Salju
baru saja berhenti ketika He Xia tiba di kediamannya.
Ia
baru tiba tengah malam dan pagi-pagi sekali dihari berikutnya ia sudah harus
menemui Tuan Putri di istana. Dilanjutkan dengan pertemuan bersama para Jendral
untuk membicarakan masalah Dong Lin. Tubuh bajanya tetap saja merasa lelah.
Matanya
terpaku pada kediaman di depannya, megah dan mewah tapi terlihat sepi. Sejak
kembali dari istana, ia merasa lebih terikat pada kediamannya tapi ia juga
merasa enggan dan takut.
Perasaan
ini disebabkan oleh satu orang.
Pingting
berada disana. Matanya sering mencari warna yang sering dipakai dan disukai
Pingting. Ia terkadang menata sebuah tempat yang bisa mewakili Pingting.
Pingting
tidak pernah berniat mempengaruhi seseorang, atau menangkap hati mereka. Ia
adalah pribadi yang selalu bermalas-malasan dan bersantai, melupakan sekitarnya
dan juga orang-orangnya.
Tapi
He Xia pengecualian.
Berkat
ikatan selama lima belas tahun tumbuh bersama, He Xia berhasil mempengaruhi
Pingting, menangkap hatinya. Pingting selalu menyadari ketika perasaannya
sedang tidak baik, entah saat tubuhnya sakit atau emosinya kacau. Sepasang mata
cerdik itu perlahan akan berputar dua kali dan segera meringankan masalahnya.
Pingting akan segera merencanakan sesuatu untuk membantunya, apakah
berjalan-jalan di taman, atau memainkan kecapi atau membuat sebuah candaan.
Biasanya
kalau ia tetap muram setelah bujukan Pingting, ia akan mengambil pedangnya dan
mulai memainkannya. Dan Pingting, ia akan segera mengganti bajunya dengan yang
berlengan panjang dan menemaninya dengan sabar dan lembut dalam “Sembilan Hari”
permainan.
Begitu
mereka berdua terkait, sebuah mistery menjadi bunga yang mekar.
Tak
banyak pria dibawah langit ini, yang memiliki berkah seperti itu.
Berkah
itu hanya milik He Xia.
Tapi
ketika mata Pingting beralih dari He Xia. Ia baru menyadari kalau tatapan
Pingting adalah hal yang sangat berharga.
Bukan
suara kecapi atau nyanyiannya, bukan tarian, bukan tawanya yang menawan. Tapi
kepastian keberadaannya adalah yang paling berharga.
Langit
telah memutuskan kalau berkah yang ia miliki harus menghilang suatu hari.
Bagaimana
mungkin ia patuh begitu saja menyerahkannya pada Chu Beijie tanpa perlawanan?
Orang itu adalah musuh negaranya, orang yang telah menyusun rencana licik
dengan aksi menyerahnya yang palsu, Tuan Besar Zhen Beiwang yang telah
memancing He Su untuk menghancurkan Kediaman Jin Anwang, orang yang telah
meninggalkan pedang ‘Jiwa Yang Terpisah’ dan orang yang telah menculik
Pingting.
Langkah
kaki yang ia lakukan perlahan melambat.
Gerbang
pintu sangat tinggi. Itu adalah gerbang kediamannya, tapi terlihat lebih tinggi
dari biasanya, gerbang itu akan tertutup dan menjadi penjara yang kokoh.
Ia
dengan sukarela memasukinya, tapi tidak berarti ia berniat tinggal didalamnya
selamanya.
He
Xia menundukkan kepalanya dan melihat pedangnya berada di sebelah kirinya.
Tangannya penuh kekuatan dan lentur. Ia tahu bagaimana dengan pintarnya
memilih, memotong dan menusuk jalannya untuk menuju kemenangan.
Empat
negara sekarang sedang kacau.
Kekacauan
adalah tempat bermain seorang pahlawan.
Ia
lahir sebagai seorang Jendral di dalam Kediaman Jin Anwang, membuatnya memiliki
status luar biasa untuk memperhatikan segala situasi. Ia terlahir sangat
pintar, seseorang yang seharusnya duduk di tempat paling tinggi, diatas
segalanya.
Tapi
seseorang telah memasuki wilayahnya, Chu Beijie yang juga seorang bangsawan. Ia
juga berbakat dengan sastra dan kekuatan, seorang pahlawan bagi negaranya yang
mampu memimpin pasukan dengan gagah berani.
He
Xia dan Chu Beijie seperti dua pemain kecapi terkenal Gui Li, Yangfeng dan
Pingting. Nama mereka terkait satu sama lain sepanjang hidup mereka.
Yangfeng
dan Pingting juga teman sejak kecil.
Tetap
saja mereka berdua di takdirkan untuk bermusuhan.
Pingting
telah kembali, dan Chu Bejie tak bisa memilikinya kembali. Seperti Pingting,
Chu Beijie takkan bisa menemukan jalannya selamanya.
Sebuah
warna melintas di mata He Xia. Ia menggerakkan kakinya dan melangkah melewati
gerbang Kediaman Suami Ratu.
Ia
bergegas memasuki ruang utama dan berbelok ke koridor menuju kolam, ketika ia
sampai di dinding batu. He Xia berbalik dan menatap sosok yang berdiri di
sebrangnya.
Ada
sebuah meja di pavilium. Dan sebuah kecapi telah diletakan di atasnya, disampingnya
sebuah dupa telah dibakar. Pingting duduk di depan kecapi, mengelus ujung
kecapinya. Sepertinya ia berusaha menghapus jejak keringat yang tertinggal disana
sampai terhapus bersih.
Melihat
ini, He Xia teringat, sudah sangat lama sekali sejak terakhir ia mendengar
Pingting memainkan kecapi.
Ia
selalu duduk yang paling dekat dengannya, menyaksikannya disampingnya.
Jari-jarinya yang anggun dengan lincahnya menghasilkan nada-nada dari kecapi
kuno yang bergetar ringan. Kecapi itu mengeluarkan suara yang memukau,
terkadang seperti anak panah yang menghentikan angin begitu ditembakkan ke
langit.
Bahkan
awanpun ikut terbelah dua.
Sungguh
sudah lama sekali terakhir ia mendengar Pingting bermain kecapi.
Ia
tidak berani mengusik Pingting dan perlahan bersandar ke dinding tembok batu,
bersiap untuk mendengar irama kecapi yang biasa di dengarnya. Suara yang selalu
menenangkan hatinya yang letih, yang selalu merindukan rumah.
Pingting
sepertinya sudah siap memainkan kecapinya. Ia menundukkan kepalanya ketika
jari-jarinya mulai memetik senar. Ia seperti memikirkan sesuatu tapi mungkin
juga tidak, hanya saja jari-jarinya tiba-tiba berhenti di atas senar yang
tipis.
Dupa
terbakar dengan rapi, merah gelap berkelip. Tiba-tiba merahnya meredup,
berkelip beberapa kali dan menghilang.
“Mengapa
kau berhenti?” He Xia berjalan dari keteduhan dinding batu, melangkah melalui
batu-batu bata yang diletakan di atas salju sampai akhirnya ia tiba di
pavilium.
Pingting
sepertinya tidak mendengarnya, ia hanya menatap kecapinya.
“Kecapi
ini, aku mengirim seseorang khusus membelinya di Gui Li. Kau suka?”
Tak
peduli seberapa ramah ia berkata, tidak ada jawaban.
Sejak
menaiki kereta, Pingting tak pernah mengucap sepatah katapun padanya.
Orangnya
telah kembali, tapi hatinya tertinggal dan terlupakan di Dong Lin.
Setelah
beberapa saat, He Xia menghela napas. “Mintalah apapaun yang kau inginkan dari
dapur. Ada dua koki Gui Li di kediaman ini, mereka sangat ahli membuat daging
pangang bawang putih dan acar.” Ia berencana kembali ke kamarnya setelah
mengatakan hal ini. Tapi setelah beberapa langkah, ia berbalik, “Aku sudah lama
sekali tidak mendengar suara kecapimu.” Suaranya sangat lembut dan ia hendak
berbalik lagi untuk pergi.
“Aku
juga…. Sudah lama sekali tidak melihat jurus pedang Tuan di atas salju.”
Sangat
pelan, hampir berbisik, suara yang terdengar di belakangnya.
He
Xia berbalik dengan terkejut, matanya bersinar gembira, “Kau ingin melihatnya?”
Pingting
menghindari tatapannya, dan berkata sambil menghela napas, “Tidakkah Tuan
merasa lelah, Tuan baru tiba kemarin malam dan pergi pagi-pagi sekali.”
He
Xia menatapnya. Bibirnya tersenyum kekanakan, “Bagaimana mungkin aku merasa
lelah, ketika kau menyaksikanku?”
Pedangnya
perlahan dikeluarkan dari sarungnya seperti naga yang memasuki air, dengan
lembut meluncur menimbulkan riak diatasnya.
Pedang
itu sepertinya mampu memotong awan sampai menjatuhkan air hujan atau
menimbulkan cahaya petir di hadapan mereka.
Pingting
tetap duduk di pavilium, menyaksikan dengan diam.
Matanya
seperti asap tipis. Ketika He Xia menatapnya, semua rasa lelah dan letihnya
menghilang.
Pedang
He Xia bergerak dengan bebas di udara. Mata Pingting mengikuti gerakannya
dengan ketat.
Saat
itu, rasanya Kediaman Jin Anwang yang megah telah kembali.
Tidak
ada yang berubah.
Ayah
dan ibunya, rumahnya dan tekadnya untuk melindungi semuanya, utuh kembali.
Hari
tidak berganti, musim tidak berlalu, dan kematian tidak terjadi.
Pedang
He Xia mengayun, dengan mudahnya mengembalikan kenangan masa lalunya.
Angin
utara yang dingin tak mampu menghentikan kebangaan He Xia setelah ia
menyelesaikan jurusnya. Ia berkeringat dan menggunakan lengan bajunya untuk
menyekanya. Ia tertawa, “Lagi!” Pedangnya mulai mengapung ke atas, tapi
tiba-tiba berhenti. Gayanya berubah. Seperti naga yang siap naik ke langit. Ini
kesukaan jurus pedang Jin Anwang kesukaan Pingting.
Ping!
Seperti
naga yang berjalan di empat penjuru mata angin, suara kecapi yang tak diduga
mulai berbunyi, turut mengguncang pedang.
He
Xia sangat gembira mendengarnya. Gerakannya terus berlanjut. Ia berbalik, arah
pedangnya berubah sekali lagi. Suara kecapi semakin cepat seakan memanggil naga
dengan nada tinggi.
Gerakan
pedang mengikuti irama kecapi dengan keserasian luar biasa, sangat sempurna.
Setelah
semua jurus pedang Jin Anwang dilakukan, Pingting memulai irama “Sembilan
Hari.”
Setelah
jurus pedang terakhir selesai, suara kecapi juga ikut berhenti.
Kedua
pasang mata bertatapan di udara, suasan akrab yang hangat muncul kembali.
Pingting kau sama
sepertiku, tak mampu melupakan masa lalu.
Hatimu masih
memiliki Jin Anwang, masih ada Tuan Muda Jin Anwang.
Setelah berpisah
dari Chu Beijie, siapa lagi yang mampu melindungi hatimu?
Kau masih sama!
Di
dunia putih ini, kesunyian tiba-tiba menghilang.
Tak
ada yang tahu berapa lama tatapan terpisah. Mata Pingting bergeser ke arah
belakang He Xia.
He
Xia menyadarinya dan berbalik.
Sebuah
sosok elok terlihat di matanya.
Yaotian
dalam balutan gaun unggu mewahnya, ditemani mantel bulu putih di pundaknya.
Kulitnya seperti mutiara. Dan sebuah mahkota yang indah di kepalanya. Kalung
batu permata melingkar di sekitar lehernya.
Bibinya
merah cerah, dan matanya bersinar seperti bintang.
Delapan
pelayan telah menundukan kepalanya, berbaris di belakangnya.
Ketika
He Xia berbalik, Yaotian tersenyum. Ia memuji, “Ini pertama kalinya Yaotian
melihat suami berlatih pedang di tengah salju.” Tatapannya melewati He Xia.
Suaranya sangat lembut, “Dan musik yang luar biasa dari salah seorang pemain
kecapi terkenal Gui Li. Aku sudah mendengar kemasyhuramu, Nona Bai.”
“Putri.”
Tangan Pingting yang seputih batu giok perlahan meninggalkan kecapi dan berdiri
dari kursinya, berjalan keluar dari pavilium. Menghampiri Yaotian dan
membungkuk padanya.
Ekspresi
He Xia berubah, ia segera menoreh senyum di bibirnya, “Mengapa Putri datang di
jam seperti ini?” ia menyarungkan pedangnya, berjalan ke arah Yaotian dan
mengenggam tangannya. “Mengapa kau tidak memanggilku dan hanya berdiri di
tengah salju di udara sedingin ini.”
“Melihat
pemandangan, jurus pedang ditemani irama kecapi, sangat langka. Mengapa aku
harus merusaknya?” Yaotian membiarkan He Xia menggenggam tangannya.
Dan
mereka semua berjalan bersama menuju ruangan. Para pelayan menyajikan teh
hangat. Ketiga orang itu menundukan kepala sibuk berpikir masing-masing. Mereka
diam menyaksikan uap panas dari cangkirnya masing-masing.
Yaotian
yang memiliki status paling penting secara alami duduk di tempat utama. Ia
menoleh ke samping, Pingting duduk di sebelahnya, memperhatikannya beberapa
saat. Lalu ia tersenyum, “Lagu yang dimainkan Nona Bai barusan sangat indah.
Apa judulnya?”
Pingting
meletakan cankirnya. Sikapnya sopan ketika ia menjawab, “Judulnya Sembilan
Hari.”
“Sembilan
Hari?” Yaotian mengulanginya ketika menyebutkan judulnya. Ia mengangguk,
“Iramanya bagus, begitu juga judulnya.”
“Terima
kasih Putri.”
“Bisakah
kau mainkan lagi?”
Sebelum
Pingting menjawabnya, He Xia segera meletakan cangkirnya. Ia berkata dengan
penuh perhatian, “Apakah Putri sudah makan malam? Aku tahu Putri akan datang,
jadi aku meminta koki untuk membuatkan makanan ringan khas Gui Li. Bukankah
Putri ingin mecicipinya lagi setelah mencobanya terakhir kali?”
Ia
menepuk tangannya dua kali, memanggil pelayan. Dan memberitahunya, “Cepatlah,
sajikan hidangan yang telah disiapkan, dan bawakan sebotol arak yang kubawa
pulang.”
Tak
lama kemudian, makanan ringan dan arak telah siap di meja. Hidangan itu jelas
dibuat oleh koki hebat Gui Li dan mereka masih hangat. Mungil, bunga
berwarna-warni juga di letakan di atas setiap hidangan. Lima hidangan ditata
secara elok di atas piring. Setiap piring memiliki warna yang berbeda di
atasnya, menandakan isi didalamnya benar-benar berbeda.
He
Xia membubarkan para pelayan dan ia sendiri yang menuangkan arak ke cangkir
Yaotian. Yaotian memandangnya dan memandang Pingting yang ekspresinya sulit di
tebak. Lalu ia dengan patuh mengangkat cangkirnya dan meminum araknya. He Xia
bersiap menyantap dua hidangan, ia melihat Pingting dengan ekspresi tenangnya.
“Pingting,
kau boleh memakannya.” He Xia menatap Pingting.
Dimeja
disamping Pingting sudah tertata rapi sekitar tiga atau empat hidangan. Ia
menundukan kepalanya, memeriksanya dan menggelengkan kepalanya, “Tuan lupa
kalau Pingting tidak suka pie apel.”
“Tentu
saja aku ingat.” He Xia menjawab, “Apakah kau tidak menyadari jejak parutan
wortel? Isi apelnya sudah diganti dengan wortel ditambah dengan madu.”
Pingting
mengangkat tangannya dan membelahnya menjadi dua. Benar-benar berisi wortel di
dalamnya dan tercium bau madu. Ia perlahan memasukannya ke mulutnya, dan
matanya bersinar, “Rasanya lebih baik daripada sebelumnya, apa yang Tuan
tambahkan?”
He
Xia menatap Yaotian sebelum menjawabnya, “Tak banyak, hanya menggunakan madu
segar. Ibukota Yun Chang dekat dengan pegunungan bersalju, jadi madu ini
berasal dari lebah yang tidak takut dingin.”
Rasa
hidangan yang enak dan kerinduan akan rumah membuat Pingting melahap hidangan
itu dalam satu suapan besar. Ia memakan habis semua lima hidangan yang tersedia
di mejanya. Tanpa ragu ia memenuhi perutnya yang kosong. Ia lalu melihat kearah
hidangan di meja He Xia tapi tak berkata apapun.
“Hanya
untukmu yang berisi wortel. Yang punya kami tidak. Kalau saja aku tahu kau akan
begitu menyukainya, aku akan meminta kepala koki membuatkan lebih banyak.”
Pandangan He Xia beralih ke arah Yaotian dan berkata dengan penuh perhatian,
“Putri menyukai rasa hidangan yang disajikan koki waktu itu, jadi punya untuk
Putri kuminta disiapkan hidangan yang sama. Atau Putri ingin mencoba yang rasa
wortel?”
Ekspresi
Yaotian terlihat samar ketika ia tersenyum. “Aku suka apel.” Lalu ia mengambil
guci air yang berada di atas meja.
He
Xia berniat menuangkan, tapi terlambat. Pingting sudah mengambil alih guci dan
menuangkannya di cangkir Yaotian. Sebuah senyuman kecil yang hangat muncul di
wajahnya. “Salju sudah berhenti dan bulan akan segera bersinar. Mengapa kita
tidak membuka jendela dan membiarkan sinar bulan masuk, lalu Putri bisa meminum
teh sambil menikmati permainan kecapi Pingting untuk menghilangkan rasa penat.”
“Hmm,
sepertinya itu rencana yang bagus.” Yaotian mengangguk dan memanggil pelayan
untuk membuka jendela. Terang di musim dingin lebih pendek, gelap sudah datang
ketika mereka memasuki ruangan. Dan sepertinya esok cuaca akan cerah, karena
bulan dan bintang bersinar jernih.
Sinar
disekitar lingkaran bulan bercahaya sangat tebal.
Para
pelayan dengan cekatan menyiapkan meja dan membawakan kecapi. He Xia sendiri
yang meletakan kecapi di atas meja dan menatanya dengan rapi.
Pingting
membakar dupa seperti biasanya dan membasuh tangannya, sebuah keanggunan
terlihat di wajahnya. Ia duduk di depan kecapi, menarik napas panjang dengan
mata terpejam. Ia meletakan jari-jarinya di atas senar dan mulai memetiknya.
Senar-senar
itu mulai mengeluarkan suara rendah seperti sedang menghapus airmata.
Yaotian
mendengarkan dengan baik, dan berkata, “Sungguh kecapi yang bagus. Tak heran
suamiku rela mendapatkannya dengan harga tinggi.”
Ia
menatap pada He Xia, lalu berseru sambil menghela, “Hanya kecapi bagus yang
pantas dimainkan oleh seorang Bai Pingting.”
He
Xia membalas Yaotian dengan senyum manja tapi tidak berkata apapun, dengan
tatapannya yang lembut ia menyentuh hati Yaotian.
Pingting
selesai mencoba suara kecapinya dan ia sudah cukup tenang. Ia menaikkan
kepalanya dan berkata, “Putri ingin mendegar music yang seperti apa?”
“Memilih
sebuah lagu merupakan tugas yang sulit untukku, sebaiknya diserahkan pada
seseorang yang sangat mengenal permainan kecapi.” Yaotian menoleh lembut pada
He Xia dan memohon, “Tolong pilihkan sebuah lagu untukku, suamiku.”
He
Xia bepikir sejenak, dan ia berkata, “Bagaimana kalau Suara Musim Semi ?”
Pingting
mengangguk, memejamkan matanya untuk berkonsentrasi. Ia mengumpulkan ingatannya
dan perlahan membuka matanya. Sebuah sinar kepercayaan diri terlihat di
matanya.
Ia
meletakan jari-jarinya di atas senar dengan lembut dan mulai memetiknya dengan
sangat lihai.
Iramanya
berbeda dengan yang sebelumnya. Penuh semangat hidup, suara gembira yang
bermain di telinga.
Suasana
ruangan dipenuhi oleh semangat.
Suara
kecapi terdengar dimana-mana. Meskipun musim dingin, udara dingin sepertinya
bersembunyi. Waktu seperti berputar dengan cepat, membuat mereka berpikir kalau
musim dingin telah berakhir dan musim semi telah tiba.
Seperti
ketika hujan di musim semi, dengan lembut melukis kehidupan di tembok-tembok.
Tanpa
dikotori oleh ketamakan, tanpa dipenuhi kekhawatiran.
Segalanya
hanya keceriaan.
Burung-burung
berkicau dan terbang melewati hutan, rumput-rumput liar bermunculan dari tanah
yang basah karena salju yang mencair. Segalanya siap dengan kehidupan baru.
Lalu
sunyi, binatang-binatang kecil mengintip keluar dari gua-gua mereka. Mereka
berlari keluar, menyambut hutan yang mulai mekar dengan malu-malu.
Setiap
jejak musim semi di hadirkan dengan mendetil melalui suara kecapi. Bahkan
udarapun dipenuhi harum manis dari tanah.
Setiap
orang di ruangan mendengarkan, terpikat dan terpesona oleh suasana musim semi.
Irama
kecapi mulai melambat, seperti hendak berakhir.
Burung-burung
kembali ke sarang mereka, binatang-binatang kecil sudah kelelahan dan mencari
tempat untuk beristirahat dekat sungai kecil. Rumput-rumput sudah tumbuh tinggi
hanya dalam satu hari, pohon-pohon tua menyaksikan mereka dari atas, tersenyum
bangga. Seekor tupai menggelung tubuhnya di balik daun-daun, terlelap.
Setelah
melakukan kegiatan dengan bersemangat, sekarang waktunya beristirahat.
Setelah
sunyi agak lama, Yaotian akhirnya bersuara. Ia memuji dengan tulus, “Aku
sungguh terkejut dunia memiliki suara kecapi yang begitu indah. Aku yakin bahkan
terdengar lebih indah oleh Suamiku yang memiliki telinga lebih baik dariku, dan
yang juga merupakan sahabat Nona Bai sejak kanak-kanak.”
Pingting
menerima pujiannya tapi tidak memperlihatkan sikap bangga. Ia menjawab dengan
sopan, “Pingting sekarang tinggal di Kediaman ini. Kalau Putri ingin mendengarkan
permainan kecapi, Putri bisa memanggil Pingting kapan saja.”
Yaotian
menerima perkataan Pingting, ia mengangguk dan tersenyum, “Perkataanmu sangat
baik, bisakah kau memainkan beberapa lagu lagi?”
“Tentu
saja. Putri ingin mendengar apa laig?”
Yaotian
berpikir sejenak, lalu ia berkata, “Karena tadi sudah merasakan Musim Semi,
bagaimana kalau musim lainnya? Apakah ada juga ?”
“Tentu
saja ada. Warna-Warni Musim Panas, Serangga Musim Gugur, dan Puisi Musim
Dingin.”
“kalau
begitu…” Yaotian berkata dengan tenang, “Mainkan semuanya.”
Pingting
menjawabnya, ia menegakkan posisi duduknya, menaikkan pundaknya, meletakan
tangannya di atas kecapi, dan mulai memainkannya.
Irama
kecapi keluar dari ukiran-ukiran unik yang di pahat di atas pintu dan jendela,
menggantung di udara sekitar ruangan Kediaman Suami Ratu yang luas.
Suara
Musim Semi, Warna-Warni Musim Panas, Serangga Musim Gugur dan Puisi Musim
Dingin.
Musim
Semi penuh dengan keindahan, Musim Panas dipadati warna-warni bunga yang
bermekaran, suara serangga memenuhi Musim Gugur, dan Musim Dingin yang sunyi.
Di
pavilium untuk menikmati bunga di kediaman Jin Anwang, Pingting telah menyusun
nada-nadanya sementara He Xia memikirkan dan memutuskan setiap judulnya.
Suara
Musim Semi mengalir dengan cepat, Musim Panas berlalu, dan Musim Gugur hampir
selesai, berakhir dengan anggun.
Suara
kecapi seakan telah membuka tembok kediaman dan membiarkan udara diluar masuk.
Meskipun suara kecapi sudah berhenti agak lama tapi para pendengarnya masih
terpukau dan melupakan dimana mereka sekarang berada.
Memainkan
kecapi sangat melelahkan. Pingting berhasil menyelesaikan tiga lagu. Wajahnya
terlilat sangat kelelahan tapi Pingting menyentuh kecapinya lagi dan berusaha
memainkan lagu Puisi Musim Dingin.
He
Xia sepertinya agak khawatir. Ia segera berdiri dan menghentikannya. Ia
berbalik menghadap Yaotian, “Putri, sekarang sedang musim dingin dan lagu ini
hanya akan membuat udara semakin dingin. Lagu ini tidak begitu cocok dimainkan saat
ini, tidak seperti yang lainnya. Bagaimana kalau kita simpan dan cukup
mengenang yang tadi sudah didengar.”
“Suamiku
berkata benar.” Yaotian menganggukkan kepalanya meskipun rasa penasarannya
masih belum terpenuhi. Ia perlahan berkata, “Dua lagu terakhir sangat berciri
khas, tapi melihat karakternya, aku lebih suka Sembilan Hari yang kudengar di
halaman.”
Pingting
tersenyum sebelum He Xia sempat menyela, “Kalau begitu kita ganti Puisi Musim
Dingin dengan Sembilan Hari, jadi Putri bisa menyegarkan ingatan.”
He
Xia berpikir, Yaotian pasti bisa melihat Pingting sangat kelelahan dan berharap
Yaotian akan menolaknya. Tapi ternyata Yaotian mengangguk sambil tersenyum,
“Baiklah.”
He
Xia tidak suka, tapi ia memutuskan diam. Sinar matanya menandakan ia sedang
berpikir tapi ekspresi wajahnya tidak berubah ketika ia dalam diamnya duduk dan
ikut mendengarkan.
Dan
Pingting, ia duduk tegak mengangkat jari-jarinya ke atas senar dan mulai
memetiknya.
Petikan
senar mulai bergetar dan mengeluarkan irama yang indah, tapi tidak sejernih
yang seharusnya. He Xia mulai sangat khawatir dengan ini tapi ia tetap diam,
sampai nada tinggi mulai muncul dan tidak beraturan.
Pingting
bernapas dengan berat. Pundaknya bergetar beberpa kali dan akhirnya ia terjatuh
ke belakang. He Xia segera bangkit dari kursinya dan menahan Pingting yang
hampir terjatuh. Wajahnya menjadi pucat, “Pingting! Pingting!”
“Apa
yang terjadi?” Yaotian sangat terkejut. Ia segera berdiri dan melihat Pingting.
He
Xia tidak menjawab. Ia menarik tangan Pingting dan membuatnya dalam posisi
duduk. Lalu ia membopongnya sepanjang koridor dan meletakannya di tempat tidur.
Setelah itu ia berguman pada Yaotian, “Nadinya sangat kacau. Ia mungkin terlalu
lelah karena perjalanan kereta yang bergelombang.”
Yaotian
terkejut mendengarnya. Dan ia berkata, “Aku seharusnya tidak menyuruhnya
bermain kecapi.” Sebuah ekspresi menyesal muncul di wajahnya.
Dan
yang mengejutkan He Xia tidak menenangkannya seperti biasanya. Ia hanya
berkata, “Ia akan baik-baik saja setelah minum obat dan beristirahat beberapa
hari.” Lalu He Xia mengambil kuas di meja kerja dan menuliskan resep. Ia
menyerahkannya pada pelayan yang segera pergi untuk menyiapkannya.
He
Xia sibuk beberapa saat, ia khawatir kalau langkah kakipun bisa mengganggu
istirahat Pingting. Ia sendiri yang menyelimutinya dan menutup tirai tempat
tidur. Lalu setelah itu ia berbalik melihat Yaotian yang berdiri di belakangnya.
Akhirnya
perhatiannya mulai kembali kepada istrinya. Ia berkata dengan pelan, “Apakah
Putri lelah? Ruangan Putri sudah dipersiapkan dan wewangian sudah dipasang,
mohon Putri beristirahat disana? Aku akan segera menyusul.”
“Putri…”
“Kita
sudah suami istri. Kita akan bersama untuk waktu yang lama.” Yaotian lalu
berbisik, “Kau seharusnya beristirahat seharian setelah kepulanganmu. Tidurlah
dengan nyenyak malam ini.” Lalu tatapannya jatuh ke sosok anggun yang sedang
terbaring di tempat tidur.
Lalu
He Xia berkata dengan lembut, “Kalau begitu aku akan menemuimu besok pagi-pagi
sekali di istana.”
Meskipun
suaranya lembut dan sopan seperti biasanya, dan ekspresinya juga tulus. Tapi
bagi Yaotian, kata-kata He Xia seperti merasa lega.
“Kalau
begitu aku pergi sekarang.”
“Aku
akan menemani Putri sampai istana.”
Hati
Yaotian terasa perih tapi ia menahan ekspresinya tetap datar, mengingat
statusnya. Ia mengelengkan kepalanya, “Tidak perlu.”
Kata-katanya
kasar dan ia tahu He Xia mendengarnya. He Xia mengepalkan tangannya dan matanya
menatap Yaotian.
Yaotian
merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Ia menyadari He Xia sangat penting
baginya dan kalau ia menampilkan tingkah menjengkelkan atau istri yang senang
mengomel, maka ia tak akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan hati He Xia
sepanjang hidupnya. Ia segera menyembunyikan rasa kesalnya dan berbalik. “Semua
melihat, kita sudah menikah tapi suamiku masih saja menemaniku kesana kemari
seakan aku seorang tamu disini.”
He
Xia terkekeh sedikit. “Putri berpikir terlalu jauh. Kita sudah menikah, tentu
saja bukan tamu. Kalau kau takut ditertawakan orang, setidaknya biarkan aku
menemanimu sampai pintu gerbang.”
Yaotian
tidak membantah lagi, ia tersenyum manis dan membiarkan He Xia mengenggam
tangannya.
Sepasang
kekasih itu berjalan sampai pintu gerbang utama. He Xia berkata dengan lembut,
kata-katanya ramah, ia menyisipkan setangkai bunga dan sebuah senyum terukir di
wajah Yaotian.
Penjaga
istana sudah menyiapkan kereta, dan arah menuju pulang sudah terang oleh cahaya
lilin, bersinar terang seperti senja.
He
Xia membantu Yaotian menaiki keretanya, mengatakan beberapa kalimat lagi lalu
berdiri di sisi kereta, menyaksikan rombongan Yaotian berjalan kearah istana di
kesunyian malam.
Ketika
kereta sudah sangat jauh, hanya berupa bentuk titik di kejauhan, akhirnya He
Xia masuk ke dalam.
Sudah
larut malam, dan sekitarnya sangat sunyi.
Seperti
saat permainan kecapi Pingting berhenti, sangat sepi.
He
Xia tidak menuju kamar tidurnya, ia terus melangkah hingga tiba di kamar
Pingting. Ia memasuki ruangan dan melihat pelayan Pingting berdiri disamping
tempat tidur dengan takut. Ketika si pelayan melihat wajahnya dengan jelas, ia
segera berlutu, “Tuan.” Kekhawatiran terlihat di kedalaman mata si pelayan.
He
Xia mengenalinya, ia pelayan yang di bawa Pingting. Ia menatapnya, tidak
memperdulikannya, ia mendekat untuk melihat wajah Pingting yang sedang
berbaring di tempat tidur.
Tatapan
He Xia menjadi lembut.
Zuiju
selau menemani Pingting, ia tahu kalau tempat tidur He Xia disisi lain
kediaman, dan sama sekali tidak menduga kalau He Xia akan berkunjung di jam
seperti ini. Melihat He Xia berjalan ke
samping tempat tidur, Zuiju mau tak mau bergerak ke samping. Lagipula ia adalah
pemilik tempat ini.
He
Xia sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran si pelayan. Ia duduk disamping
tempat tidur, perlahan memperhatikan wajah pucat Pingting. Terlihat sangat
kurus.
Lalu
He Xia perlahan menyentuh wajah Pingting dengan lembut.
Zuiju
memperhatikannya, tangannya terkepal kuat dan jantungnya berdetak sangat
kencang.
Seorang
pria dan wanita di tengah malam, di tempat tidur. Sungguh tidak pantas, bahkan
langitupun akan merasa malu.
Zuiju
memperhatikan setiap gerakan He Xia. Setiap sentuhannya di sekitar tubuh
Pingting, membuat Zuiju sangat gugup. Zuiju sungguh berharap jari-jari He Xia
akan berhenti secepatnya, sebelum ia mulai meraba bagian-bagian yang
mengerikan.
Tuan Besar, apa yang
harus kulakukan?
Kalau kau tidak
datang, badai akan mengamuk.
Untuk
pertama kalinya dalam hidupnya, Zuiju merasa kesal dan marah pada Chu Beijie.
Dan
ketika Zuiju merasa sangat gugup sehingga ia tak mampu bernapas lagi, He Xia
akhirnya berhenti menyentuh wajah Pingting dan berdiri disamping tempat tidur.
Zuiju menghela napas lega, merasa kalau He Xia sudah cukup puas, dalam hatinya
ia sungguh berharap He Xia akan segera pergi. Ia sungguh tidak menduga kalau
ternyata He Xia malah berbalik dan melepaskan tali pinggangnya, bersiap
melepaskan pakaiannya.
Mata
tajam He Xia menatap wajah Zuiju yang menjadi pucat, ia berguman, “Mengapa kau
hanya melihat? Apa kau tidak tahu bagaimana membantu melepaskan pakaian?”
Pingting
masih diperlakukan sama seperti ketika di Kediaman Jin Anwang, pelayan yang
selalu riang dan bebas melakukan apapun yang ia inginkan. Dan sebagai hasilnya para
pelayan Pingting mematuhinya tanpa berkomentar.
“Melepas
pakaian?” jantung Zuiju seperti terhantam petir, ia melirik pada Pingting yang
sendirian dan tanpa pertahanan di tempat tidur. Ia mengigil sampai ke tulang
belakang.
“Tuan…
ingin melepas pakaian disini?”
“Benar.”
He Xia menjawab. He Xia melihat kalau si pelayan sepertinya kurang bisa
membantunya, ia memutuskan untuk melakukannya sendiri, ia melepaskan pakaian
luarnya. Ia tidak berkomentar melihat sikap si pelayan, bagaimanapun ia pelayan
Pingting.
Zuiju
menyadari kalau He Xia berniat tidur disini, ia sungguh gelisah seperti semut
di dalam panci penuh air mendidih. Meskipun ia berteriak, semua penghuni disini
pasti mematuhi perintah He Xia. Patut diingat ia adalah seorang He Xia,
seseorang yang tidak bisa dihentikan baik oleh dirinya maupun Pingting sendiri.
Tuan Besar! Apa yang
harus kulakukan?
“Sekarang
sudah sangat larut, kau boleh pergi tidur.” He Xia memerintahkannya.
“Baik…”
Meskipun
Zuiju berkata iya, tapi kakinya menolak untuk pergi. Ia mengigit bibirnya dan
dengan gugup memperhatikan sekitarnya. Tatapannya berhenti sejenak ke sebuah
batu. Ia segera menyusun rencana dan memutuskan kalau Pingting berada dalam
masalah ia akan memukulkan batu itu ke kepala He Xia.
He
Xia seorang petarung, dengan refleknya yang cepat, sepertinya rencana itu akan
gagal dan ia akan kehilangan nyawanya. Zuiju berharap setidaknya tidakannya
bisa menghilangkan niat He Xia.
Yang
terjadi sekarang, seorang wanita lemah tak berdaya sedang berhadapan dengan
seorang pria kuat. Zuiju Putus asa karena, seluruh pengetahuannya tentang
pengobatan, yang mampu menyelamatkan banyak nyawa, sama sekali tidak berguna
saat ini. Apa yang bisa dilakukannya?
Setelah
berpikir begitu rumit, ia melangkah mendekati batu itu.
He
Xia sudah duduk di samping tempat tidur, melepaskan sisa pakaian yang masih
melekat di tubuhnya. Melalui tirai Zuiju melihat He Xia sudah berbaring di
samping Pingting. Zuiju memanfaatkan kesempatan ini untuk menyembunyikan batu
di lengan bajunya dan maju perlahan.
Pingting
sepertinya merespon gerakan He Xia. Ia berguman, “Hm” dan bergerak memeluknya.
Zuiju membulatkan tekadnya, ia bersiap melemparkan batu kapanpun Pingting
berteriak. Dalam kesunyian, Zuiju bisa mendengar Pingting berguman, “Tuan
Muda?” kata-katanya berhenti sejenak, “Kenapa Tuan disini?”
“Akan
lebih hangat kalau aku memelukmu.” He Xia berkata.
Zuiju
melihat sebuah gerakan terlihat dari balik tirai. Sekarang He Xia sedang
memeluk Pingting. Zuiju sangat tegang, ia mendengarkan dengan seksama, tapi
Pingting tidak bersuara, ia malah tertidur pulas.
Zuiju
tetap menyembunyikan batu di balik lengan bajunya, tanganya basah dengan
keringat. Ia menungg sebentar sampai akhirnya terdengar suara napas yang
teratur. Mereka berdua sepertinya sudah tertidur pulas.
Zuiju
masih tidak yakin dan dengan hati-hati sekali menyibak tirai untuk mengintip ke
dalam.
Pingting
dan He Xia berbaring di tempat tidur, dibawah selimut yang sama, saling
berpelukan. Mereka tidur dengan tenang, mata mereka terpejam rapat, tidak
saling mencurigai satu sama lain. Mereka tertidur seperti anak kecil.
Zuiju
menatap mereka untuk waktu yang lama sampai akhirnya detak jantungnya mulai
tenang. Ia sungguh heran, Apa yang sedang terjadi?
Ia
menarik tangannya dari tirai, memperhatikan dua sosok itu dari luar, dibalik
tirai tipis kelambu tempat tidur. Ia berpikir sejenak dan memutuskan untuk
tetap berjaga. Ia memegang batunya dan berlutut di samping tempat tidur.
Setelah
bertahan selama dua jam, kelelahannya semakin kuat dan semakin kuat sampai
akhirnya matanya tak bisa bertahan lagi.
-00-
Home
novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia