnya hampir gila. Dan semuanya itu berkat orang ini yang berada di sebelahnya saat ini, dan sedang minum bersamanya.

Karena ia tidak bisa menemukan orang lain untuk berbagi arak pahit ini, berbagi kondisi Jin Anwang yang seperti gurun ini.

Siapa lagi?

Dimana orang tuanya? Dimana Pingting?

Dan dimana istrinya yang telah menganugrahinya kekuatan militer, Yaotian?

Waktu sungguh tidak berbaik hati untuk berhenti sesaat, berlalu dalam sekali helaan napas. Malam tiba, dengan sangat cepat. Para penjaga tetap berbaris rapi ketika lilin-lilin mulai dinyalakan disekitar mereka.

Mereka berdua minum dalam diam, dan Ratu terus memenuhi cangkir-cangkir mereka.

He Su tidak pernah menoleh pada Ratu. Ia meneguk araknya tanpa ekspresi. Ketika ia menegadah menatap langit, bulan sudah melewati tengah waktu.

Ia mengeraskan hatinya, meletakan cangkir kosongnya. Ia berkata dengan ramah, “Waktunya sudah habis, lakukanlah, dengan racun atau pisau. Aku berjanji, aku bersedia bunuh diri, asalkan istri dan anakku selamat.”

Terdengar suara poci perak terjatuh, membasahi lantai dengan arak dimana-mana.

Ratu Gui  Li membeku dan tiba-tiba meratap kencang, “Yang Mulia! Yang Mulia……” ia terjatuh di kaki He Su, mengigit bibirnya yang pucat dan tak mampu menlontarkan kata-kata apapun lagi.

Ia tahu, menyerahkan diri adalah satu-satunya harapan mereka untuk selamat, tapi ia sama sekali tidak mengira suaminya akan menawarkan nyawanya demi keselamatannya pada He Xia.

Malam sebelumnya, ia merasa mereka telah berjalan di jalur yang sama, tapi sekarang dadanya serasa dihantam palu besar, begitu sakitnya hingga ia lebih memilih mati.

He Xia menatap Ratu Gui Li yang sedang menangis di kaki He Su. Sebuah kenangan samar-samar melintas di depannya, tapi segera menghilang secepat datangnya. Ekspresinya sekali lagi terlihat tenang dan dingin, “Wanita ini, telah merampas kekuatan dan membuat kekacaan dalam pemerintahan Gui Li. Wanita ini telah membuatmu kehilangan segalanya, tapi kau masih mau melindunginya. Hubungan macam apa ini, sangat tidak seperti dirimu.”

He Su mendengarkan dan memandang istrinya yang sedang menangis hebat. Ekspresinya menampilkan sedikit kehangatan ketika ia berbicara, “Aku sangat benci atas pemberontakan Le Zhen, dua atau tiga kali setelah mengurungnya di istana dingin aku ingin memberi perintah bunuh diri padanya. Sempat juga terpikir olehku sebelum menyerahkan surat penyerahan diri pada Suami Ratu Yun Chang, aku akan membunuhnya sebelum kematianku.”

He Su menghela napas panjang, dan melanjutkan, ucapannya itu entah untuk menjawab He Xia atau hanya untuk dirinya sendiri, “Surat penyerahan diriku telah ditulis dengan jelas, aku bersedia bunuh diri selama dua orang anggota kerajaan dibebaskan. Sebagai ayah, hatiku hanya untuk anakku, mengapa aku tidak bisa mengorbankan diriku Shao’er? Dan orang kedua yang ingin kulindungi, aku berpikir dan berpikir, sampai akhirnya, seseorang yang ingin kubebaskan dengan nyawaku, tetap wanita ini….”

“Yang Mulia!” Ratu menegadah sambil menangis, ia berkata sambil tercekik, “Ini salahku! Aku sungguh pantas mati!”

“Kau tidak pantas mati, Shao’er telah kehilangan ayahnya, apa ia harus kehilangan ibunya juga?” He Su tersenyum sedih. Sejak ia menaiki taktah, ia selalu di kelilingin banyak sekali wanita cantik karena ia pemegang kekuasaan tertinggi, hal itu menyebabkan sikapnya menjadi dingin pada Ratu. Tapi saat ini, ketika kematian di depan matanya, ia menyadari wanita yang selalu berada di sisinya selama ini, adalah wanita yang tak pernah ingin dilepaskan dari hatinya. Ia berkata pelan, “Kau ingat malam pernikahan kita, aku berjanji akan mencintai dan melindungimu seorang selama hidupku. Aku telah melupakan janji itu belakangan ini, tapi hari ini entah mengapa aku tiba-tiba mengingatnya kembali. Jangan menangis Ratuku, biarkan aku memenuhi janjiku.”

He Xia berdiri di samping sambil memperhatikan mereka.

Ia telah membawa kebencian dan perang kepada Gui Li, dalam perjalanannya pasukan Yun Chang telah menjadi tak terkalahkan, tidak pernah kalah dalam pertempuran satu kalipun, sampai berhasil mengepung ibukota Gui Li. Ia ingin memaksa He Su segera bunuh diri, agar ia bisa mengejek mereka sampai detik terakhir dan membiarkan hatinya tertawa.

Tapi ia sama sekali tidak menyangka, ini, bukanlah obat penyembuh sakit hatinya. Memasuki ibukota dan melihat Kediaman Jin Anwang yang terbengkalai, membuatnya menyesal dan putus asa.

He Xia hanya berdiri di samping memperhatikan He Su perlahan mengucapkan perpisahan pada istrinya, tubuh Ratu berguncang hebat. Ia berbalik dan tidak melihat seorangpun dalam pandangannya. Rumahnya yang telah hancur di hias dengan kain sutra dan saten tertulis jelas di bola matanya. angin yang kesepian tidak mau pergi.

Kebencian karena dihianati oleh dua orang itu mulai bermunculan seperti letusan gunung berapi.

“Yang Mulia tidak perlu mati. Untuk pertemanan kita sejak kecil, aku akan memberimu sebuah kesempatan.” He Xia menyeringai, “Selama salah satu dari tiga keluarga kerajaan bersedia bunuh diri, aku akan membiarkan dua sisanya tetap hidup, termasuk anda Yang Mulia.”

Ratu tidak menyangka dengan kesempatan tiba-tiba ini. Ia segera berhenti menangis, dan menatap He Xia. Ia memohon dengan tulus, “Apakah Tuan Muda Jin Anwang akan memegang kata-katanya?” kalau memang begitu, maka selama ia bersedia bunuh diri, suami dan anaknya akan dibebaskan.

He Xia tidak menjawab, He Su berkata pelan, “Ratu tidak perlu dilanjutkan, keputusan sudah dibuat, tidak perlu mengubahnya.”

He Xia tidak menyangka He Su akan begitu tegas. Ekspresi wajahnya berubah dan ia mengenggam erat pedang di tangannya sambil menyeringai.

Setiap ucapan, tindakan, dan ekspresi mereka mengingatkannya pada Yaotian. Hal itu menancap di hatinya dengan keinginan membunuh yang kuat.

“Yang Mulia,” mata Ratu memerah, ia berkata sambil masih menangis, “Tidak masalah kalau aku mati, tapi kalau Yang Mulia, bisa……..”

“Bisa apa?” He Su menatapnya, perasaan dingin tersembunyi di balik matanya. Melihat istrinya menangis sampai wajahnya penuh airmata, ia ikut berlutut, dengan lembut menyeka airmata istrinya. Ia tahu ini kesemapatan terakhirnya untuk berbicara pada istrinya, suaranya sangat lembut, “Sebagai suamimu, bagaimana mungkin aku tidak melindungimu? Dimana kau bisa menemukan seorang suami yang mampu melihat istrinya meninggal di depannya?”

He Su tidak tahu, kata-katanya seperti mengasah pisau yang menancap tepat ke jantung He Xia.

Dimana kau bisa menemukan suami yang sanggup melihat istrinya mati didepannya?

He Xia mendengarkan, kepalanya menjadi pusing seperti telah meledak, pandangannya menjadi kosong.

Tubuhna bergetar beberapa kali. Tapi ia mampu mempertahankan sikap berdirinya. Keringat bercucuran dari telapak tangannya, mengalir ke pegangan pedang yang di genggamnya. Ia menariknya keluar tanpa ragu sambil menggertakan giginya, “Berengsek kalian semua.”

He Su segera menoleh ke atas, kilau sinar pedang tertangkap matanya. Ia terlahir sebagai Putra Mahkota, meskipun ia takut pada kemampuan He Xia, ia masih seorang pria dengan harga diri penuh. Ia telah membulatkan tekad untuk menyerahkan nyawanya demi melindungi istri dan anaknya, maka ia berdiri di tempatnya sambil menutup mata, tanpa takut atau gugup, menunggu rasa sakit yang akan dirasakannya.

He Xia meganyunkan pedangnya sambil terbakar emosi. Ia melihat mata He Su terpejam, menunggu kematian dengan terhormat. He Xia menyadari, He Su harus mendapatkan lebih selain satu ayunan pedang. Tatapanya kesamping, ia melihat Ratu yang bergerak maju untuk melindungi Raja dari tusukan pedang.

Kemampuannya bermain pedang sangat ahli, ia segera mengubah arah tusukan pedangnya tanpa terlihat.

“Ahhhh!” sebuah jeritan terdengar.

He Su segera membuka matanya lebar-lebar. Ia menatap ke bawah, istrinya telah jatuh dan berlumuran darah.

“Ratu! Ratu!” He Su berlutut, memeluk istrinya di lengannya, suaranya sangat parau.

Ratu tertusuk tepat di leher, darahnya muncrat keluar seperti anak panah. Tubuhnya sudah lemas, ia tidak mungkin berkata-kata lagi. Ia membuka matanya, menatap He Su dengan penuh kasih dan memejamkannya lagi.

He Su melihat tangan istrinya terkulai dan sama sekali tidak bergerak. Ia merasa seluruh tubuhnya membeku. Perlahan ia menoleh ke atas menatap He Xia, matanya sangat merah. Ia berkata dengan sangat tajam, “Mengapa kau lakukan ini?”

Sudut mata He Xia berkedip sedikit, ekspresi wajahnya seperti ia telah kehilangan jiwanya. Tapi bibirnya mampu menyeringai, “Biar kuberitahu kau, ternyata benar-benar ada seorang suami yang menyaksikan istri mereka mati di hadapannya.”

“He Xia!” He Su berteriak dan berdiri. “Pergi kau ke neraka!” ia telah berpikir hubunganya dengan istrinya telah benar-benar berakhir, sama sekali tidak terpikir menyaksikan kematiannya di hadapannya akan menguncangnya begitu hebat. Rasa sakit luar biasa membuat akal sehatnya hilang, ia sama sekali tidak mempedulikan nyawanya lagi, dengan kedua tangannya ia menyambar He Xia, mengarahkannya ke leher.

He Xia membunuh Ratu Gui Li dengan sekali serangan. Meskipun bibirnya tersenyum dan kata-katanya sangat setajam pedangnya, sebenarnya ia sedikit mabuk, rasanya arak sudah naik ke kepalanya. Ia tahu apa yang telah ia lakukan, tapi ia benar-benar tidak siaga saat itu.

He Su melangkah cepat ke arahnya, berniat mencekiknya, meskipun banyak penjaga yang bersiaga saat itu, posisi mereka cukup jauh untuk segera menolongnya. Dengan kemampuan bela diri He Xia yang luar biasa dan pedang di tangannya, tidak mungkin He Su berhasil mendekatinya. He Xia menatap sosok gelap mendekat, ia melangkah mundur dan secara insting mengayunkan pedangnya untuk menusuk.

He Xia merasa di bangunkan dari mimpinya ketika semburan darah membasahi wajahya. Ia akhirnya melhat dengan jelas, He Su menatapnya dengan marah.

Ia telah tertusuk pedang tepat di dadanya dan segera meninggal. He Xia melepaskan genggamannya, tubuh He Su yang tertusuk pedang terjatuh di samping Ratu Gui Li.

“Suami Ratu!”

“Suami Ratu….” Para penjaganya berlarian menghampir.

He Xia melambaikan tangannya, menyuruh mereka pergi.

Di halaman Jin Anwang yang kosong, ia sendirian, berdiri.

Sepasang kekasih terbaring di kolam darah. Terlihat seperti hidup dan mati mreka telah dengan kejam di tertawakan oleh He Xia, orang yang telah mengusai empat negara.

Ia menaklukan empat negara, pasukannya tersebar di seluruh gunung dan sungai, tapi ia merasa tengah di tertawakan sepasang mayat?

Sungguh menggelikan!

“Hahahahaha……” He Xia menegadah ke atas dan tertawa keras.

Di hening malam, di seluruh penjuru Kediaman Jin Anwang terdengar gema tawa tersebar.

Pasangan?

Bukankah pasangan ini saling membenci satu sama lainnya? Jika tidak mengapa mereka mengacaukan negara sehingga Gui Li hancur dengan sia-sia.

“Aku berpkir, kalau Kediaman Jin Anwang tidak hancur, apa Yaotian masih cukup diberkati untuk mejadi istrimu?”

Suara lembut yang sangat akrab terdengar, He Xia segera berbalik, tapi tak ada apapun.

Dulu, senyumnya seperti bunga, tangannya yang ramping menyingkap tirai manik-manik, dan sepasang matanya menatapnya dengan penuh cinta.

Ia selalu naik kereta, diam-diam menangis, berada di aula utama, duduk dengan anggun, dan selalu datang ke Kediaman Suami Ratu untuk menemaninya ketika ia minum arak, atau menyaksikan tarian-tarian….

Aku sungguh ingin melupakan semuanya.

Melupakan segalanya.

Sampai tak ada kenangan yang tersisa!

He Xia bergetar ketika menatap mayat He Su dan Ratu. Udara berat membuatnya tak bisa menegakkan punggungnya, atau jatuh berlutut.

Ia membungkuk karena perasaan sakitnya, menyembunyikan matanya dengan wajahnya.

Tak bisa melupakannya, ia sungguh-sungguh tak bisa melupakannya.

Kediaman Jin Anwang yang sudah hancur di hadapannya, setelah melalui kemenangan hebat. Tak ada seorangpun yang berdiri di sampingnya, tak ada yang bergembira untuknya dan tidak ada yang merasa menyesal juga untuknya.

Saat inilah, ia akhirnya menyadari betapa ia sangat merindukan Yaotian.

Ia berpikir kalau istrinya hanyalah alat untuk mendapatkan kekuatan, yang telah meninggal ketika mengandung anaknya. Ia tidak menyadarinya sampai saat ini betapa ia selalu sangat merindukan Yaotian.

Ketika ia menerima wewenang penuh atas kekuasaan Yun Chang, penderitaan di hatinya begitu kuat sehingga ia mati rasa.

Gembok.

Gembok itu terpasang di pintu ketika Yaotian menangis.

“Tidak, tidak, aku tidak mau tabib. Aku mau Suamiku…. Suamiku……”

“Cepatlah, cari seseorang untuk memanggil Suamiku. Buat dia datang kemari…..”

“Luyi, aku ingin melihatnya…. Aku tidak akan bertahan, aku ingin melihatnya. Cepatlah, ia tidak akan bida melihatku lagi…..”

Tubuh He Xia mulai bergetar.

Gembok, gembok.

Gemboknya terpasang di pintu.

Gembok berat itu, mengunci ruangan lain, mengunci kebencian yang sangat kuat.

Buka, buka. Itu hanya sebuah gembok. Hanya sebuah pintu kayu. Tapi di dalamnya ada istri dan anaknya yang belum lahir.

“Buka! Buka gemboknya! Cepatlah, hancurkan gembok itu, hancurkan!” He Xia memegang kepalanya sambil berteriak, wajahnya yang tampan terlihat kesakitan.

Ia telah mendapatkan empat negara. Sedikit saja isyarat tangan darinya maka akan menjadi perhatian penuh semua pihak. Ia bisa saja membuat dirinya sangat sibuk, tapi tetap saja tidak mampu menghalau kesepian dan kesunyian yang mematikan di dalam hatinya.

Semua orang telah meninggalkannya.

Dimana rumahku?

Dimana orang yang kucintai?

Suara Yaotian menjelang kematiannya bergema disekitarnya, memaksa masuk ke telinganya.

“Buka pintunya………. Buka pintunya! Seseorang, tolong buka pintunya!”

“Suami Ratu? Suami Ratu?”

Terdengar suara seseorang berkata, He Xia segera menegadah, tatapannya mulai menyatu kembali.

Orang yang berdir di hadapannya dengan hati-hati memperhatikan ekspresinya, “Gembok apa yang Suami Ratu bicarakan? Ak akan segera melakukannya.”

Pengawal pribadinya yang terpercaya.

He Xia memandangnya dengan bingung, akhirnya ia kembali pada kenyataan. Ia menghela, menengakkan punggungnya. Tatapannya jatuh kembali pada mayat pasangan Raja dan Ratu Gui Li yang telah kaku dan darah mereka yang mengenang telah membeku di tanah. He Xia meperthatikan aliran warna merah, ekspresinya menjadi dingin ketika ia berkata “Bunuh dia.”

Si prajurit menatapnya dan jantungnya bergetar. Ia menunduk dan menatap mayat yang telah dingin, ia berkata pelan, “Melapor pad Suami Ratu, orang ini sudah mati.”

“Bukan,” Wajah He Xia sangat putih pucat. Ia membelakkan matanya dan ternsenyum sedih, “Pergi, bunuh anak He Su, Pangeran Gui Li. Tidak ada seorangpun anggota keluarga kerajaan yang dibebaskan.”

Ekspresinya sangat mengerikan bahkan si prajurit menjadi kaku mendengar perintahnya. Selama percakapan, ia mendengarkan kalau He Xia mengatakan pada He Su, ia bersedia membebaskan dua anggota keluarga kerajaan lainnya selama He Su bersedia bunuh diri. Sekarang setelah Raja dan Ratu Gui Li mati, apa gunanya membunuh pangeran kecil yang tidak berdaya?

“Suami Ratu, Pangeran kecil Gui Li, bukankah Suami Ratu mengatakn…..”

“Aku berkata apa?” He Xia menggerutu, “Beraninya kau, tidak mematuhi perintahku? Pengawal, bawa ia pergi, pukul dua puluh kali dengan tongkat!” setelah seorang prajurit datang dan membawanya, ia memanggil yang lainnya, dan memerintahkan lagi, “Pergi bunuh Pangeran Gui Li, cepat! Aku tidak mau anak He Su hidup.”

Ia sudah mendapatkan dunia. Megapa ia harus membiarkan anak musuhnya hidup? sedangkan darah dagingnya sendiri harus mati?

Anak He Su sudah di kurung sejak lama, maka tidak sulit untuk membunuhnya.

Segera, si penjaga sudah kembali untuk melapor, “Suami Ratu, Pangeran Gui Li, He Shao, sudah di bunuh.”

He Xia mendengarnya tanpa rasa gembira sama sekali. Ia hanya berkata, “Benarkah?” ia berdiri diam lama sekali di tengah angin yang berhembus, di belakangnya para penjaga berdiri di sekelilingnya. Semua orang menatap punggungnya dengan diam, dan sikap hormat di mata mereka.

Seburat rasa sakit menyerang hati He Xia. Ia berkata pelan, “He Su setuju untuk bunuh diri, tapi ia mengubah keputusannya di saat terakhir. Ratu juga bersikeras menentang, mereka berdua berniat membunuhku. Karena itu, aku membunuh anak mereka.” Ia teringat pengawalnya yang sebelumnya, dan bertanya, “Dimana Tongcheng?”

“Melapor pada Suami Ratu, sesuati perintah Suami Ratu, ia telah di pukul sebanyak dua puluh kali dengan tongkat militer. Ia sedang berlutut di luar, menunggu perintah selanjutnya.”

He Xia menjawab, “Berikan pengobatan padanya, biarkan ia beristirahat dua hari agar ia benar-benar pulih.”

Menatap Kediaman Jin Anwang yang sepenuhnya terasa asing saat ini, ia menghela napas berat sekali.

--
Sasaran telah di tetapkan, Kota Qierou. Setelah menunggu selama sepuluh hari, Chu Beijie akhirnya tiba.

Para Jendral sedang membahas beberapa masalah di dalam tenda, tiba-tiba Luoshang masuk dan berkata dengan semangat, “Hua Can dari Bei Mo telah tiba.”

Semua orang yang mendengarnya menjadi gembira, “Tolong disambut.”

Kata-kata itu belum selesai di ucapkankan ketika Hu Can masuk sambil berbalut debu tebal. Ia salah satu Jendral muda yang diangkat oleh Ruohan setelah Ze Yin pensiun. Meskipun ia kalah dalam pertempuran Zhuoqing, tapi semangatnya sama sekali tidak berkurang. Dan meskipun wajahnya agak gelap, tapi matanya penuh sinar semangat. Ia memperhatikan orang-orang di dalam tenda dan matanya jatuh pada Ruohan, “Panglima,” ia menunjukan sikap bawahan yang patuh pada Ruohan, “Aku segera berangkat begitu menerima pesan rahasia anda. Semangat juang Bei Mo sedang meningkat, banyak sekali orang-orang yang menemukan tempat perekrutan rahasia kita.”

“Tidak perlu langsung melapor, biar aku perkenalkan pada semua yang ada disini.” Ruohan sangat senang melihat bawahannya. Ia menunjuk satu per satu pada Jendral sampai akhirnya tiba pada Chu Beijie, “Dan ini adalah Panglima Zhen Beiwang.”

Hu Can menatap Chu Beijie, ada sikap berhati-hati dan hormat di matanya.

Chu Beije tahu, tidak akan mudah memimpin kelompok, yang sebelumnya adalah musuh-musuhnya. Jadi ia sama sekali tidak terganggu dengan ekspresinya. Ia mempelajari Hua Can dan bertanya, “Berapa banyak yang kau bawa kemari?”

Hua Can masih agak sulit melapor pada Chu Beijie, ia menatap Ruohan sebelum menjawab “Pangkala kami di Bei Mo telah mengumpulkan cukup banyak. Khawatir telinga dan mata pasukan Yun Chang bisa mengenali kami dalam perjalanan, aku hanya membawa beberapa ribu orang. Sebagian besar masih pendatang baru, belum berpengalaman sama sekali di medan pertempuran, tapi aku bisa menjamin mereka semua sangat berbakat.”

Pingting, setelah mendengar kedatangan Hua Can hatinya berdegup kencang sekali. Dari samping Chu Beijie ia bertanya, tak mampu menahan rasa penasarannya lagi, “Apa kau mendengar kabar dari Yangfeng?”

Mata Hu Can beralih dan ia melihat sosok wanita sedang berdiri disamping Chu Beijie. Meskipun wanita itu terlalu cantik, tapi ia memiliki pesonanya sendiri. Ia segera menebaknya dan menjawab pertanyaannya dengan hormat, “Aku sudah mengirim orang untuk mendatangi tempat yang diberitahukan dan kami menemukan Nyonya panglima Ze Yin.”

Sejak Pingting membantu Bei Mo melawan Dong Lin, para Jendral Bei Mo sangat menghormatinya, maka sikap Hua Can bisa lebih santai padanya dibanding pada Chu Biejie.

Pingting bertanya lagi, “Apa mereka semua baik-baik saja? Ketika Yangfeng membaca suratku, apa ia mengatakan sesuatu?”

Hua Can tersenyum, “Nyonya Panglima berkata, semua orang memiliki pandangannya sendiri, jadi ia hanya bisa menolak permintaan Nona Bai yang mengharapkannya untuk bersembunyi dengan aman di gunung.”

Pingting terkejut. Ia menatap Hua Can yang tersenyum. Dan ia tiba-tiba menyadarinya, lalu dengan pelan dan gembira berkata, “Ia membawa anak-anak kemari!”

Beberapa lusin burung dara tiba-tiba mengepakan sayap mereka dan berterbangan dari hatinya, terbang sambil menyebarkan wangi lembut ke segala arah.

Yangfeng datang. Yangfeng yang selalu membenci perang dan menghindarinya, benar-benar datang kemari.

Dimana anak-anak?

Changxiao, Changxiaoku

Pingting segera berlari keluar. Begitu ia berada di luar, ia segera berhenti, lalu berbalik masuk ke dalam dan menarik tangan Chu Beijie, keluar lagi.

Pingting selalu tenang, tapi sekarang ia sangat bersemangat luar biasa dan sulit bagi Chu Beijie untuk memahaminya. Tpai karena Pingting yang berinisiatip menarik tangannya, ia sama sekali tidak berniat menolaknya. Ia membiarkan dirinya di tarik keluar tenda sambil bertanya, “Apa ini untuk menyambut Yangfeng?” dengan sekali kepakan tirai tenda, dua orang itu menghilang dari pandangan.

Para Jendral yang menyaksikan mereka berdua menghilang, sangat terkejut dan penasaran.

Hua Can berdiri diam sesaat, lalu menoleh pada Ruohan dan menghela napas, “Nona Bai ini memang luar biasa, aku ingin membuatnya penasaran, tapi ia segera menebaknya dengan tepat.”

Suasana hati Ruohan juga sedang bagus. Ia menepuk pundak Hua Can sambil tertawa, “Sayang sekali, kau tidak melihatnya ketika pertempuran di Kanbu.”

Lalu ia pergi bersama Hua Can untuk menemui prajurit baru, yang datang bersamanya untuk memberi mereka makan dan air. Beberapa dari mereka sedang beristirahat dan sebagian tertidur.

Pinting membawa Chu Biejie bergegas ke jalan masuk. Ia segera mencari Yangfeng yang seperti angsa di antara kerumunan anak ayam. Meskipun ia terlihat sangat lelah, tapi kecantikannya tak pernah berkurang.

Yangfeng juga telah melihat Pingting dari kejauhan. Ia melambaikan tangan padanya, “Pingting.”

“Yangfeng.” Pingting berteriak dengan gembira. Ia melepaskan Chu Beijie dan menggenggam tangan Yangfeng meremasnya.

Ia memperhatikan Yangfeng dari bawah sampai ke atas. Meskipun ia tidak mengatakannya, sinar kegembiraan terpancar di kedua matanya. Mereka berdua berpegang tangan dan saling memperhatikan satu sama lain, lalu Pingting memecah kesunyian, nada suaranya menegurnya, “Kau benar-benar tidak mematuhiku, kau seharusnya berlari jauh dari para prajurit dan senjata. Disini sungguh berbahaya.”

“Kau sendiri tidak membiarkan dirimu diam saja tak berguna, bagaimana mungkin kau meminta orang lain seperti itu? Aku juga harus melakukan hal yang paling ingin kulakukan, itu saja, datang ke kamp pasukan dan menyaksikan sendiri seperti apa kekacauan ini akan berakhir.” Ekspresi Yangfeng lebih mantap dari pada biasanya, ia tersenyum sedih, “Aku pernah bilang bukan, aku sendiri akan menjadi saksi mata ketika kata-kata suamiku menjadi kenyataan.”

Ekspresi ini, tak pernah diperlihatkan Yangfeng sebelumnya, perasaannya atas kehilangan Ze Yin.

Pingting hanya bisa menghela napas sambil terkejut. Ia berkata pelan, “Anak-anak?”

Yangfeng belum sempat menjawab, ketika sebuah kepala kecil muncul di belakang Yangfeng sambil tersenyum lebar, “Bibi!”

“Ze Qing, kau menjadi lebih tinggi.” Pingting mengusap kepalanya dengan lembut, tatapannya tak bisa berhenti mencari.

Yangfeng tahu siapa yang dicari Pingting. Ia mengatupkan bibirnya dan tersenyum, “Kau tak perlu mencarinya, ia disana.” Yangfeng menunjuk ke belakang Pingting.

Anak-anak sungguh tumbuh dengan cepat, rasanya belum terlalu lama tapi Changxiao sudah tumbuh begitu besar dan lebih nakal daripada Ze Qin. Ia baru saja tiba dan sama sekali belum mengenal tempat barunya tapi sudah penasaran tentang banyak hal. Ia tidak menyadari ibunya sudah berada di dekatnya dan terselip di belakangnya, tapi kemudian ia tertarik pada suatu benda yang terasa akrab.

“Pedang…pedang…..”

Changxio memiliki ingatan yang kuat. Ia pernah memainkan benda bersinar itu yang mengakibatkan Ze Qin dipukuli oleh Yangfeng. Ia mengenalinya ketika pertama melihatnya dan menempel pada kaki Chu Beijie tanpa takut sama sekali. Ia mencoba meraba pedang itu dari pinggang Chu Beijie.

Chu Beijie menundukkan kepalanya dan melihat benda hidup kecil itu berusaha memanjat tubuhnya dari kakinya dan kemudian menatapnya. Benda kecil hidup itu memiliki bola mata hitam sejernih Kristal dan sedang berusaha mencuri pedang berharganya dari pinggangnya. Ia sama sekali tidak takut pada Panglima Zhen Beiwang yang bahkan tak ada seorangpun yang berani meletakan seujung jaripun padanya.

Anak kecil ini sungguh memiliki keberanian hebat.

Dulu, bahkan kakaknya sendiri tidak berani memanjat dirinya dengan begitu terang-terangan.

Chu Beijie perlahan memperhatikan benda kecil hidup itu. Hidungnya sangat mancung dan lurus, matanya memperlihatkan sifatnya yang keras kepala, semakin diperhatikan ia semakin menyukainya. Ia tiba-tiba teringat tetang darah dagingnya bersama Pingting yang telah ditelan takdir, mengakibatkan gelombang rasa sakit menerpa hatinya.

Ia sama sekali tidak menduga, anak kedua Ze Yin sudah bisa berjalan.

Ia merasakan kecemburuan hebat di hatinya.

Ia sebenarnya tidak pernah benar-benar menyukai anak-anak, tapi kali ini hatinya melunak. Ia mengangkat Chanxiao dari kakinya dan mengusap pipinya yang tembem. “Sungguh anak lelaki yang nakal, mengapa kau tidak mematuhi perintah ibumu?”

Changxiao yang sedang senang bermain tiba-tiba teringat. Ia menengok ke kanan dan kiri mencari-cari, dan akhirnya ia menemukannya. Dan segera berteriak, “Mama!”

Suara yang manis dan lembut terdengar ketika ia melambaikan kedua tangannya kearah Pingting dan Yangfeng. Ia segera dengan susah payah turun dari lengan Chu Beijie.

Chu Beijie menyadari ia tidak ingin melepaskannya, maka ia mengikuti tatapan anak itu kepada Yangfeng dan Pingting dan menoleh kepada mereka.

Pada akhirnya, insting seorang ibu selalu mendahulukan anaknya. Mendengar suara Changxiao memanggil, hati Pingting seperti tali yang dikencangkan kembali karena agak kendur, setelah ia agak tenang karena sebelumnya terlalu bersemangat. Ia tidak bisa menahan emosinya lagi, airmatanya mengembang di matanya ketika ia berjalan mendekati Chu Beijie. “Chanxiao, Changxiao, aku sungguh ingin bertemu denganmu.” Matanya sangat lembut ketika ia berguman dan airmatanya mengaliri pipinya.

Changxio sepertinya belum mengerti perpisahan. Melihat ibunya, ia bergoyang-goyang dan tertawa lebar di dalam pelukan lengan ibunya.

Di sisi lain, Chu Beijie berdiri seperti batu, mendengarkan Changxiao berada di lengan Pingting sambil memanggilnya ‘Mama’.

Sebuah pelangi tiba-tiba muncul, menghias di awan di dalam kepalanya, berwarna-warni ceria. Pertama muncul satu warna, lalu warna kedua, dan ketiga…….

Tak terhitung warna mulai berputar, mengelilingi sosok dewasa dan anak-anak di depan matanya. Kelembutan dan kehangatan yang ia rasakan saat itu begitu indah dan ia sama sekali tidak berani percaya kalau semua ini adalah kenyataan yang sebenarnya.

Pingting mengendong Changxiao ketika berbalik, ia menatap Chu Beijie kemudian menunduk dalam-dalam, ekspresinya seperti meminta maaf. Ia berbisik, “Tuan, ini Changxiao.”

Meskipun ucapan itu sangat pelan, tapi terdengar seperti melodi dari langit. Chu Beijie tahu ia tak akan pernah melupakan kata-kata itu. Panglima Zhen Beiwang yang hebat ini hendak menyemburkan airmatanya yang tak terbendung saat ini juga, di hadapan kerumunan orang begitu banyak.

Changxiao, ini Changxiao.

Anak Pingting.

Anaknya juga!

Tubuh Chu Beijie seperti hendak melayang ke atas langit. Ia memandang lebar-lebar kepada ibu dan anak yang berbahagia di depannya. Ia tidak berani membuat ekspresi apapun agar emosi yang ia rasakan tidak terpancar keluar, airmata bahagianya sungguh tidak dapat ditahannya lagi.

Anak kecil ini, sungguh anak Pingting dan dirinya….

Meskipun ia telah berusaha berkali-kali, mengemukakan masalah ini, ia terlalu berbahagia untuk mengatakan apapun.

Pingting melihatnya terdiam sehingga Pingting memandangnya dengan bertanya-tanya.

Changxiao berbalik untuk ikut melihat wajahnya, dan memandang pedangnya lagi. Ia dengan ceria berteriak, “Pedang-pedang!” dan ia meraih untuk pindah ke pelukan Chu Beijie.

Yangfeng yang sedang mengendong Ze Qing tersenyum melihat pemandangan itu.

Tenggorokan Chu Beijie sangat kering dan serak, banyak lagu kegembiraan meraung seperti gelombang. Sepertinya ia hendak melompat ke atas dan melepaskan api yang membakarnya di hatinya ke udara. Tapi tubuhnya sulit di gerakan, sehingga ia tetap terpaku di tempatnya.

Lalu akhinya, beberapa kata dengan sangat susah payah berhasil dilontarkan dari tenggorokannya yang serak, “Tunggu sebentar.”

Pingting dan yang lainnya terkejut melihat Chu Beijie tiba-tiba berlari kencang ke dalam tenda terdekat. Begitu ia masuk, prajurit yang di dalam segera berlarian keluar, mereka semua terlihat binggung, sepertinya Chu Beijie telah mengusir mereka semua.

Yang berada di luar mengerumuni tenda. Tiba-tiba terdengar suara keras membelah angin.

Fwaah, fwaaahh………

Bahkan setelah beberapa tenda di depannya, suara keras itu masih terdengar jelas dan berkelanjutan.

Panglima Zhen Beiwang sepertinya sedang menggerakkan pedangnya dengan berlebihan.

Kain tenda yang tebal itu bergoyang, seperti akan terbelah sewaktu-waktu.

Setelah beberapa saat, suara gerakan pedang berhenti. Dan udara seperti ikut berhenti mengalir. Flap! Tirai masuk tenda terangkat, orang-orang yang berkerumun menunggu dengan penasaran.

Chu Beijie penuh keringat ketika ia berjalan keluar. Tangannya memegang pedang ‘Semangat Langit’ dan tatapannya sangat tajam. Panglima Zhen Beiwang yang hebat dan penuh percaya diri telah pulih, tapi mata merahnya mengatakan sesuatu.

Ia berjalan menuju Pingting, dan menatap Changxiao. Ia mengambil Changxiao dari tangan Pingting dan memeluknya, “Anak baik, panggil Papa.”

Changxiao biasanya keras kepala ia biasa tidak sepenurut ini. Mungkin karena ikatan darah, sangat tidak terduga ia menurut. Ia sungguh-sungguh memanggilnya dengan riang, “Papa.” Lalu ia menatap kebawah dan memainkan mantel Chu Beijie.

Chu Beijie merasa hatinya penuh kegembiraan mendengar kata ‘Papa’. Ia juga merasa tenggorokannya tersumbat ketika ia memeluk Changxiao dengan erat. Tubuh yang kecil dan lembut itu terasa ringan, ia merasa sebaiknya tangannya terbiasa dengan pedang tidak sebaiknya menyentuh benda hidup kecil ini atau ia akan remuk.

Begitu rapuh dan sungguh membuat sedih.

Tapi mahluk kecil rapuh ini yang memanggilnya dengan lembut ‘Papa’, yang membuatnya lebih percaya diri dibanding senjata paling tajam ataupun sepasukan yang sangat kuat. Hidung Chu Beijie terasa sakit, kegembiraan menjadi seorang ayah membanjiri hatinya. Semangatnya yang tinggi membuatnya tertawa lepas.

Siapa di dunia ini yang lebih beruntung dari pada dirinya?

Tak ada apapun di dunia ini yang bisa menggantikan suara lembut atau senyuman Pingting.

Chu Beijie tertawa lama sekali. Ia begitu bahagia sampai ingin menangis lagi, tapi ia mampu mengendalikan dirinya. Dan berkata pada Pingting dengan pelan, “Anak panah pembalasan ini, sangat menyakitkan.” Suaranya penuh keputusasaan.

Semua penderitaan Pingting yang telah dilaluinya lagi-lagi berkelebat di depannya. Melihat Chu Beijie begitu gembira, Pingting merasa amat bersalah. Ia menundukan kepalanya lagi dan berkata dengan suara kecil, “Bagaimana Pingting bisa mengatakannya, kalau Tuan tidak bertanya? Tapi Pingting juga sangat keras kepala tentang hal ini, Tuan jangan marah, Pingting akan menerima hukuman apapun, okay?”

Chu Beijie menajamkan matanya ketika menatap Pingting, seperti menggunakan matanya untuk memegangnya, agar Pingting bisa terus tersembunyi di dalamnya.

Marah?

Ia merasakan Déjà vu.

Angin di perkemahan bertiup kencang, mengembalikan mereka pada lembah di bukit tiga burung layang-layang. Hari itu, para pemanah mengepung mereka dari segala arah, bersiap menembak. He Xia telah bersiaga diatas, terlihat anggun ketika mereka memaksanya membuat perjanjian damai lima tahun.

Hari itu, ia berada di atas kudanya dan Pingting dalam pelukannya.

Hari itu, ia sangat marah, benar-benar marah.

Hari itu pertama kalinya ia merasakan patah hati, pertama kali ia menyadari kalau ia sungguh-sungguh mencintai seorang wanita, pertama kalinya ia melangkahkan kakinya di jalan yang berliku ribuan.

Cinta dan benci, kegembiraan dan kesedihan, keduanya saling bercampur aduk. Ia tak bisa membedakan rasanya, dan berusaha mengambil yang terbaik darinya.

Tidak, ia tidak lagi marah pada apapun.

Bagaimana ia bisa marah? Ia sudah memiliki begitu banyak.

Chu Beijie memeluk Changxiao dengan sebelah lengannya dan tangan yang lain menyentuh pipi mahluk kecil itu. Lalu lengan itu memeluk Pingting dan berharap waktu akan berhenti sejenak.

Pingting dipeluk oleh lengannya yang kokoh dan mendongak untuk menatap Chu Beijie dan begitu senang memeluk anaknya yang imut. Di masa lalu, pemandangan ini hanya bisa dilihat dalam mimpinya tapi saat ini semua itu menjadi nyata. Matanya menjadi panas.

Ia mengigit bibirnya, dan berkata dengan berbisik, “Tuan tidak marah lagi?”

“Apa Nyonya sudah tidak marah lagi?” Chu Beijie tersenyum mengejek, “Kau memalsukan kematianmu, dan sekali lagi memalsukan hal lainnya lagi, jadi kurasa aku sudah cukup menderita. Tolong, Nyonya berbelas kasihlah, jangan hukum aku lagi. Atas kesalahan yang telah aku lakukan di masa lalu, tolong dimaafkan.”

Pingting terlalu malu untuk menatap Chu Beijie, tapi ia tertawa kecil. Ia mencengkram lengan Chu Beijie dengan lebih erat dan berkata, “Tuan, banyak orang berdiri disekeliling kita.”

“Lantas kenapa?” Chu Beijie lalu memandang kesekitarnya dan tertawa lagi, “Biar mereka tahu satu hal, mereka sebaiknya tidak melawan wanita yang mereka cintai.”

Benar sekali.

Wanita selalu menghukum pria yang mereka cintai.

Mereka selalu hanya memikirkan kekasih mereka, dan mereka juga bersedia menderita putus asa dan patah hati demi kekasih mereka.

--00--

Home


novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia