Warna
merah matahari, naik dari timur ibukota.
Sinar
terang mengantikan cahaya bulan yang lembut, menandakan fajar. Seperti hendak
mengejek hati orang-orang yang sedang bersedih. Ibukota Yun Chang, bendera
berkibar di tiup angin, seperhti hari-hari biasanya.
Di
dalam pengepungan ketat.
Setelah
hari ini, kemewahan dan kemegahan Gui Li akan menghilang.
Dibawah
kemilau pedang prajurit Yun Chang, gerbang kota yang berat itu mulai terbuka
perlahan.
Raja
Gui Li, He Su, membawa Ratu dan para pejabat penting lainnya di belakangnya.
Mahkota telah di turunkan dan sepatu di lepaskan, ketika mereka berjalan keluar
dari gerbang. Tapi langkah mereka terhenti ketika para prajurit maju mengepung
mereka dari dua sisi. Banyak sekali sosok-sosok yang duduk berlutut, sambil berusaha menahan
tangis, mereka adalah para penduduk Gui Li.
Negara
telah hancur.
Segalanya
telah berakhir.
Kediaman
Jin Awang hangus terbakar api, malam itu, berita pemberontakan Tuan Besar Jin
Awang tersebar cepat begitu juga pelarian mereka dari ibukota. Hari ini, Tuan
Muda Jin Anwang telah kembali, tapi negara mereka telah berakhir.
Di
sisi luar ibukota Gui Li, He Su berdiri di hadapan prajurit Yun Chang. Tanpa
mempedulikan statusnya yang tinggi, ia berlutut di depan musuhnya.
“He
Su sungguh berdosa, gagal memimpin Gui Li, membuat rakyat menderita. Sejak
jaman dulu, harta berharga hanya di berikan kepada yang memiliki kemampuan, He
Su dengan rendah hati memberikan segel penguasa Gui Li kepada Suami Ratu Yun
Chang sebagai tanda penyerahan diri.”
Suaranya
tenang, setiap kata di ucapkan seperti melilit tengorokannya. He Su memegang
segel pusaka dengan kedua tangannya, perlahan mengangkatnya ke atas kepalanya
ketika menyerahkannya.
Pusaka
negara lebih penting daripada emas.
He
Su ketika berlutut menyerahkan segel dari atas kepalanya, tangannya bergetar
sedikit.
Sama
sekali tidak pernah terlintas di pikirannya, Gui Li yang besar ini akan hancur
di tangannya.
Selama
saat-saat terakhir ketika ayahnya sekarat, ia memperingati dengan diam-diam dan
sungguh-sungguh, “Kau harus sangat berhati-hati untuk segala masalah yang
berhubungan dengan Keluarga Jin Anwang.”
Ia
sudah sangat berhati-hati, ia segera menyusun rencana begitu menaiki taktah. Setiap
tindakan, peralatan, orang-orang dilapangan, semuanya sudah diperhitungkan
matang-matang untuk menghanguskan Kediaman Jin Anwang sampai helai rumput
terakhir. Ia sangat menekankan dan memperingatkan berkali-kali untuk membunuh
Tuan Besar Jin Anwang beserta istri, dan meninggalkan He Xia seorang diri.
Sungguh
ironi, hari ini, ia baru menyadari apa maksudnya ‘Sangat berhati-hati’.
Ratu
dan para Pejabat menjadi pucat, semua orang terlihat sudah kehilangan jiwa
mereka, ketika mereka berlutut di belakang He Su.
Pasukan
Yun Chang berbaris rapi dan diam, senjata mereka berkilau tajam.
Ekspresi
He Xia sepertinya sangat bersemangat dan segar. Sebelah tangannya menggenggam
pedang di pinggangnya sambil menatap ke bawah dari kudanya, memperhatikan segel
tanpa emosi. Sudut bibirnya terangkat, “Bereskan benda ini.”
Salah
seorang prajuritnya yang dipercaya menjawab, “Baik.” Ia turun dari kudanya dan
menghampiri.
He
Su hanya bisa merasakan berat di tanganya terangkat, dan menyadari segel
pusakanya telah di genggam oleh orang lain. Dan sekarang ia benar-benar
merasakan kalau negaranya sudah bukan miliknya. Tenaga di tubuhnya menghilang
dan ia hampir pingsan.
Negara
sudah jatuh, bagaimana ia menemui para leluhurnya nanti?
Tapi
seberapa kecewanya dia saat itu, tak mungkin ia tidak peduli dengan situasi
saat ini, penentuan hidup dan mati orang-orang yang turut berlutut di
belakangnya. Di hadapan He Xia, ia hanya bisa berlutut dan menunduk sambil
menahan sakit hatinya. “Suami Ratu dan pasukannya, silakan memasuki ibukota.
Istana telah di kosongkan, siap untuk di gunakan.”
He
Su merasakan perasaan aneh di punggungnya, ia tahu He Xia duduk di atas kudanya,
memperhatikan dirinya sedang merendah.
Setelah
beberapa saat, ia mendengar suara yang terdengar akrab di atas kepalanya, pelan
bersuara, “Dulu, ketika kita belajar bersama. Guru pernah berkata - Raja dari
negara yang telah dikalahkan jika hendak menunjukan ketulusan hatinya, ia
sendiri dengan rendah hati melayani si pemenang, menuruti segala perintanya
meskipun sangat kasar dan tidak sopan. Aku ingin tahu, apakah Yang Mulia
sungguh berniat tulus pada He Xia?”
Para
Pejabat Gui Li saling berguman di belakang, membuat ekspresi He Su menjadi
kacau.
Kenangan
saja tidak cukup, ini adalah pembalasan atas dendam yang sudah meresap sampai
ke akar. Sepertinya He Xia tidak hanya menginginkan nyawanya saja tapi juga
hendak mempermalukan dirinya di depan orang-orang dengan cara yang bisa
dipikirkannya.
He
Xia seperti belati. Dan aku seekor ikan. Kematian saja benar-benar tidak cukup,
tapi…
Tinju
He Su terkepal kencang di balik lengan bajunya. Ia menundukan kepalaya dan
menggertakan gigi-giginya, “Tolong ijinkan He Su, menyambut Suami Ratu di dalam
ibukota untuk menunjukan kerendahan hati.”
“Yang
Mulia..” Ratu berbisik dari belakang, sambil mulai terisak.
Dan
para Pejabat yang lain mulai menangis.
“Jangan
berkata lagi.” He Su menyela ucapan Ratu, menahan penghinaan. He Su berdiri, ia
melangkah seperti melewati duri, perlahan mendekati He Xia selangkah demi
selangkah sampai mendekati tali kekang kuda He Xia.
Sebelum
He Su sempat menyentuhnya tiba-tiba sesuatu berkelebat di depannya,
menghentikannya. Sepertinya sebuah cemeti.
He
Su mendonggak ke atas, tidak mengerti, ia hanya berpkir ini salah satu cara
untuk membuat hidupnya lebih sulit lagi.
He
Xia berkata dengan dingin lagi, “Meskipun aku sangat membencimu, sudah cukup.”
Ia menaikan tangannya dan berkata lantang, “Masuk kota! Kita tidak menuju
istana, hanya mampir ke Kediaman Jin Anwang.”
“Masuk
kota!”
“Masuk
kota!”
“Masuk
kota….”
Kata-kata
itu dilanjutkan dari prajurit ke prajurit. Suaranya semakin tendengar kencang
dan seperti gema yang tak henti-hentinya.
Pasukan
Yun Chang perlahan mulai begerak memasuki ibukota Gui Li seperti hewan buas
yang baru saja bangun dari tidurnya.
He
Xia duduk di atas kudanya, diikuti bendera kerajaan, dikelilingi oleh para
prajuritnya. He Su beserta para Pejabat dan yang lainnya mengikuti di belakang
dengan sakit hati.
Begitu
memasuki ibukota, perasaan akrab dan asing menyerbu He Xia. Tempat kuno ini,
tempat ia tumbuh besar, bermain di gang-gang kecil dan berkuda dengan riang di
jalanannya.
Gui
Li, Kediaman Jin Anwang di Gui Li, Tuan Besar Jin Awang dari Gui Li.
Pemain
kecapi terbaik Gui Li, Yangfeng dan Bai Pingting.
Mengapa
sampai seperti ini?
Tak
ada yang mengerti bagaimana perasaan He Xia.
Ini
pertama kalinya ia memasuki ibukota Gui Li secara resmi setelah Kediaman Jin
Anwang runtuh.
He
Xia sudah memenuhi sumpahnya untuk balas dendam, tapi entah mengapa, rasa sakit
itu sama sekali tidak terpuaskan dan rasa kehilangan yang dulu dirasakannya
tidak tersapu bersih.
Ia
telah mendapatkan ibukota Gui Li. Tapi di ibukota sudah tidak ada lagi Kediaman
Jin Anwang, tidak ada lagi senyum kedua orangtuanya, tidak ada ada Pingting.
Hanya tersisa He Su, yang telah menjadi musuhnya selama sisa hidupnya.
Setelah
berhasil membalas dendam dan memenangkan sebuah negara, tak ada seorangpun
untuk dikabari tentang berita besar ini?
Bahkan
Yaotian sudah tidak ada lagi disini.
Suara
langkah kaki kuda terdengar sekali lagi, membawa si penunggangnya kembali ke
rumah. Ketika ia berhenti, bunga-bunga seperti mulai menangis dan burung-burung
berterbangan, menyisakan bangunan yang habis terbakar.
“Setelah
Kediaman Jin Anwang hancur terbakar, tempat ini sepenuhnya ditinggalkan.”
He
Xia berguman sambil memandang lama bagian yang dulunya berdiri pintu masuk yang
megah. Dan akhirnya ia melangkah maju, perlahan, menaiki undakan, melewati
ambang pintu kediamaannya.
Kenangan
masa lalu berkelebat di kepalanya, pelayan yang hilir mudik dan para tamu yang
berdatangan.
Ayahnya
berada di ruang utama, berdiskusi masalah politik dengan para Pejabat,
sedangkan ibunya dikelilingi para pelayan berbincang tentang hal-hal menarik
dan berbincang gosip seputar istana. Biasanya, He Xia bergegas masuk dari luar
ruangan, dan ibunya segera berdiri dari kursinya, berkata dari balik tirai,
“Xia’er meskipun kebanyakan orang sedang sangat sibuk, pastikan kau pergi bersama
beberapa orang penjaga, jangan hanya berdua saja dengan Pingting.”
“Mengerti,
kalau begitu aku tidak akan pergi keluar. Putra Mahkota He Su mengirim pesan, di
Kediamannya akan datang seorang Guru yang akan mengajarkan tentang seni perang.
Kami akan kesana.”
“Baiklah,
kau boleh pergi. Tapi jangan berkuda di dalam kota, karena kalau kau sampai
jatuh dari kudamu itu sama sekali tidak lucu. Jauh lebih baik kau menggunakan
kereta dan duduk di dalamnya.”
“Mengerti
Ibu.”
“Satu
lagi, mempelajari seni perang akan memakan waktu lama, pastikan kau makan di
kediaman pangeran, dan ingatlah untuk pulang….. aaaah….. anak itu….”
Sang
ibu belum selesai bicara, He Xia sudah berlari keluar dengan semangat. Ia
mencari Pingting, sama sekali tidak peduli dengan kesibukannya, ia segera
menarik tangan Pingting dan mengajaknya berlari. Mereka berdua bergegas menuju
kuda-kuda yang berada di pintu gerbang, lalu memacu kudanya dengan cambuk
sampai sosok mereka tidak terlihat lagi.
Kenangan
sepertinya terperangkap oleh rumput liar di tempat ini, terasa jauh dan tapi
dekat. Setiap sudut seperti memegang kenangan yang tak terhitung, tetap disana,
sulit dihilangkan.
Apalagi
untuk melupakannya, sangat susah.
He
Xia berdiri di halaman, wajah tampannya sedingin es. Ia memerintahkan,
“Persiapkan jamuan disini, untuk menikmati arak di Kediaman Jin Anwang ini.”
Ia
sekarang pemegang kekuasaan yang dashyat, tak ada seorangpun yang menganggap
remeh perintahnya sekecil apapun.
Rumput-rumput
liar dibersihkan, daun yang berguguran disapu. Lantai yang tertutup debu tebal
menampilkan kilaunya, dan tirai-tirai di pasang di setiap daun pintu yang
tersisa.
Sutra
merah, saten hijau dan banyak warna-warna lain di pasang di pilar-pilar yang
masih utuh. Mereka berkibar di terpa angin sepoi-sepoi, bergerak bebas di
tengah halaman.
Puing-puing
yang tersisa sudah dibersihkan, meja dan kursi sudah diletakan. Poci dan
cangkir teh sudah siap di atas meja, bersama buah-buah segar.
Matahari
senja tiba, Kediaman Jin Awang selesai dihias indah. Butuh waktu sepanjang
hari.
Selama
senja, barang-barang berharga Jin Anwang dikeluarkan. Hanya tersisa kurang dari
separuh yang masih selamat melewati kebakaran hebat, dan sangat penuh kenangan.
Arak
dan makanan sudah siap. He Xia duduk di kursi, memerintahkan prajuritnya untuk
berbaris seratus langkah di belakangnya, menjaganya dari kejauhan.
Ratu
Gui Li bertugas menuangkan arak, ia duduk di satu sisi, pucat tapi tetap
tenang.
Hanya
He Su yang mampu minum bersamanya.
“Bersulang.”
He Xia mengangkat cangkirnya, dan membunyikannya di udara.
He
Su banyak pemikiran, tapi saat ini, tak ada apapun yang bisa membuatnya takut.
Sama sekali tidak khawatir tentang kematian ataupun secangkir arak.
Ia
juga mengangkat cangkirnya. “Bersulang.” Ia menengadah dan meneguk araknya,
rasa tajam mengalir di tenggorokannya.
Arak
membawa kesedihan, membuatnya menjadi sedih.
He
Su menatap sekeliling, memperhatikan sekitarnya yang di tata dengan
menggagumkan, menyembunyikan kehancuran di baliknya. Dan penyebab semua itu
adalah dirinya. He Su hanya bisa menghela napas sambil berkata, “Aku tidak
mengira, kita masih bisa duduk dan minum bersama.”
Ratu
bergerak, mengisi cangkir-cangkir kosong mereka.
“Kau
tak pernah tahu, benarkah?” He Xia tersenyum tanpa di duga dan bertanya pada He
Su, “Apa kau tahu mengapa aku mengundangmu minum?”
“Tidak
tahu.”
Mereka
berdua sudah saling mengenal sejak lama, dulu mereka selalu dikenal sebagai
teman kecil. Tak pernah menduga situasi akan seperti saat ini. Mereka saling
menatap tajam.
He
Xia mengangkat cangkirnya lagi dan berkata dengan suara dalam, “Aku ingin
berterima kasih padamu.”
“Berterima
kasih, padaku?”
Wajah
tampan He Xia seperti tertutup kabut tipis, tidak membiarkan seorangpun melihat
kegetiran di matanya. “Kepada siapa lagi aku bisa berterima kasih, alasan
dibalik hebatnya diriku saat ini?”
Ia
benar-benar tidak menduga, saat seperti ini akan tiba.
Ia
biasanya selalu lembut, romantis, riang dan terhormat, Tuan Muda Jin Anwang
yang terkenal di empat negara.
Ia
memiliki sebuah negara untuk dilindungi, sebuah rumah untuk pulang, ada
orangtua, Pingting dan Dong Zhuo di sekelilingnya, dan dipuja oleh seluruh
pasukannya. Ia sudah siap menumpahkan darahnya untuk bertarung demi Gui Li yang
ia cintai.
Tapi
segalanya berubah sangat cepat, tanpa sempat bernapas. He Xia tidak pernah
melupakan langit malam yang terbakar merah oleh api di Kediaman Jin Anwang.
Ratu
Gui Li duduk diam di kursinya. Ia bisa melihat kebencian di balik ekspresi
tenang He Xia. sebuah getaran dingin mengalir di tulang belakangnya.
He
Su tersenyum. Ia berkata pelan, “Apa kau membenciku karena menyingkirkan Jin
Anwang? Memang benar, kau besar bersamaku dan aku menghormati Tuan Besar Jin
Anwang sebagai tetua. Hari itu, demi melindungi wibawa kerajaan, aku terlalu
kejam.”
He
Xia berkata, “Tak perlu menjelaskan, aku mengerti.”
“Benarkah?”
“Benar,
aku sangat mengerti.” He Xia menegak araknya lagi.
Arak
yang pahit. Setiap cangkir yang ia tegak terasa semakin pahit.
He
Su menghancurkan Jin Anwang.
Tapi
dia, Tuan Muda Jin Anwang yang terhormat, menggunakan racun untuk membunuh Raja
Bei Mo, mendorong pelayan kesayangannya dan istri satu-satunya menuju kematian
mereka. Ia menangis ketika mendengar Yaotian, yang sedang mengandung,
meninggal.
Bagaimana
mungkin ia tidak mengerti?
Langit
semakin gelap, ketika senja menghilang, meninggalkan sinar yang teredam di
balik hutan.
He
Xia mengangkat cangkirnya, bersulang pada orang yang telah menghancurkan
Kediaman Jin Anwang, sungguh setiap tegukannya terasa sangat pahit.
Reruntuhan
puing-puing di belakang dan sekitarnya membuat hatinya sangat rindu sampai
membuatnya hampir gila. Dan semuanya itu berkat orang ini yang berada di
sebelahnya saat ini, dan sedang minum bersamanya.
Karena
ia tidak bisa menemukan orang lain untuk berbagi arak pahit ini, berbagi
kondisi Jin Anwang yang seperti gurun ini.
Siapa
lagi?
Dimana
orang tuanya? Dimana Pingting?
Dan
dimana istrinya yang telah menganugrahinya kekuatan militer, Yaotian?
Waktu
sungguh tidak berbaik hati untuk berhenti sesaat, berlalu dalam sekali helaan
napas. Malam tiba, dengan sangat cepat. Para penjaga tetap berbaris rapi ketika
lilin-lilin mulai dinyalakan disekitar mereka.
Mereka
berdua minum dalam diam, dan Ratu terus memenuhi cangkir-cangkir mereka.
He
Su tidak pernah menoleh pada Ratu. Ia meneguk araknya tanpa ekspresi. Ketika ia
menegadah menatap langit, bulan sudah melewati tengah waktu.
Ia
mengeraskan hatinya, meletakan cangkir kosongnya. Ia berkata dengan ramah,
“Waktunya sudah habis, lakukanlah, dengan racun atau pisau. Aku berjanji, aku
bersedia bunuh diri, asalkan istri dan anakku selamat.”
Terdengar
suara poci perak terjatuh, membasahi lantai dengan arak dimana-mana.
Ratu
Gui Li membeku dan tiba-tiba meratap
kencang, “Yang Mulia! Yang Mulia……” ia terjatuh di kaki He Su, mengigit
bibirnya yang pucat dan tak mampu menlontarkan kata-kata apapun lagi.
Ia
tahu, menyerahkan diri adalah satu-satunya harapan mereka untuk selamat, tapi
ia sama sekali tidak mengira suaminya akan menawarkan nyawanya demi
keselamatannya pada He Xia.
Malam
sebelumnya, ia merasa mereka telah berjalan di jalur yang sama, tapi sekarang
dadanya serasa dihantam palu besar, begitu sakitnya hingga ia lebih memilih
mati.
He
Xia menatap Ratu Gui Li yang sedang menangis di kaki He Su. Sebuah kenangan
samar-samar melintas di depannya, tapi segera menghilang secepat datangnya.
Ekspresinya sekali lagi terlihat tenang dan dingin, “Wanita ini, telah merampas
kekuatan dan membuat kekacaan dalam pemerintahan Gui Li. Wanita ini telah
membuatmu kehilangan segalanya, tapi kau masih mau melindunginya. Hubungan
macam apa ini, sangat tidak seperti dirimu.”
He
Su mendengarkan dan memandang istrinya yang sedang menangis hebat. Ekspresinya
menampilkan sedikit kehangatan ketika ia berbicara, “Aku sangat benci atas
pemberontakan Le Zhen, dua atau tiga kali setelah mengurungnya di istana dingin
aku ingin memberi perintah bunuh diri padanya. Sempat juga terpikir olehku
sebelum menyerahkan surat penyerahan diri pada Suami Ratu Yun Chang, aku akan
membunuhnya sebelum kematianku.”
He
Su menghela napas panjang, dan melanjutkan, ucapannya itu entah untuk menjawab
He Xia atau hanya untuk dirinya sendiri, “Surat penyerahan diriku telah ditulis
dengan jelas, aku bersedia bunuh diri selama dua orang anggota kerajaan
dibebaskan. Sebagai ayah, hatiku hanya untuk anakku, mengapa aku tidak bisa
mengorbankan diriku Shao’er? Dan orang kedua yang ingin kulindungi, aku
berpikir dan berpikir, sampai akhirnya, seseorang yang ingin kubebaskan dengan
nyawaku, tetap wanita ini….”
“Yang
Mulia!” Ratu menegadah sambil menangis, ia berkata sambil tercekik, “Ini
salahku! Aku sungguh pantas mati!”
“Kau
tidak pantas mati, Shao’er telah kehilangan ayahnya, apa ia harus kehilangan
ibunya juga?” He Su tersenyum sedih. Sejak ia menaiki taktah, ia selalu di
kelilingin banyak sekali wanita cantik karena ia pemegang kekuasaan tertinggi,
hal itu menyebabkan sikapnya menjadi dingin pada Ratu. Tapi saat ini, ketika
kematian di depan matanya, ia menyadari wanita yang selalu berada di sisinya
selama ini, adalah wanita yang tak pernah ingin dilepaskan dari hatinya. Ia
berkata pelan, “Kau ingat malam pernikahan kita, aku berjanji akan mencintai
dan melindungimu seorang selama hidupku. Aku telah melupakan janji itu
belakangan ini, tapi hari ini entah mengapa aku tiba-tiba mengingatnya kembali.
Jangan menangis Ratuku, biarkan aku memenuhi janjiku.”
He
Xia berdiri di samping sambil memperhatikan mereka.
Ia
telah membawa kebencian dan perang kepada Gui Li, dalam perjalanannya pasukan
Yun Chang telah menjadi tak terkalahkan, tidak pernah kalah dalam pertempuran
satu kalipun, sampai berhasil mengepung ibukota Gui Li. Ia ingin memaksa He Su
segera bunuh diri, agar ia bisa mengejek mereka sampai detik terakhir dan
membiarkan hatinya tertawa.
Tapi
ia sama sekali tidak menyangka, ini, bukanlah obat penyembuh sakit hatinya.
Memasuki ibukota dan melihat Kediaman Jin Anwang yang terbengkalai, membuatnya
menyesal dan putus asa.
He
Xia hanya berdiri di samping memperhatikan He Su perlahan mengucapkan
perpisahan pada istrinya, tubuh Ratu berguncang hebat. Ia berbalik dan tidak
melihat seorangpun dalam pandangannya. Rumahnya yang telah hancur di hias
dengan kain sutra dan saten tertulis jelas di bola matanya. angin yang kesepian
tidak mau pergi.
Kebencian
karena dihianati oleh dua orang itu mulai bermunculan seperti letusan gunung
berapi.
“Yang
Mulia tidak perlu mati. Untuk pertemanan kita sejak kecil, aku akan memberimu
sebuah kesempatan.” He Xia menyeringai, “Selama salah satu dari tiga keluarga
kerajaan bersedia bunuh diri, aku akan membiarkan dua sisanya tetap hidup,
termasuk anda Yang Mulia.”
Ratu
tidak menyangka dengan kesempatan tiba-tiba ini. Ia segera berhenti menangis,
dan menatap He Xia. Ia memohon dengan tulus, “Apakah Tuan Muda Jin Anwang akan
memegang kata-katanya?” kalau memang begitu, maka selama ia bersedia bunuh
diri, suami dan anaknya akan dibebaskan.
He
Xia tidak menjawab, He Su berkata pelan, “Ratu tidak perlu dilanjutkan,
keputusan sudah dibuat, tidak perlu mengubahnya.”
He
Xia tidak menyangka He Su akan begitu tegas. Ekspresi wajahnya berubah dan ia
mengenggam erat pedang di tangannya sambil menyeringai.
Setiap
ucapan, tindakan, dan ekspresi mereka mengingatkannya pada Yaotian. Hal itu
menancap di hatinya dengan keinginan membunuh yang kuat.
“Yang
Mulia,” mata Ratu memerah, ia berkata sambil masih menangis, “Tidak masalah
kalau aku mati, tapi kalau Yang Mulia, bisa……..”
“Bisa
apa?” He Su menatapnya, perasaan dingin tersembunyi di balik matanya. Melihat
istrinya menangis sampai wajahnya penuh airmata, ia ikut berlutut, dengan
lembut menyeka airmata istrinya. Ia tahu ini kesemapatan terakhirnya untuk
berbicara pada istrinya, suaranya sangat lembut, “Sebagai suamimu, bagaimana
mungkin aku tidak melindungimu? Dimana kau bisa menemukan seorang suami yang
mampu melihat istrinya meninggal di depannya?”
He
Su tidak tahu, kata-katanya seperti mengasah pisau yang menancap tepat ke
jantung He Xia.
Dimana
kau bisa menemukan suami yang sanggup melihat istrinya mati didepannya?
He
Xia mendengarkan, kepalanya menjadi pusing seperti telah meledak, pandangannya
menjadi kosong.
Tubuhna
bergetar beberapa kali. Tapi ia mampu mempertahankan sikap berdirinya. Keringat
bercucuran dari telapak tangannya, mengalir ke pegangan pedang yang di
genggamnya. Ia menariknya keluar tanpa ragu sambil menggertakan giginya,
“Berengsek kalian semua.”
He
Su segera menoleh ke atas, kilau sinar pedang tertangkap matanya. Ia terlahir
sebagai Putra Mahkota, meskipun ia takut pada kemampuan He Xia, ia masih
seorang pria dengan harga diri penuh. Ia telah membulatkan tekad untuk
menyerahkan nyawanya demi melindungi istri dan anaknya, maka ia berdiri di
tempatnya sambil menutup mata, tanpa takut atau gugup, menunggu rasa sakit yang
akan dirasakannya.
He
Xia meganyunkan pedangnya sambil terbakar emosi. Ia melihat mata He Su
terpejam, menunggu kematian dengan terhormat. He Xia menyadari, He Su harus
mendapatkan lebih selain satu ayunan pedang. Tatapanya kesamping, ia melihat
Ratu yang bergerak maju untuk melindungi Raja dari tusukan pedang.
Kemampuannya
bermain pedang sangat ahli, ia segera mengubah arah tusukan pedangnya tanpa
terlihat.
“Ahhhh!”
sebuah jeritan terdengar.
He
Su segera membuka matanya lebar-lebar. Ia menatap ke bawah, istrinya telah
jatuh dan berlumuran darah.
“Ratu!
Ratu!” He Su berlutut, memeluk istrinya di lengannya, suaranya sangat parau.
Ratu
tertusuk tepat di leher, darahnya muncrat keluar seperti anak panah. Tubuhnya sudah
lemas, ia tidak mungkin berkata-kata lagi. Ia membuka matanya, menatap He Su
dengan penuh kasih dan memejamkannya lagi.
He
Su melihat tangan istrinya terkulai dan sama sekali tidak bergerak. Ia merasa
seluruh tubuhnya membeku. Perlahan ia menoleh ke atas menatap He Xia, matanya
sangat merah. Ia berkata dengan sangat tajam, “Mengapa kau lakukan ini?”
Sudut
mata He Xia berkedip sedikit, ekspresi wajahnya seperti ia telah kehilangan
jiwanya. Tapi bibirnya mampu menyeringai, “Biar kuberitahu kau, ternyata
benar-benar ada seorang suami yang menyaksikan istri mereka mati di
hadapannya.”
“He
Xia!” He Su berteriak dan berdiri. “Pergi kau ke neraka!” ia telah berpikir
hubunganya dengan istrinya telah benar-benar berakhir, sama sekali tidak
terpikir menyaksikan kematiannya di hadapannya akan menguncangnya begitu hebat.
Rasa sakit luar biasa membuat akal sehatnya hilang, ia sama sekali tidak
mempedulikan nyawanya lagi, dengan kedua tangannya ia menyambar He Xia,
mengarahkannya ke leher.
He
Xia membunuh Ratu Gui Li dengan sekali serangan. Meskipun bibirnya tersenyum
dan kata-katanya sangat setajam pedangnya, sebenarnya ia sedikit mabuk, rasanya
arak sudah naik ke kepalanya. Ia tahu apa yang telah ia lakukan, tapi ia
benar-benar tidak siaga saat itu.
He
Su melangkah cepat ke arahnya, berniat mencekiknya, meskipun banyak penjaga
yang bersiaga saat itu, posisi mereka cukup jauh untuk segera menolongnya.
Dengan kemampuan bela diri He Xia yang luar biasa dan pedang di tangannya,
tidak mungkin He Su berhasil mendekatinya. He Xia menatap sosok gelap mendekat,
ia melangkah mundur dan secara insting mengayunkan pedangnya untuk menusuk.
He
Xia merasa di bangunkan dari mimpinya ketika semburan darah membasahi wajahya.
Ia akhirnya melhat dengan jelas, He Su menatapnya dengan marah.
Ia
telah tertusuk pedang tepat di dadanya dan segera meninggal. He Xia melepaskan
genggamannya, tubuh He Su yang tertusuk pedang terjatuh di samping Ratu Gui Li.
“Suami
Ratu!”
“Suami
Ratu….” Para penjaganya berlarian menghampir.
He
Xia melambaikan tangannya, menyuruh mereka pergi.
Di
halaman Jin Anwang yang kosong, ia sendirian, berdiri.
Sepasang
kekasih terbaring di kolam darah. Terlihat seperti hidup dan mati mreka telah
dengan kejam di tertawakan oleh He Xia, orang yang telah mengusai empat negara.
Ia
menaklukan empat negara, pasukannya tersebar di seluruh gunung dan sungai, tapi
ia merasa tengah di tertawakan sepasang mayat?
Sungguh
menggelikan!
“Hahahahaha……”
He Xia menegadah ke atas dan tertawa keras.
Di
hening malam, di seluruh penjuru Kediaman Jin Anwang terdengar gema tawa
tersebar.
Pasangan?
Bukankah
pasangan ini saling membenci satu sama lainnya? Jika tidak mengapa mereka
mengacaukan negara sehingga Gui Li hancur dengan sia-sia.
“Aku
berpkir, kalau Kediaman Jin Anwang tidak hancur, apa Yaotian masih cukup
diberkati untuk mejadi istrimu?”
Suara
lembut yang sangat akrab terdengar, He Xia segera berbalik, tapi tak ada
apapun.
Dulu,
senyumnya seperti bunga, tangannya yang ramping menyingkap tirai manik-manik,
dan sepasang matanya menatapnya dengan penuh cinta.
Ia
selalu naik kereta, diam-diam menangis, berada di aula utama, duduk dengan
anggun, dan selalu datang ke Kediaman Suami Ratu untuk menemaninya ketika ia
minum arak, atau menyaksikan tarian-tarian….
Aku
sungguh ingin melupakan semuanya.
Melupakan
segalanya.
Sampai
tak ada kenangan yang tersisa!
He
Xia bergetar ketika menatap mayat He Su dan Ratu. Udara berat membuatnya tak
bisa menegakkan punggungnya, atau jatuh berlutut.
Ia
membungkuk karena perasaan sakitnya, menyembunyikan matanya dengan wajahnya.
Tak
bisa melupakannya, ia sungguh-sungguh tak bisa melupakannya.
Kediaman
Jin Anwang yang sudah hancur di hadapannya, setelah melalui kemenangan hebat.
Tak ada seorangpun yang berdiri di sampingnya, tak ada yang bergembira untuknya
dan tidak ada yang merasa menyesal juga untuknya.
Saat
inilah, ia akhirnya menyadari betapa ia sangat merindukan Yaotian.
Ia
berpikir kalau istrinya hanyalah alat untuk mendapatkan kekuatan, yang telah
meninggal ketika mengandung anaknya. Ia tidak menyadarinya sampai saat ini
betapa ia selalu sangat merindukan Yaotian.
Ketika
ia menerima wewenang penuh atas kekuasaan Yun Chang, penderitaan di hatinya
begitu kuat sehingga ia mati rasa.
Gembok.
Gembok
itu terpasang di pintu ketika Yaotian menangis.
“Tidak,
tidak, aku tidak mau tabib. Aku mau Suamiku…. Suamiku……”
“Cepatlah,
cari seseorang untuk memanggil Suamiku. Buat dia datang kemari…..”
“Luyi,
aku ingin melihatnya…. Aku tidak akan bertahan, aku ingin melihatnya. Cepatlah,
ia tidak akan bida melihatku lagi…..”
Tubuh
He Xia mulai bergetar.
Gembok,
gembok.
Gemboknya
terpasang di pintu.
Gembok
berat itu, mengunci ruangan lain, mengunci kebencian yang sangat kuat.
Buka,
buka. Itu hanya sebuah gembok. Hanya sebuah pintu kayu. Tapi di dalamnya ada
istri dan anaknya yang belum lahir.
“Buka!
Buka gemboknya! Cepatlah, hancurkan gembok itu, hancurkan!” He Xia memegang
kepalanya sambil berteriak, wajahnya yang tampan terlihat kesakitan.
Ia
telah mendapatkan empat negara. Sedikit saja isyarat tangan darinya maka akan
menjadi perhatian penuh semua pihak. Ia bisa saja membuat dirinya sangat sibuk,
tapi tetap saja tidak mampu menghalau kesepian dan kesunyian yang mematikan di
dalam hatinya.
Semua
orang telah meninggalkannya.
Dimana
rumahku?
Dimana
orang yang kucintai?
Suara
Yaotian menjelang kematiannya bergema disekitarnya, memaksa masuk ke
telinganya.
“Buka
pintunya………. Buka pintunya! Seseorang, tolong buka pintunya!”
“Suami
Ratu? Suami Ratu?”
Terdengar
suara seseorang berkata, He Xia segera menegadah, tatapannya mulai menyatu
kembali.
Orang
yang berdir di hadapannya dengan hati-hati memperhatikan ekspresinya, “Gembok
apa yang Suami Ratu bicarakan? Ak akan segera melakukannya.”
Pengawal
pribadinya yang terpercaya.
He
Xia memandangnya dengan bingung, akhirnya ia kembali pada kenyataan. Ia
menghela, menengakkan punggungnya. Tatapannya jatuh kembali pada mayat pasangan
Raja dan Ratu Gui Li yang telah kaku dan darah mereka yang mengenang telah
membeku di tanah. He Xia meperthatikan aliran warna merah, ekspresinya menjadi
dingin ketika ia berkata “Bunuh dia.”
Si
prajurit menatapnya dan jantungnya bergetar. Ia menunduk dan menatap mayat yang
telah dingin, ia berkata pelan, “Melapor pad Suami Ratu, orang ini sudah mati.”
“Bukan,”
Wajah He Xia sangat putih pucat. Ia membelakkan matanya dan ternsenyum sedih,
“Pergi, bunuh anak He Su, Pangeran Gui Li. Tidak ada seorangpun anggota
keluarga kerajaan yang dibebaskan.”
Ekspresinya
sangat mengerikan bahkan si prajurit menjadi kaku mendengar perintahnya. Selama
percakapan, ia mendengarkan kalau He Xia mengatakan pada He Su, ia bersedia membebaskan
dua anggota keluarga kerajaan lainnya selama He Su bersedia bunuh diri.
Sekarang setelah Raja dan Ratu Gui Li mati, apa gunanya membunuh pangeran kecil
yang tidak berdaya?
“Suami
Ratu, Pangeran kecil Gui Li, bukankah Suami Ratu mengatakn…..”
“Aku
berkata apa?” He Xia menggerutu, “Beraninya kau, tidak mematuhi perintahku?
Pengawal, bawa ia pergi, pukul dua puluh kali dengan tongkat!” setelah seorang
prajurit datang dan membawanya, ia memanggil yang lainnya, dan memerintahkan
lagi, “Pergi bunuh Pangeran Gui Li, cepat! Aku tidak mau anak He Su hidup.”
Ia
sudah mendapatkan dunia. Megapa ia harus membiarkan anak musuhnya hidup?
sedangkan darah dagingnya sendiri harus mati?
Anak
He Su sudah di kurung sejak lama, maka tidak sulit untuk membunuhnya.
Segera,
si penjaga sudah kembali untuk melapor, “Suami Ratu, Pangeran Gui Li, He Shao,
sudah di bunuh.”
He
Xia mendengarnya tanpa rasa gembira sama sekali. Ia hanya berkata, “Benarkah?”
ia berdiri diam lama sekali di tengah angin yang berhembus, di belakangnya para
penjaga berdiri di sekelilingnya. Semua orang menatap punggungnya dengan diam,
dan sikap hormat di mata mereka.
Seburat
rasa sakit menyerang hati He Xia. Ia berkata pelan, “He Su setuju untuk bunuh
diri, tapi ia mengubah keputusannya di saat terakhir. Ratu juga bersikeras
menentang, mereka berdua berniat membunuhku. Karena itu, aku membunuh anak
mereka.” Ia teringat pengawalnya yang sebelumnya, dan bertanya, “Dimana
Tongcheng?”
“Melapor
pada Suami Ratu, sesuati perintah Suami Ratu, ia telah di pukul sebanyak dua
puluh kali dengan tongkat militer. Ia sedang berlutut di luar, menunggu
perintah selanjutnya.”
He
Xia menjawab, “Berikan pengobatan padanya, biarkan ia beristirahat dua hari
agar ia benar-benar pulih.”
Menatap
Kediaman Jin Anwang yang sepenuhnya terasa asing saat ini, ia menghela napas
berat sekali.
--
Sasaran
telah di tetapkan, Kota Qierou. Setelah menunggu selama sepuluh hari, Chu
Beijie akhirnya tiba.
Para
Jendral sedang membahas beberapa masalah di dalam tenda, tiba-tiba Luoshang masuk
dan berkata dengan semangat, “Hua Can dari Bei Mo telah tiba.”
Semua
orang yang mendengarnya menjadi gembira, “Tolong disambut.”
Kata-kata
itu belum selesai di ucapkankan ketika Hu Can masuk sambil berbalut debu tebal.
Ia salah satu Jendral muda yang diangkat oleh Ruohan setelah Ze Yin pensiun.
Meskipun ia kalah dalam pertempuran Zhuoqing, tapi semangatnya sama sekali
tidak berkurang. Dan meskipun wajahnya agak gelap, tapi matanya penuh sinar
semangat. Ia memperhatikan orang-orang di dalam tenda dan matanya jatuh pada
Ruohan, “Panglima,” ia menunjukan sikap bawahan yang patuh pada Ruohan, “Aku
segera berangkat begitu menerima pesan rahasia anda. Semangat juang Bei Mo
sedang meningkat, banyak sekali orang-orang yang menemukan tempat perekrutan
rahasia kita.”
“Tidak
perlu langsung melapor, biar aku perkenalkan pada semua yang ada disini.”
Ruohan sangat senang melihat bawahannya. Ia menunjuk satu per satu pada Jendral
sampai akhirnya tiba pada Chu Beijie, “Dan ini adalah Panglima Zhen Beiwang.”
Hu
Can menatap Chu Beijie, ada sikap berhati-hati dan hormat di matanya.
Chu
Beije tahu, tidak akan mudah memimpin kelompok, yang sebelumnya adalah
musuh-musuhnya. Jadi ia sama sekali tidak terganggu dengan ekspresinya. Ia
mempelajari Hua Can dan bertanya, “Berapa banyak yang kau bawa kemari?”
Hua
Can masih agak sulit melapor pada Chu Beijie, ia menatap Ruohan sebelum
menjawab “Pangkala kami di Bei Mo telah mengumpulkan cukup banyak. Khawatir
telinga dan mata pasukan Yun Chang bisa mengenali kami dalam perjalanan, aku
hanya membawa beberapa ribu orang. Sebagian besar masih pendatang baru, belum
berpengalaman sama sekali di medan pertempuran, tapi aku bisa menjamin mereka
semua sangat berbakat.”
Pingting,
setelah mendengar kedatangan Hua Can hatinya berdegup kencang sekali. Dari
samping Chu Beijie ia bertanya, tak mampu menahan rasa penasarannya lagi, “Apa
kau mendengar kabar dari Yangfeng?”
Mata
Hu Can beralih dan ia melihat sosok wanita sedang berdiri disamping Chu Beijie.
Meskipun wanita itu terlalu cantik, tapi ia memiliki pesonanya sendiri. Ia
segera menebaknya dan menjawab pertanyaannya dengan hormat, “Aku sudah mengirim
orang untuk mendatangi tempat yang diberitahukan dan kami menemukan Nyonya
panglima Ze Yin.”
Sejak
Pingting membantu Bei Mo melawan Dong Lin, para Jendral Bei Mo sangat
menghormatinya, maka sikap Hua Can bisa lebih santai padanya dibanding pada Chu
Biejie.
Pingting
bertanya lagi, “Apa mereka semua baik-baik saja? Ketika Yangfeng membaca
suratku, apa ia mengatakan sesuatu?”
Hua
Can tersenyum, “Nyonya Panglima berkata, semua orang memiliki pandangannya
sendiri, jadi ia hanya bisa menolak permintaan Nona Bai yang mengharapkannya
untuk bersembunyi dengan aman di gunung.”
Pingting
terkejut. Ia menatap Hua Can yang tersenyum. Dan ia tiba-tiba menyadarinya,
lalu dengan pelan dan gembira berkata, “Ia membawa anak-anak kemari!”
Beberapa
lusin burung dara tiba-tiba mengepakan sayap mereka dan berterbangan dari
hatinya, terbang sambil menyebarkan wangi lembut ke segala arah.
Yangfeng
datang. Yangfeng yang selalu membenci perang dan menghindarinya, benar-benar
datang kemari.
Dimana
anak-anak?
Changxiao,
Changxiaoku
Pingting
segera berlari keluar. Begitu ia berada di luar, ia segera berhenti, lalu
berbalik masuk ke dalam dan menarik tangan Chu Beijie, keluar lagi.
Pingting
selalu tenang, tapi sekarang ia sangat bersemangat luar biasa dan sulit bagi
Chu Beijie untuk memahaminya. Tpai karena Pingting yang berinisiatip menarik
tangannya, ia sama sekali tidak berniat menolaknya. Ia membiarkan dirinya di
tarik keluar tenda sambil bertanya, “Apa ini untuk menyambut Yangfeng?” dengan
sekali kepakan tirai tenda, dua orang itu menghilang dari pandangan.
Para
Jendral yang menyaksikan mereka berdua menghilang, sangat terkejut dan
penasaran.
Hua
Can berdiri diam sesaat, lalu menoleh pada Ruohan dan menghela napas, “Nona Bai
ini memang luar biasa, aku ingin membuatnya penasaran, tapi ia segera
menebaknya dengan tepat.”
Suasana
hati Ruohan juga sedang bagus. Ia menepuk pundak Hua Can sambil tertawa, “Sayang
sekali, kau tidak melihatnya ketika pertempuran di Kanbu.”
Lalu
ia pergi bersama Hua Can untuk menemui prajurit baru, yang datang bersamanya
untuk memberi mereka makan dan air. Beberapa dari mereka sedang beristirahat
dan sebagian tertidur.
Pinting
membawa Chu Biejie bergegas ke jalan masuk. Ia segera mencari Yangfeng yang
seperti angsa di antara kerumunan anak ayam. Meskipun ia terlihat sangat lelah,
tapi kecantikannya tak pernah berkurang.
Yangfeng
juga telah melihat Pingting dari kejauhan. Ia melambaikan tangan padanya,
“Pingting.”
“Yangfeng.”
Pingting berteriak dengan gembira. Ia melepaskan Chu Beijie dan menggenggam
tangan Yangfeng meremasnya.
Ia
memperhatikan Yangfeng dari bawah sampai ke atas. Meskipun ia tidak
mengatakannya, sinar kegembiraan terpancar di kedua matanya. Mereka berdua
berpegang tangan dan saling memperhatikan satu sama lain, lalu Pingting memecah
kesunyian, nada suaranya menegurnya, “Kau benar-benar tidak mematuhiku, kau
seharusnya berlari jauh dari para prajurit dan senjata. Disini sungguh
berbahaya.”
“Kau
sendiri tidak membiarkan dirimu diam saja tak berguna, bagaimana mungkin kau
meminta orang lain seperti itu? Aku juga harus melakukan hal yang paling ingin
kulakukan, itu saja, datang ke kamp pasukan dan menyaksikan sendiri seperti apa
kekacauan ini akan berakhir.” Ekspresi Yangfeng lebih mantap dari pada
biasanya, ia tersenyum sedih, “Aku pernah bilang bukan, aku sendiri akan
menjadi saksi mata ketika kata-kata suamiku menjadi kenyataan.”
Ekspresi
ini, tak pernah diperlihatkan Yangfeng sebelumnya, perasaannya atas kehilangan
Ze Yin.
Pingting
hanya bisa menghela napas sambil terkejut. Ia berkata pelan, “Anak-anak?”
Yangfeng
belum sempat menjawab, ketika sebuah kepala kecil muncul di belakang Yangfeng
sambil tersenyum lebar, “Bibi!”
“Ze
Qing, kau menjadi lebih tinggi.” Pingting mengusap kepalanya dengan lembut,
tatapannya tak bisa berhenti mencari.
Yangfeng
tahu siapa yang dicari Pingting. Ia mengatupkan bibirnya dan tersenyum, “Kau
tak perlu mencarinya, ia disana.” Yangfeng menunjuk ke belakang Pingting.
Anak-anak
sungguh tumbuh dengan cepat, rasanya belum terlalu lama tapi Changxiao sudah
tumbuh begitu besar dan lebih nakal daripada Ze Qin. Ia baru saja tiba dan sama
sekali belum mengenal tempat barunya tapi sudah penasaran tentang banyak hal.
Ia tidak menyadari ibunya sudah berada di dekatnya dan terselip di belakangnya,
tapi kemudian ia tertarik pada suatu benda yang terasa akrab.
“Pedang…pedang…..”
Changxio
memiliki ingatan yang kuat. Ia pernah memainkan benda bersinar itu yang
mengakibatkan Ze Qin dipukuli oleh Yangfeng. Ia mengenalinya ketika pertama
melihatnya dan menempel pada kaki Chu Beijie tanpa takut sama sekali. Ia
mencoba meraba pedang itu dari pinggang Chu Beijie.
Chu
Beijie menundukkan kepalanya dan melihat benda hidup kecil itu berusaha
memanjat tubuhnya dari kakinya dan kemudian menatapnya. Benda kecil hidup itu
memiliki bola mata hitam sejernih Kristal dan sedang berusaha mencuri pedang
berharganya dari pinggangnya. Ia sama sekali tidak takut pada Panglima Zhen
Beiwang yang bahkan tak ada seorangpun yang berani meletakan seujung jaripun
padanya.
Anak
kecil ini sungguh memiliki keberanian hebat.
Dulu,
bahkan kakaknya sendiri tidak berani memanjat dirinya dengan begitu
terang-terangan.
Chu
Beijie perlahan memperhatikan benda kecil hidup itu. Hidungnya sangat mancung
dan lurus, matanya memperlihatkan sifatnya yang keras kepala, semakin
diperhatikan ia semakin menyukainya. Ia tiba-tiba teringat tetang darah
dagingnya bersama Pingting yang telah ditelan takdir, mengakibatkan gelombang
rasa sakit menerpa hatinya.
Ia
sama sekali tidak menduga, anak kedua Ze Yin sudah bisa berjalan.
Ia
merasakan kecemburuan hebat di hatinya.
Ia
sebenarnya tidak pernah benar-benar menyukai anak-anak, tapi kali ini hatinya
melunak. Ia mengangkat Chanxiao dari kakinya dan mengusap pipinya yang tembem.
“Sungguh anak lelaki yang nakal, mengapa kau tidak mematuhi perintah ibumu?”
Changxiao
yang sedang senang bermain tiba-tiba teringat. Ia menengok ke kanan dan kiri
mencari-cari, dan akhirnya ia menemukannya. Dan segera berteriak, “Mama!”
Suara
yang manis dan lembut terdengar ketika ia melambaikan kedua tangannya kearah
Pingting dan Yangfeng. Ia segera dengan susah payah turun dari lengan Chu
Beijie.
Chu
Beijie menyadari ia tidak ingin melepaskannya, maka ia mengikuti tatapan anak
itu kepada Yangfeng dan Pingting dan menoleh kepada mereka.
Pada
akhirnya, insting seorang ibu selalu mendahulukan anaknya. Mendengar suara
Changxiao memanggil, hati Pingting seperti tali yang dikencangkan kembali
karena agak kendur, setelah ia agak tenang karena sebelumnya terlalu
bersemangat. Ia tidak bisa menahan emosinya lagi, airmatanya mengembang di
matanya ketika ia berjalan mendekati Chu Beijie. “Chanxiao, Changxiao, aku
sungguh ingin bertemu denganmu.” Matanya sangat lembut ketika ia berguman dan
airmatanya mengaliri pipinya.
Changxio
sepertinya belum mengerti perpisahan. Melihat ibunya, ia bergoyang-goyang dan
tertawa lebar di dalam pelukan lengan ibunya.
Di
sisi lain, Chu Beijie berdiri seperti batu, mendengarkan Changxiao berada di
lengan Pingting sambil memanggilnya ‘Mama’.
Sebuah
pelangi tiba-tiba muncul, menghias di awan di dalam kepalanya, berwarna-warni
ceria. Pertama muncul satu warna, lalu warna kedua, dan ketiga…….
Tak
terhitung warna mulai berputar, mengelilingi sosok dewasa dan anak-anak di
depan matanya. Kelembutan dan kehangatan yang ia rasakan saat itu begitu indah
dan ia sama sekali tidak berani percaya kalau semua ini adalah kenyataan yang
sebenarnya.
Pingting
mengendong Changxiao ketika berbalik, ia menatap Chu Beijie kemudian menunduk
dalam-dalam, ekspresinya seperti meminta maaf. Ia berbisik, “Tuan, ini
Changxiao.”
Meskipun
ucapan itu sangat pelan, tapi terdengar seperti melodi dari langit. Chu Beijie
tahu ia tak akan pernah melupakan kata-kata itu. Panglima Zhen Beiwang yang
hebat ini hendak menyemburkan airmatanya yang tak terbendung saat ini juga, di
hadapan kerumunan orang begitu banyak.
Changxiao,
ini Changxiao.
Anak
Pingting.
Anaknya
juga!
Tubuh
Chu Beijie seperti hendak melayang ke atas langit. Ia memandang lebar-lebar
kepada ibu dan anak yang berbahagia di depannya. Ia tidak berani membuat
ekspresi apapun agar emosi yang ia rasakan tidak terpancar keluar, airmata
bahagianya sungguh tidak dapat ditahannya lagi.
Anak
kecil ini, sungguh anak Pingting dan dirinya….
Meskipun
ia telah berusaha berkali-kali, mengemukakan masalah ini, ia terlalu berbahagia
untuk mengatakan apapun.
Pingting
melihatnya terdiam sehingga Pingting memandangnya dengan bertanya-tanya.
Changxiao
berbalik untuk ikut melihat wajahnya, dan memandang pedangnya lagi. Ia dengan
ceria berteriak, “Pedang-pedang!” dan ia meraih untuk pindah ke pelukan Chu
Beijie.
Yangfeng
yang sedang mengendong Ze Qing tersenyum melihat pemandangan itu.
Tenggorokan
Chu Beijie sangat kering dan serak, banyak lagu kegembiraan meraung seperti
gelombang. Sepertinya ia hendak melompat ke atas dan melepaskan api yang
membakarnya di hatinya ke udara. Tapi tubuhnya sulit di gerakan, sehingga ia
tetap terpaku di tempatnya.
Lalu
akhinya, beberapa kata dengan sangat susah payah berhasil dilontarkan dari
tenggorokannya yang serak, “Tunggu sebentar.”
Pingting
dan yang lainnya terkejut melihat Chu Beijie tiba-tiba berlari kencang ke dalam
tenda terdekat. Begitu ia masuk, prajurit yang di dalam segera berlarian
keluar, mereka semua terlihat binggung, sepertinya Chu Beijie telah mengusir
mereka semua.
Yang
berada di luar mengerumuni tenda. Tiba-tiba terdengar suara keras membelah
angin.
Fwaah, fwaaahh………
Bahkan
setelah beberapa tenda di depannya, suara keras itu masih terdengar jelas dan
berkelanjutan.
Panglima
Zhen Beiwang sepertinya sedang menggerakkan pedangnya dengan berlebihan.
Kain
tenda yang tebal itu bergoyang, seperti akan terbelah sewaktu-waktu.
Setelah
beberapa saat, suara gerakan pedang berhenti. Dan udara seperti ikut berhenti
mengalir. Flap! Tirai masuk tenda terangkat, orang-orang yang berkerumun
menunggu dengan penasaran.
Chu
Beijie penuh keringat ketika ia berjalan keluar. Tangannya memegang pedang
‘Semangat Langit’ dan tatapannya sangat tajam. Panglima Zhen Beiwang yang hebat
dan penuh percaya diri telah pulih, tapi mata merahnya mengatakan sesuatu.
Ia
berjalan menuju Pingting, dan menatap Changxiao. Ia mengambil Changxiao dari
tangan Pingting dan memeluknya, “Anak baik, panggil Papa.”
Changxiao
biasanya keras kepala ia biasa tidak sepenurut ini. Mungkin karena ikatan
darah, sangat tidak terduga ia menurut. Ia sungguh-sungguh memanggilnya dengan
riang, “Papa.” Lalu ia menatap kebawah dan memainkan mantel Chu Beijie.
Chu
Beijie merasa hatinya penuh kegembiraan mendengar kata ‘Papa’. Ia juga merasa
tenggorokannya tersumbat ketika ia memeluk Changxiao dengan erat. Tubuh yang
kecil dan lembut itu terasa ringan, ia merasa sebaiknya tangannya terbiasa
dengan pedang tidak sebaiknya menyentuh benda hidup kecil ini atau ia akan
remuk.
Begitu
rapuh dan sungguh membuat sedih.
Tapi
mahluk kecil rapuh ini yang memanggilnya dengan lembut ‘Papa’, yang membuatnya
lebih percaya diri dibanding senjata paling tajam ataupun sepasukan yang sangat
kuat. Hidung Chu Beijie terasa sakit, kegembiraan menjadi seorang ayah
membanjiri hatinya. Semangatnya yang tinggi membuatnya tertawa lepas.
Siapa
di dunia ini yang lebih beruntung dari pada dirinya?
Tak
ada apapun di dunia ini yang bisa menggantikan suara lembut atau senyuman
Pingting.
Chu
Beijie tertawa lama sekali. Ia begitu bahagia sampai ingin menangis lagi, tapi
ia mampu mengendalikan dirinya. Dan berkata pada Pingting dengan pelan, “Anak
panah pembalasan ini, sangat menyakitkan.” Suaranya penuh keputusasaan.
Semua
penderitaan Pingting yang telah dilaluinya lagi-lagi berkelebat di depannya.
Melihat Chu Beijie begitu gembira, Pingting merasa amat bersalah. Ia menundukan
kepalanya lagi dan berkata dengan suara kecil, “Bagaimana Pingting bisa
mengatakannya, kalau Tuan tidak bertanya? Tapi Pingting juga sangat keras
kepala tentang hal ini, Tuan jangan marah, Pingting akan menerima hukuman
apapun, okay?”
Chu
Beijie menajamkan matanya ketika menatap Pingting, seperti menggunakan matanya
untuk memegangnya, agar Pingting bisa terus tersembunyi di dalamnya.
Marah?
Ia
merasakan Déjà vu.
Angin
di perkemahan bertiup kencang, mengembalikan mereka pada lembah di bukit tiga
burung layang-layang. Hari itu, para pemanah mengepung mereka dari segala arah,
bersiap menembak. He Xia telah bersiaga diatas, terlihat anggun ketika mereka
memaksanya membuat perjanjian damai lima tahun.
Hari
itu, ia berada di atas kudanya dan Pingting dalam pelukannya.
Hari
itu, ia sangat marah, benar-benar marah.
Hari
itu pertama kalinya ia merasakan patah hati, pertama kali ia menyadari kalau ia
sungguh-sungguh mencintai seorang wanita, pertama kalinya ia melangkahkan
kakinya di jalan yang berliku ribuan.
Cinta
dan benci, kegembiraan dan kesedihan, keduanya saling bercampur aduk. Ia tak
bisa membedakan rasanya, dan berusaha mengambil yang terbaik darinya.
Tidak,
ia tidak lagi marah pada apapun.
Bagaimana
ia bisa marah? Ia sudah memiliki begitu banyak.
Chu
Beijie memeluk Changxiao dengan sebelah lengannya dan tangan yang lain
menyentuh pipi mahluk kecil itu. Lalu lengan itu memeluk Pingting dan berharap
waktu akan berhenti sejenak.
Pingting
dipeluk oleh lengannya yang kokoh dan mendongak untuk menatap Chu Beijie dan
begitu senang memeluk anaknya yang imut. Di masa lalu, pemandangan ini hanya
bisa dilihat dalam mimpinya tapi saat ini semua itu menjadi nyata. Matanya
menjadi panas.
Ia
mengigit bibirnya, dan berkata dengan berbisik, “Tuan tidak marah lagi?”
“Apa
Nyonya sudah tidak marah lagi?” Chu Beijie tersenyum mengejek, “Kau memalsukan
kematianmu, dan sekali lagi memalsukan hal lainnya lagi, jadi kurasa aku sudah
cukup menderita. Tolong, Nyonya berbelas kasihlah, jangan hukum aku lagi. Atas
kesalahan yang telah aku lakukan di masa lalu, tolong dimaafkan.”
Pingting
terlalu malu untuk menatap Chu Beijie, tapi ia tertawa kecil. Ia mencengkram
lengan Chu Beijie dengan lebih erat dan berkata, “Tuan, banyak orang berdiri
disekeliling kita.”
“Lantas
kenapa?” Chu Beijie lalu memandang kesekitarnya dan tertawa lagi, “Biar mereka
tahu satu hal, mereka sebaiknya tidak melawan wanita yang mereka cintai.”
Benar
sekali.
Wanita
selalu menghukum pria yang mereka cintai.
Mereka
selalu hanya memikirkan kekasih mereka, dan mereka juga bersedia menderita putus
asa dan patah hati demi kekasih mereka.
--00--
Home
novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia
novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia