Selasa, 30 Agustus 2016

Gu Fang Bu Zi Shang -- 2.39

-- Volume 2 chapter 39 --


Salju baru saja berhenti ketika He Xia tiba di kediamannya.

 

Ia baru tiba tengah malam dan pagi-pagi sekali dihari berikutnya ia sudah harus menemui Tuan Putri di istana. Dilanjutkan dengan pertemuan bersama para Jendral untuk membicarakan masalah Dong Lin. Tubuh bajanya tetap saja merasa lelah.

 

Matanya terpaku pada kediaman di depannya, megah dan mewah tapi terlihat sepi. Sejak kembali dari istana, ia merasa lebih terikat pada kediamannya tapi ia juga merasa enggan dan takut.

 

Perasaan ini disebabkan oleh satu orang.

 

Pingting berada disana. Matanya sering mencari warna yang sering dipakai dan disukai Pingting. Ia terkadang menata sebuah tempat yang bisa mewakili Pingting.

 

Pingting tidak pernah berniat mempengaruhi seseorang, atau menangkap hati mereka. Ia adalah pribadi yang selalu bermalas-malasan dan bersantai, melupakan sekitarnya dan juga orang-orangnya.

 

Tapi He Xia pengecualian.

 

Berkat ikatan selama lima belas tahun tumbuh bersama, He Xia berhasil mempengaruhi Pingting, menangkap hatinya. Pingting selalu menyadari ketika perasaannya sedang tidak baik, entah saat tubuhnya sakit atau emosinya kacau. Sepasang mata cerdik itu perlahan akan berputar dua kali dan segera meringankan masalahnya. Pingting akan segera merencanakan sesuatu untuk membantunya, apakah berjalan-jalan di taman, atau memainkan kecapi atau membuat sebuah candaan.

 

Biasanya kalau ia tetap muram setelah bujukan Pingting, ia akan mengambil pedangnya dan mulai memainkannya. Dan Pingting, ia akan segera mengganti bajunya dengan yang berlengan panjang dan menemaninya dengan sabar dan lembut dalam “Sembilan Hari” permainan.

 

Begitu mereka berdua terkait, sebuah mistery menjadi bunga yang mekar.

 

Tak banyak pria dibawah langit ini, yang memiliki berkah seperti itu.

 

Berkah itu hanya milik He Xia.

 

Tapi ketika mata Pingting beralih dari He Xia. Ia baru menyadari kalau tatapan Pingting adalah hal yang sangat berharga.

 

Bukan suara kecapi atau nyanyiannya, bukan tarian, bukan tawanya yang menawan. Tapi kepastian keberadaannya adalah yang paling berharga.

 

Langit telah memutuskan kalau berkah yang ia miliki harus menghilang suatu hari.

 

Bagaimana mungkin ia patuh begitu saja menyerahkannya pada Chu Beijie tanpa perlawanan? Orang itu adalah musuh negaranya, orang yang telah menyusun rencana licik dengan aksi menyerahnya yang palsu, Tuan Besar Zhen Beiwang yang telah memancing He Su untuk menghancurkan Kediaman Jin Anwang, orang yang telah meninggalkan pedang ‘Jiwa Yang Terpisah’ dan orang yang telah menculik Pingting.

 

Langkah kaki yang ia lakukan perlahan melambat.

 

Gerbang pintu sangat tinggi. Itu adalah gerbang kediamannya, tapi terlihat lebih tinggi dari biasanya, gerbang itu akan tertutup dan menjadi penjara yang kokoh.

 

Ia dengan sukarela memasukinya, tapi tidak berarti ia berniat tinggal didalamnya selamanya.

 

He Xia menundukkan kepalanya dan melihat pedangnya berada di sebelah kirinya. Tangannya penuh kekuatan dan lentur. Ia tahu bagaimana dengan pintarnya memilih, memotong dan menusuk jalannya untuk menuju kemenangan.

 

Empat negara sekarang sedang kacau.

 

Kekacauan adalah tempat bermain seorang pahlawan.

 

Ia lahir sebagai seorang Jendral di dalam Kediaman Jin Anwang, membuatnya memiliki status luar biasa untuk memperhatikan segala situasi. Ia terlahir sangat pintar, seseorang yang seharusnya duduk di tempat paling tinggi, diatas segalanya.

 

Tapi seseorang telah memasuki wilayahnya, Chu Beijie yang juga seorang bangsawan. Ia juga berbakat dengan sastra dan kekuatan, seorang pahlawan bagi negaranya yang mampu memimpin pasukan dengan gagah berani.

 

He Xia dan Chu Beijie seperti dua pemain kecapi terkenal Gui Li, Yangfeng dan Pingting. Nama mereka terkait satu sama lain sepanjang hidup mereka.

 

Yangfeng dan Pingting juga teman sejak kecil.

 

Tetap saja mereka berdua di takdirkan untuk bermusuhan.

 

Pingting telah kembali, dan Chu Bejie tak bisa memilikinya kembali. Seperti Pingting, Chu Beijie takkan bisa menemukan jalannya selamanya.

 

Sebuah warna melintas di mata He Xia. Ia menggerakkan kakinya dan melangkah melewati gerbang Kediaman Suami Ratu.

 

Ia bergegas memasuki ruang utama dan berbelok ke koridor menuju kolam, ketika ia sampai di dinding batu. He Xia berbalik dan menatap sosok yang berdiri di sebrangnya.

 

Ada sebuah meja di pavilium. Dan sebuah kecapi telah diletakan di atasnya, disampingnya sebuah dupa telah dibakar. Pingting duduk di depan kecapi, mengelus ujung kecapinya. Sepertinya ia berusaha menghapus jejak keringat yang tertinggal disana sampai terhapus bersih.

 

Melihat ini, He Xia teringat, sudah sangat lama sekali sejak terakhir ia mendengar Pingting memainkan kecapi.

 

Ia selalu duduk yang paling dekat dengannya, menyaksikannya disampingnya. Jari-jarinya yang anggun dengan lincahnya menghasilkan nada-nada dari kecapi kuno yang bergetar ringan. Kecapi itu mengeluarkan suara yang memukau, terkadang seperti anak panah yang menghentikan angin begitu ditembakkan ke langit.

 

Bahkan awanpun ikut terbelah dua.

 

Sungguh sudah lama sekali terakhir ia mendengar Pingting bermain kecapi.

 

Ia tidak berani mengusik Pingting dan perlahan bersandar ke dinding tembok batu, bersiap untuk mendengar irama kecapi yang biasa di dengarnya. Suara yang selalu menenangkan hatinya yang letih, yang selalu merindukan rumah.

 

Pingting sepertinya sudah siap memainkan kecapinya. Ia menundukkan kepalanya ketika jari-jarinya mulai memetik senar. Ia seperti memikirkan sesuatu tapi mungkin juga tidak, hanya saja jari-jarinya tiba-tiba berhenti di atas senar yang tipis.

 

Dupa terbakar dengan rapi, merah gelap berkelip. Tiba-tiba merahnya meredup, berkelip beberapa kali dan menghilang.

 

“Mengapa kau berhenti?” He Xia berjalan dari keteduhan dinding batu, melangkah melalui batu-batu bata yang diletakan di atas salju sampai akhirnya ia tiba di pavilium.

 

Pingting sepertinya tidak mendengarnya, ia hanya menatap kecapinya.

 

“Kecapi ini, aku mengirim seseorang khusus membelinya di Gui Li. Kau suka?”

 

Tak peduli seberapa ramah ia berkata, tidak ada jawaban.

 

Sejak menaiki kereta, Pingting tak pernah mengucap sepatah katapun padanya.

 

Orangnya telah kembali, tapi hatinya tertinggal dan terlupakan di Dong Lin.

 

Setelah beberapa saat, He Xia menghela napas. “Mintalah apapaun yang kau inginkan dari dapur. Ada dua koki Gui Li di kediaman ini, mereka sangat ahli membuat daging pangang bawang putih dan acar.” Ia berencana kembali ke kamarnya setelah mengatakan hal ini. Tapi setelah beberapa langkah, ia berbalik, “Aku sudah lama sekali tidak mendengar suara kecapimu.” Suaranya sangat lembut dan ia hendak berbalik lagi untuk pergi.

 

“Aku juga…. Sudah lama sekali tidak melihat jurus pedang Tuan di atas salju.”

 

Sangat pelan, hampir berbisik, suara yang terdengar di belakangnya.

 

He Xia berbalik dengan terkejut, matanya bersinar gembira, “Kau ingin melihatnya?”

 

Pingting menghindari tatapannya, dan berkata sambil menghela napas, “Tidakkah Tuan merasa lelah, Tuan baru tiba kemarin malam dan pergi pagi-pagi sekali.”

 

He Xia menatapnya. Bibirnya tersenyum kekanakan, “Bagaimana mungkin aku merasa lelah, ketika kau menyaksikanku?”

 

Pedangnya perlahan dikeluarkan dari sarungnya seperti naga yang memasuki air, dengan lembut meluncur menimbulkan riak diatasnya.

 

Pedang itu sepertinya mampu memotong awan sampai menjatuhkan air hujan atau menimbulkan cahaya petir di hadapan mereka.

 

Pingting tetap duduk di pavilium, menyaksikan dengan diam.

 

Matanya seperti asap tipis. Ketika He Xia menatapnya, semua rasa lelah dan letihnya menghilang.

 

Pedang He Xia bergerak dengan bebas di udara. Mata Pingting mengikuti gerakannya dengan ketat.

 

Saat itu, rasanya Kediaman Jin Anwang yang megah telah kembali.

 

Tidak ada yang berubah.

 

Ayah dan ibunya, rumahnya dan tekadnya untuk melindungi semuanya, utuh kembali.

 

Hari tidak berganti, musim tidak berlalu, dan kematian tidak terjadi.

 

Pedang He Xia mengayun, dengan mudahnya mengembalikan kenangan masa lalunya.

 

Angin utara yang dingin tak mampu menghentikan kebangaan He Xia setelah ia menyelesaikan jurusnya. Ia berkeringat dan menggunakan lengan bajunya untuk menyekanya. Ia tertawa, “Lagi!” Pedangnya mulai mengapung ke atas, tapi tiba-tiba berhenti. Gayanya berubah. Seperti naga yang siap naik ke langit. Ini kesukaan jurus pedang Jin Anwang kesukaan Pingting.

 

Ping!

 

Seperti naga yang berjalan di empat penjuru mata angin, suara kecapi yang tak diduga mulai berbunyi, turut mengguncang pedang.

 

He Xia sangat gembira mendengarnya. Gerakannya terus berlanjut. Ia berbalik, arah pedangnya berubah sekali lagi. Suara kecapi semakin cepat seakan memanggil naga dengan nada tinggi.

 

Gerakan pedang mengikuti irama kecapi dengan keserasian luar biasa, sangat sempurna.

 

Setelah semua jurus pedang Jin Anwang dilakukan, Pingting memulai irama “Sembilan Hari.”

 

Setelah jurus pedang terakhir selesai, suara kecapi juga ikut berhenti.

 

Kedua pasang mata bertatapan di udara, suasan akrab yang hangat muncul kembali.

 

Pingting kau sama sepertiku, tak mampu melupakan masa lalu.

 

Hatimu masih memiliki Jin Anwang, masih ada Tuan Muda Jin Anwang.

 

Setelah berpisah dari Chu Beijie, siapa lagi yang mampu melindungi hatimu?

 

Kau masih sama!

 

Di dunia putih ini, kesunyian tiba-tiba menghilang.

 

Tak ada yang tahu berapa lama tatapan terpisah. Mata Pingting bergeser ke arah belakang He Xia.

 

He Xia menyadarinya dan berbalik.

 

Sebuah sosok elok terlihat di matanya.

 

Yaotian dalam balutan gaun unggu mewahnya, ditemani mantel bulu putih di pundaknya. Kulitnya seperti mutiara. Dan sebuah mahkota yang indah di kepalanya. Kalung batu permata melingkar di sekitar lehernya.

 

Bibinya merah cerah, dan matanya bersinar seperti bintang.

 

Delapan pelayan telah menundukan kepalanya, berbaris di belakangnya.

 

Ketika He Xia berbalik, Yaotian tersenyum. Ia memuji, “Ini pertama kalinya Yaotian melihat suami berlatih pedang di tengah salju.” Tatapannya melewati He Xia. Suaranya sangat lembut, “Dan musik yang luar biasa dari salah seorang pemain kecapi terkenal Gui Li. Aku sudah mendengar kemasyhuramu, Nona Bai.”

 

“Putri.” Tangan Pingting yang seputih batu giok perlahan meninggalkan kecapi dan berdiri dari kursinya, berjalan keluar dari pavilium. Menghampiri Yaotian dan membungkuk padanya.

 

Ekspresi He Xia berubah, ia segera menoreh senyum di bibirnya, “Mengapa Putri datang di jam seperti ini?” ia menyarungkan pedangnya, berjalan ke arah Yaotian dan mengenggam tangannya. “Mengapa kau tidak memanggilku dan hanya berdiri di tengah salju di udara sedingin ini.”

 

“Melihat pemandangan, jurus pedang ditemani irama kecapi, sangat langka. Mengapa aku harus merusaknya?” Yaotian membiarkan He Xia menggenggam tangannya.

 

Dan mereka semua berjalan bersama menuju ruangan. Para pelayan menyajikan teh hangat. Ketiga orang itu menundukan kepala sibuk berpikir masing-masing. Mereka diam menyaksikan uap panas dari cangkirnya masing-masing.

 

Yaotian yang memiliki status paling penting secara alami duduk di tempat utama. Ia menoleh ke samping, Pingting duduk di sebelahnya, memperhatikannya beberapa saat. Lalu ia tersenyum, “Lagu yang dimainkan Nona Bai barusan sangat indah. Apa judulnya?”

 

Pingting meletakan cankirnya. Sikapnya sopan ketika ia menjawab, “Judulnya Sembilan Hari.”

 

“Sembilan Hari?” Yaotian mengulanginya ketika menyebutkan judulnya. Ia mengangguk, “Iramanya bagus, begitu juga judulnya.”

 

“Terima kasih Putri.”

 

“Bisakah kau mainkan lagi?”

 

Sebelum Pingting menjawabnya, He Xia segera meletakan cangkirnya. Ia berkata dengan penuh perhatian, “Apakah Putri sudah makan malam? Aku tahu Putri akan datang, jadi aku meminta koki untuk membuatkan makanan ringan khas Gui Li. Bukankah Putri ingin mecicipinya lagi setelah mencobanya terakhir kali?”

 

Ia menepuk tangannya dua kali, memanggil pelayan. Dan memberitahunya, “Cepatlah, sajikan hidangan yang telah disiapkan, dan bawakan sebotol arak yang kubawa pulang.”

 

Tak lama kemudian, makanan ringan dan arak telah siap di meja. Hidangan itu jelas dibuat oleh koki hebat Gui Li dan mereka masih hangat. Mungil, bunga berwarna-warni juga di letakan di atas setiap hidangan. Lima hidangan ditata secara elok di atas piring. Setiap piring memiliki warna yang berbeda di atasnya, menandakan isi didalamnya benar-benar berbeda.

 

He Xia membubarkan para pelayan dan ia sendiri yang menuangkan arak ke cangkir Yaotian. Yaotian memandangnya dan memandang Pingting yang ekspresinya sulit di tebak. Lalu ia dengan patuh mengangkat cangkirnya dan meminum araknya. He Xia bersiap menyantap dua hidangan, ia melihat Pingting dengan ekspresi tenangnya.

 

“Pingting, kau boleh memakannya.” He Xia menatap Pingting.

 

Dimeja disamping Pingting sudah tertata rapi sekitar tiga atau empat hidangan. Ia menundukan kepalanya, memeriksanya dan menggelengkan kepalanya, “Tuan lupa kalau Pingting tidak suka pie apel.”

 

“Tentu saja aku ingat.” He Xia menjawab, “Apakah kau tidak menyadari jejak parutan wortel? Isi apelnya sudah diganti dengan wortel ditambah dengan madu.”

 

Pingting mengangkat tangannya dan membelahnya menjadi dua. Benar-benar berisi wortel di dalamnya dan tercium bau madu. Ia perlahan memasukannya ke mulutnya, dan matanya bersinar, “Rasanya lebih baik daripada sebelumnya, apa yang Tuan tambahkan?”

 

He Xia menatap Yaotian sebelum menjawabnya, “Tak banyak, hanya menggunakan madu segar. Ibukota Yun Chang dekat dengan pegunungan bersalju, jadi madu ini berasal dari lebah yang tidak takut dingin.”

 

Rasa hidangan yang enak dan kerinduan akan rumah membuat Pingting melahap hidangan itu dalam satu suapan besar. Ia memakan habis semua lima hidangan yang tersedia di mejanya. Tanpa ragu ia memenuhi perutnya yang kosong. Ia lalu melihat kearah hidangan di meja He Xia tapi tak berkata apapun.

 

“Hanya untukmu yang berisi wortel. Yang punya kami tidak. Kalau saja aku tahu kau akan begitu menyukainya, aku akan meminta kepala koki membuatkan lebih banyak.” Pandangan He Xia beralih ke arah Yaotian dan berkata dengan penuh perhatian, “Putri menyukai rasa hidangan yang disajikan koki waktu itu, jadi punya untuk Putri kuminta disiapkan hidangan yang sama. Atau Putri ingin mencoba yang rasa wortel?”

 

Ekspresi Yaotian terlihat samar ketika ia tersenyum. “Aku suka apel.” Lalu ia mengambil guci air yang berada di atas meja.

 

He Xia berniat menuangkan, tapi terlambat. Pingting sudah mengambil alih guci dan menuangkannya di cangkir Yaotian. Sebuah senyuman kecil yang hangat muncul di wajahnya. “Salju sudah berhenti dan bulan akan segera bersinar. Mengapa kita tidak membuka jendela dan membiarkan sinar bulan masuk, lalu Putri bisa meminum teh sambil menikmati permainan kecapi Pingting untuk menghilangkan rasa penat.”

 

“Hmm, sepertinya itu rencana yang bagus.” Yaotian mengangguk dan memanggil pelayan untuk membuka jendela. Terang di musim dingin lebih pendek, gelap sudah datang ketika mereka memasuki ruangan. Dan sepertinya esok cuaca akan cerah, karena bulan dan bintang bersinar jernih.

 

Sinar disekitar lingkaran bulan bercahaya sangat tebal.

 

Para pelayan dengan cekatan menyiapkan meja dan membawakan kecapi. He Xia sendiri yang meletakan kecapi di atas meja dan menatanya dengan rapi.

 

Pingting membakar dupa seperti biasanya dan membasuh tangannya, sebuah keanggunan terlihat di wajahnya. Ia duduk di depan kecapi, menarik napas panjang dengan mata terpejam. Ia meletakan jari-jarinya di atas senar dan mulai memetiknya.

 

Senar-senar itu mulai mengeluarkan suara rendah seperti sedang menghapus airmata.

 

Yaotian mendengarkan dengan baik, dan berkata, “Sungguh kecapi yang bagus. Tak heran suamiku rela mendapatkannya dengan harga tinggi.”

 

Ia menatap pada He Xia, lalu berseru sambil menghela, “Hanya kecapi bagus yang pantas dimainkan oleh seorang Bai Pingting.”

 

He Xia membalas Yaotian dengan senyum manja tapi tidak berkata apapun, dengan tatapannya yang lembut ia menyentuh hati Yaotian.

 

Pingting selesai mencoba suara kecapinya dan ia sudah cukup tenang. Ia menaikkan kepalanya dan berkata, “Putri ingin mendegar music yang seperti apa?”

 

“Memilih sebuah lagu merupakan tugas yang sulit untukku, sebaiknya diserahkan pada seseorang yang sangat mengenal permainan kecapi.” Yaotian menoleh lembut pada He Xia dan memohon, “Tolong pilihkan sebuah lagu untukku, suamiku.”

 

He Xia bepikir sejenak, dan ia berkata, “Bagaimana kalau Suara Musim Semi ?”

 

Pingting mengangguk, memejamkan matanya untuk berkonsentrasi. Ia mengumpulkan ingatannya dan perlahan membuka matanya. Sebuah sinar kepercayaan diri terlihat di matanya.

 

Ia meletakan jari-jarinya di atas senar dengan lembut dan mulai memetiknya dengan sangat lihai.

 

Iramanya berbeda dengan yang sebelumnya. Penuh semangat hidup, suara gembira yang bermain di telinga.

 

Suasana ruangan dipenuhi oleh semangat.

 

Suara kecapi terdengar dimana-mana. Meskipun musim dingin, udara dingin sepertinya bersembunyi. Waktu seperti berputar dengan cepat, membuat mereka berpikir kalau musim dingin telah berakhir dan musim semi telah tiba.

 

Seperti ketika hujan di musim semi, dengan lembut melukis kehidupan di tembok-tembok.

 

Tanpa dikotori oleh ketamakan, tanpa dipenuhi kekhawatiran.

 

Segalanya hanya keceriaan.

 

Burung-burung berkicau dan terbang melewati hutan, rumput-rumput liar bermunculan dari tanah yang basah karena salju yang mencair. Segalanya siap dengan kehidupan baru.

 

Lalu sunyi, binatang-binatang kecil mengintip keluar dari gua-gua mereka. Mereka berlari keluar, menyambut hutan yang mulai mekar dengan malu-malu.

 

Setiap jejak musim semi di hadirkan dengan mendetil melalui suara kecapi. Bahkan udarapun dipenuhi harum manis dari tanah.

 

Setiap orang di ruangan mendengarkan, terpikat dan terpesona oleh suasana musim semi.

 

Irama kecapi mulai melambat, seperti hendak berakhir.

 

Burung-burung kembali ke sarang mereka, binatang-binatang kecil sudah kelelahan dan mencari tempat untuk beristirahat dekat sungai kecil. Rumput-rumput sudah tumbuh tinggi hanya dalam satu hari, pohon-pohon tua menyaksikan mereka dari atas, tersenyum bangga. Seekor tupai menggelung tubuhnya di balik daun-daun, terlelap.

 

Setelah melakukan kegiatan dengan bersemangat, sekarang waktunya beristirahat.

 

Setelah sunyi agak lama, Yaotian akhirnya bersuara. Ia memuji dengan tulus, “Aku sungguh terkejut dunia memiliki suara kecapi yang begitu indah. Aku yakin bahkan terdengar lebih indah oleh Suamiku yang memiliki telinga lebih baik dariku, dan yang juga merupakan sahabat Nona Bai sejak kanak-kanak.”

 

Pingting menerima pujiannya tapi tidak memperlihatkan sikap bangga. Ia menjawab dengan sopan, “Pingting sekarang tinggal di Kediaman ini. Kalau Putri ingin mendengarkan permainan kecapi, Putri bisa memanggil Pingting kapan saja.”

 

Yaotian menerima perkataan Pingting, ia mengangguk dan tersenyum, “Perkataanmu sangat baik, bisakah kau memainkan beberapa lagu lagi?”

 

“Tentu saja. Putri ingin mendengar apa laig?”

 

Yaotian berpikir sejenak, lalu ia berkata, “Karena tadi sudah merasakan Musim Semi, bagaimana kalau musim lainnya? Apakah ada juga ?”

 

“Tentu saja ada. Warna-Warni Musim Panas, Serangga Musim Gugur, dan Puisi Musim Dingin.”

 

“kalau begitu…” Yaotian berkata dengan tenang, “Mainkan semuanya.”

 

Pingting menjawabnya, ia menegakkan posisi duduknya, menaikkan pundaknya, meletakan tangannya di atas kecapi, dan mulai memainkannya.

 

Irama kecapi keluar dari ukiran-ukiran unik yang di pahat di atas pintu dan jendela, menggantung di udara sekitar ruangan Kediaman Suami Ratu yang luas.

 

Suara Musim Semi, Warna-Warni Musim Panas, Serangga Musim Gugur dan Puisi Musim Dingin.

 

Musim Semi penuh dengan keindahan, Musim Panas dipadati warna-warni bunga yang bermekaran, suara serangga memenuhi Musim Gugur, dan Musim Dingin yang sunyi.

 

Di pavilium untuk menikmati bunga di kediaman Jin Anwang, Pingting telah menyusun nada-nadanya sementara He Xia memikirkan dan memutuskan setiap judulnya.

 

Suara Musim Semi mengalir dengan cepat, Musim Panas berlalu, dan Musim Gugur hampir selesai, berakhir dengan anggun.

 

Suara kecapi seakan telah membuka tembok kediaman dan membiarkan udara diluar masuk. Meskipun suara kecapi sudah berhenti agak lama tapi para pendengarnya masih terpukau dan melupakan dimana mereka sekarang berada.

 

Memainkan kecapi sangat melelahkan. Pingting berhasil menyelesaikan tiga lagu. Wajahnya terlilat sangat kelelahan tapi Pingting menyentuh kecapinya lagi dan berusaha memainkan lagu Puisi Musim Dingin.

 

He Xia sepertinya agak khawatir. Ia segera berdiri dan menghentikannya. Ia berbalik menghadap Yaotian, “Putri, sekarang sedang musim dingin dan lagu ini hanya akan membuat udara semakin dingin. Lagu ini tidak begitu cocok dimainkan saat ini, tidak seperti yang lainnya. Bagaimana kalau kita simpan dan cukup mengenang yang tadi sudah didengar.”

 

“Suamiku berkata benar.” Yaotian menganggukkan kepalanya meskipun rasa penasarannya masih belum terpenuhi. Ia perlahan berkata, “Dua lagu terakhir sangat berciri khas, tapi melihat karakternya, aku lebih suka Sembilan Hari yang kudengar di halaman.”

 

Pingting tersenyum sebelum He Xia sempat menyela, “Kalau begitu kita ganti Puisi Musim Dingin dengan Sembilan Hari, jadi Putri bisa menyegarkan ingatan.”

 

He Xia berpikir, Yaotian pasti bisa melihat Pingting sangat kelelahan dan berharap Yaotian akan menolaknya. Tapi ternyata Yaotian mengangguk sambil tersenyum, “Baiklah.”

 

He Xia tidak suka, tapi ia memutuskan diam. Sinar matanya menandakan ia sedang berpikir tapi ekspresi wajahnya tidak berubah ketika ia dalam diamnya duduk dan ikut mendengarkan.

 

Dan Pingting, ia duduk tegak mengangkat jari-jarinya ke atas senar dan mulai memetiknya.

 

Petikan senar mulai bergetar dan mengeluarkan irama yang indah, tapi tidak sejernih yang seharusnya. He Xia mulai sangat khawatir dengan ini tapi ia tetap diam, sampai nada tinggi mulai muncul dan tidak beraturan.

 

Pingting bernapas dengan berat. Pundaknya bergetar beberpa kali dan akhirnya ia terjatuh ke belakang. He Xia segera bangkit dari kursinya dan menahan Pingting yang hampir terjatuh. Wajahnya menjadi pucat, “Pingting! Pingting!”

 

“Apa yang terjadi?” Yaotian sangat terkejut. Ia segera berdiri dan melihat Pingting.

 

He Xia tidak menjawab. Ia menarik tangan Pingting dan membuatnya dalam posisi duduk. Lalu ia membopongnya sepanjang koridor dan meletakannya di tempat tidur. Setelah itu ia berguman pada Yaotian, “Nadinya sangat kacau. Ia mungkin terlalu lelah karena perjalanan kereta yang bergelombang.”

 

Yaotian terkejut mendengarnya. Dan ia berkata, “Aku seharusnya tidak menyuruhnya bermain kecapi.” Sebuah ekspresi menyesal muncul di wajahnya.

 

Dan yang mengejutkan He Xia tidak menenangkannya seperti biasanya. Ia hanya berkata, “Ia akan baik-baik saja setelah minum obat dan beristirahat beberapa hari.” Lalu He Xia mengambil kuas di meja kerja dan menuliskan resep. Ia menyerahkannya pada pelayan yang segera pergi untuk menyiapkannya.

 

He Xia sibuk beberapa saat, ia khawatir kalau langkah kakipun bisa mengganggu istirahat Pingting. Ia sendiri yang menyelimutinya dan menutup tirai tempat tidur. Lalu setelah itu ia berbalik melihat Yaotian yang berdiri di belakangnya.

 

Akhirnya perhatiannya mulai kembali kepada istrinya. Ia berkata dengan pelan, “Apakah Putri lelah? Ruangan Putri sudah dipersiapkan dan wewangian sudah dipasang, mohon Putri beristirahat disana? Aku akan segera menyusul.”

 

“Putri…”

 

“Kita sudah suami istri. Kita akan bersama untuk waktu yang lama.” Yaotian lalu berbisik, “Kau seharusnya beristirahat seharian setelah kepulanganmu. Tidurlah dengan nyenyak malam ini.” Lalu tatapannya jatuh ke sosok anggun yang sedang terbaring di tempat tidur.

 

Lalu He Xia berkata dengan lembut, “Kalau begitu aku akan menemuimu besok pagi-pagi sekali di istana.”

 

Meskipun suaranya lembut dan sopan seperti biasanya, dan ekspresinya juga tulus. Tapi bagi Yaotian, kata-kata He Xia seperti merasa lega.

 

“Kalau begitu aku pergi sekarang.”

 

“Aku akan menemani Putri sampai istana.”

 

Hati Yaotian terasa perih tapi ia menahan ekspresinya tetap datar, mengingat statusnya. Ia mengelengkan kepalanya, “Tidak perlu.”

 

Kata-katanya kasar dan ia tahu He Xia mendengarnya. He Xia mengepalkan tangannya dan matanya menatap Yaotian.

 

Yaotian merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Ia menyadari He Xia sangat penting baginya dan kalau ia menampilkan tingkah menjengkelkan atau istri yang senang mengomel, maka ia tak akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan hati He Xia sepanjang hidupnya. Ia segera menyembunyikan rasa kesalnya dan berbalik. “Semua melihat, kita sudah menikah tapi suamiku masih saja menemaniku kesana kemari seakan aku seorang tamu disini.”

 

He Xia terkekeh sedikit. “Putri berpikir terlalu jauh. Kita sudah menikah, tentu saja bukan tamu. Kalau kau takut ditertawakan orang, setidaknya biarkan aku menemanimu sampai pintu gerbang.”

 

Yaotian tidak membantah lagi, ia tersenyum manis dan membiarkan He Xia mengenggam tangannya.

 

Sepasang kekasih itu berjalan sampai pintu gerbang utama. He Xia berkata dengan lembut, kata-katanya ramah, ia menyisipkan setangkai bunga dan sebuah senyum terukir di wajah Yaotian.

 

Penjaga istana sudah menyiapkan kereta, dan arah menuju pulang sudah terang oleh cahaya lilin, bersinar terang seperti senja.

 

He Xia membantu Yaotian menaiki keretanya, mengatakan beberapa kalimat lagi lalu berdiri di sisi kereta, menyaksikan rombongan Yaotian berjalan kearah istana di kesunyian malam.

 

Ketika kereta sudah sangat jauh, hanya berupa bentuk titik di kejauhan, akhirnya He Xia masuk ke dalam.

 

Sudah larut malam, dan sekitarnya sangat sunyi.

 

Seperti saat permainan kecapi Pingting berhenti, sangat sepi.

 

He Xia tidak menuju kamar tidurnya, ia terus melangkah hingga tiba di kamar Pingting. Ia memasuki ruangan dan melihat pelayan Pingting berdiri disamping tempat tidur dengan takut. Ketika si pelayan melihat wajahnya dengan jelas, ia segera berlutu, “Tuan.” Kekhawatiran terlihat di kedalaman mata si pelayan.

 

He Xia mengenalinya, ia pelayan yang di bawa Pingting. Ia menatapnya, tidak memperdulikannya, ia mendekat untuk melihat wajah Pingting yang sedang berbaring di tempat tidur.

 

Tatapan He Xia menjadi lembut.

 

Zuiju selau menemani Pingting, ia tahu kalau tempat tidur He Xia disisi lain kediaman, dan sama sekali tidak menduga kalau He Xia akan berkunjung di jam seperti ini.  Melihat He Xia berjalan ke samping tempat tidur, Zuiju mau tak mau bergerak ke samping. Lagipula ia adalah pemilik tempat ini.

 

He Xia sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran si pelayan. Ia duduk disamping tempat tidur, perlahan memperhatikan wajah pucat Pingting. Terlihat sangat kurus.

 

Lalu He Xia perlahan menyentuh wajah Pingting dengan lembut.

 

Zuiju memperhatikannya, tangannya terkepal kuat dan jantungnya berdetak sangat kencang.

 

Seorang pria dan wanita di tengah malam, di tempat tidur. Sungguh tidak pantas, bahkan langitupun akan merasa malu.

 

Zuiju memperhatikan setiap gerakan He Xia. Setiap sentuhannya di sekitar tubuh Pingting, membuat Zuiju sangat gugup. Zuiju sungguh berharap jari-jari He Xia akan berhenti secepatnya, sebelum ia mulai meraba bagian-bagian yang mengerikan.

 

Tuan Besar, apa yang harus kulakukan?

 

Kalau kau tidak datang, badai akan mengamuk.

 

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Zuiju merasa kesal dan marah pada Chu Beijie.

 

Dan ketika Zuiju merasa sangat gugup sehingga ia tak mampu bernapas lagi, He Xia akhirnya berhenti menyentuh wajah Pingting dan berdiri disamping tempat tidur. Zuiju menghela napas lega, merasa kalau He Xia sudah cukup puas, dalam hatinya ia sungguh berharap He Xia akan segera pergi. Ia sungguh tidak menduga kalau ternyata He Xia malah berbalik dan melepaskan tali pinggangnya, bersiap melepaskan pakaiannya.

 

Mata tajam He Xia menatap wajah Zuiju yang menjadi pucat, ia berguman, “Mengapa kau hanya melihat? Apa kau tidak tahu bagaimana membantu melepaskan pakaian?”

 

Pingting masih diperlakukan sama seperti ketika di Kediaman Jin Anwang, pelayan yang selalu riang dan bebas melakukan apapun yang ia inginkan. Dan sebagai hasilnya para pelayan Pingting mematuhinya tanpa berkomentar.

 

“Melepas pakaian?” jantung Zuiju seperti terhantam petir, ia melirik pada Pingting yang sendirian dan tanpa pertahanan di tempat tidur. Ia mengigil sampai ke tulang belakang.

 

“Tuan… ingin melepas pakaian disini?”

 

“Benar.” He Xia menjawab. He Xia melihat kalau si pelayan sepertinya kurang bisa membantunya, ia memutuskan untuk melakukannya sendiri, ia melepaskan pakaian luarnya. Ia tidak berkomentar melihat sikap si pelayan, bagaimanapun ia pelayan Pingting.

 

Zuiju menyadari kalau He Xia berniat tidur disini, ia sungguh gelisah seperti semut di dalam panci penuh air mendidih. Meskipun ia berteriak, semua penghuni disini pasti mematuhi perintah He Xia. Patut diingat ia adalah seorang He Xia, seseorang yang tidak bisa dihentikan baik oleh dirinya maupun Pingting sendiri.

 

Tuan Besar! Apa yang harus kulakukan?

 

“Sekarang sudah sangat larut, kau boleh pergi tidur.” He Xia memerintahkannya.

 

“Baik…”

 

Meskipun Zuiju berkata iya, tapi kakinya menolak untuk pergi. Ia mengigit bibirnya dan dengan gugup memperhatikan sekitarnya. Tatapannya berhenti sejenak ke sebuah batu. Ia segera menyusun rencana dan memutuskan kalau Pingting berada dalam masalah ia akan memukulkan batu itu ke kepala He Xia.

 

He Xia seorang petarung, dengan refleknya yang cepat, sepertinya rencana itu akan gagal dan ia akan kehilangan nyawanya. Zuiju berharap setidaknya tidakannya bisa menghilangkan niat He Xia.

 

Yang terjadi sekarang, seorang wanita lemah tak berdaya sedang berhadapan dengan seorang pria kuat. Zuiju Putus asa karena, seluruh pengetahuannya tentang pengobatan, yang mampu menyelamatkan banyak nyawa, sama sekali tidak berguna saat ini. Apa yang bisa dilakukannya?

 

Setelah berpikir begitu rumit, ia melangkah mendekati batu itu.

 

He Xia sudah duduk di samping tempat tidur, melepaskan sisa pakaian yang masih melekat di tubuhnya. Melalui tirai Zuiju melihat He Xia sudah berbaring di samping Pingting. Zuiju memanfaatkan kesempatan ini untuk menyembunyikan batu di lengan bajunya dan maju perlahan.

 

Pingting sepertinya merespon gerakan He Xia. Ia berguman, “Hm” dan bergerak memeluknya. Zuiju membulatkan tekadnya, ia bersiap melemparkan batu kapanpun Pingting berteriak. Dalam kesunyian, Zuiju bisa mendengar Pingting berguman, “Tuan Muda?” kata-katanya berhenti sejenak, “Kenapa Tuan disini?”

 

“Akan lebih hangat kalau aku memelukmu.” He Xia berkata.

 

Zuiju melihat sebuah gerakan terlihat dari balik tirai. Sekarang He Xia sedang memeluk Pingting. Zuiju sangat tegang, ia mendengarkan dengan seksama, tapi Pingting tidak bersuara, ia malah tertidur pulas.

 

Zuiju tetap menyembunyikan batu di balik lengan bajunya, tanganya basah dengan keringat. Ia menungg sebentar sampai akhirnya terdengar suara napas yang teratur. Mereka berdua sepertinya sudah tertidur pulas.

 

Zuiju masih tidak yakin dan dengan hati-hati sekali menyibak tirai untuk mengintip ke dalam.

 

Pingting dan He Xia berbaring di tempat tidur, dibawah selimut yang sama, saling berpelukan. Mereka tidur dengan tenang, mata mereka terpejam rapat, tidak saling mencurigai satu sama lain. Mereka tertidur seperti anak kecil.

 

Zuiju menatap mereka untuk waktu yang lama sampai akhirnya detak jantungnya mulai tenang. Ia sungguh heran, Apa yang sedang terjadi?

 

Ia menarik tangannya dari tirai, memperhatikan dua sosok itu dari luar, dibalik tirai tipis kelambu tempat tidur. Ia berpikir sejenak dan memutuskan untuk tetap berjaga. Ia memegang batunya dan berlutut di samping tempat tidur.

 

Setelah bertahan selama dua jam, kelelahannya semakin kuat dan semakin kuat sampai akhirnya matanya tak bisa bertahan lagi.

 

-00-


Home

novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia