-- Volume 1 chapter 17 --
Hari berikutnya, obat selesai di buat. Bukannya pergi ke istana kerajaan, Pingting malah memberikan obat tersebut pada Yangfeng dan memberitahukan cara penggunaannya. “Jangan sampai salah. Hanya ada satu dan hanya untuk satu orang.”
Yangfeng dengan hati-hati menerimanya, dan karena tidak mengerti pemikiran Pingting ia bertanya. “Mengapa kau tidak membuatnya dua buah, untuk berjaga-jaga kalau sesuatu terjadi diluar perkiraan?”
Pingting memberikan senyum misterius, “Aku punya alasan sendiri. Mereka yang menjadi mata-mata di negara musuh pastinya sangat bijak, berani dan berhati-hati. Mereka tak akan menyia-nyiakan obat yang begitu berharga. Jangan khawatir.”
Sikap percaya dirinya menyakinkan Yangfeng untuk tenang, kemudian Yangfeng memegang erat-erat obat tersebut di dadanya. “Ketika aku tiba di istana kerajaan, aku akan segera menyerahkan obatnya pada Yang Mulia. Para pengawalmu sudah siap untuk berangkat, tinggal menunggu perintahmu.” Yangfeng mengeluarkan sebuah surat dengan segel militer dari lengan bajunya dan menyerahkannya pada Pingting. “Simpan ini baik-baik dan berikan pada Ze Yin ketika kau bertemu dengannya.”
“Kau memberitahukan semuanya tentang aku, di surat ini?”
“Lebih baik jika ia tahu semuanya dan akan mempermudahmu mengendalikan pasukan.” Yangfeng melihat tatapan licik mata Pingting, ke arah surat. Pipi Yangfeng tiba-tiba bersemu merah. Dengan nada memperingatkan ia berkata, “Jangan mengintip. Selain membicarakan tentang dirimu sisanya adalah masalah suami istri. Gadis kecil sepertimu takkan mengerti.”
Pingting tertawa, “Aku tidak melihat apakah bermasalah aku mengerti atau tidak.” Yangfeng menginjak kakinya membalas. Pingting menggelengkan kepala dan berkata, “Sulit dikatakan kalau kau adalah istri dari seorang Jendral hebat. Orang sepertimu seharusnya sangat bijak. Tapi kau malah mudah diatur olehku. Dan untukku, Aku punya tanggung jawab yang sangat besar – Aku akan pergi bertempur ke medan perang. Panggil para pengawalku sekarang. Sudah waktunya berangkat.” Dan Pingting berjalan keluar ruangan.
“Pingting !”
“Kenapa ?” Pingting menoleh balik, hatinya terasa sakit. Ia telah memaksakan ekspresi dingin di wajahnya beberapa saat lalu, tapi kalau Yangfeng akan memulai adegan perpisahan yang memilukan, itu akan membuatnya tagisnya pecah lagi. Dan ia akan menghadapi Chu Beijie lagi.
Kalau para prajurit mengetahui komandan baru mereka, baru saja menangis, bagaimana mereka akan menghormatinya? Yangfeng mendekati dengan cepat dan berhenti sekitar empat atau lima langkah dari Pingting. Mata hitamnya menatap Pingting dengan singkat. “Tak peduli apapun yang kau lakukan, kau hanya seorang gadis. Kau akan menjadi penasihat utama pasukan, jadi tetaplah berada di markas utama. Jangan memaksa dirimu terjun ke medan perang.”
Pingting agak bingung. Butuh beberapa saat untuk memahami apa yang baru saja di dengarnya. Hatinya tersentuh. Ia dengan lembut mengenggam tangan Yangfeng. “Jangan khawatir. Bagaimana mungkin aku tidak tahu batas kemampuanku sendiri? Itu hanya gurauan ketika aku mengatakan akan bertempur di medan perang; aku bahkan tidak bisa menggunakan pisau dan pedang. Ini sudah hampir terlambat, aku sungguh harus segera berangkat. Aku akan kembali dengan kemenangan untuk melihat bayimu. Oops, bayimu belum akan lahir, ya kan?”
Yangfeng merasa sedih bagaimanapun. Tembok airmatanya hancur dan mengalir deras. Ia menggigit bibirnya. “Bergurau bahkan ketika kau seorang pemimpin Jendral negara.” Yangfeng diam beberapa saat, airmatanya masih menetes turun.
Ketika ia menaikkan kepalanya, Pingting sudah tidak berdiri di dekatnya lagi. Didepan sana, gerbang taman tertutup dan sosoknya menghilang.
Kuda-kuda berlari cepat, meninggalkan awan debu kuning di belakang, cukup berdebu hingga jalanan tak terlihat.
Setelah beberapa saat, Pingting membuka tirai dan memperhatikan sekitarnya. Kepalanya terasa sakit sepanjang perjalanan. Ia telah berulang kali mempelajari tata letak Kanbu, mengingat nama setiap lereng, gunung dan sungai. Ia telah mempelajari situasi pasukan Bei Mo dari apa yang disampaikan Raja sehingga ia sudah tahu nama para Jendral dan keahlian mereka.
“Sudah mendekati Kanbu.” Pingting berguman sendiri dan tak bisa berhenti mengeluh atas pemikirannya.
Ia menghabiskan setiap menit dan setiap detiknya di depan peta dan daftar nama para prajurit. Ia mencoba untuk mengingat semuanya tapi tetap tak bisa menghilangkan sakit kepalanya. Pemikiran akan menghadapi Chu Beijie di Kanbu mengirimkan rasa sakit ke kepalanya.
Kalau Jendral hebat Bei Mo, Ze Yin tidak mempertahankan Kanbu, mungkin ibukota sudah sejak lama jatuh, dibawah serangan sengit dari Chu Beijie.
Mampukah ia melawan Chu Beijie?
Setiap putaran roda kereta membawanya semakin mendekati pria itu. Ia membayangkan keagungan Chu Beijie di medan perang.
Pingting menggelengkan kepalanya. Berhenti memikirkan dirinya. Berhenti memikirkan dirinya.
Pingting menarik napas dalam dari udara dingin, ia perlahan membuka matanya, keraguannya menghilang bersamaan dengan ketetapan hatinya. Pertempuran di Kanbu bukan lagi perang antara Dong Lin dan Bei Mo tapi juga pertandingan antara Chu Beijie dan Bai Pingting.
Apakah ia sungguh ingin menang? Pingting bertanya pada dirinya sendiri, ketika ia menatap pada perwakilan komandan pasukan yang menakutkan yang duduk di sebelahnya.
Kereta tiba-tiba berhenti, menghentikan pemikiran Pingting. Ia mendengar suara yang akrab dari seorang Jendral, Han Shuxi, yang berada di luar. “Kita sudah tiba di Kanbu, Nona. Anda bisa turun dari kereta sekarang. Jendral utama datang untuk menyambutmu.”
Pingting membuka tirai kereta, hal pertama yang tertangkap matanya adalah tembok kota yang tinggi, rusak parah dan gosong oleh api. Itu memberitahunya betapa dasyhatnya pertempuran yang telah terjadi. Pingting perlahan keluar dari kereta, matanya bergerak dari tembok ke arah barisan orang-orang yang datang menyambutnya.
Pemimpin mereka tertutup debu kuning dan jenggotnya seperti rumput liar. Walaupun jenggotnya menutupi separuh dari wajahnya, matanya tetap menunjukkan kebulatan tekad. Bisa dikatakan kalau ia tipe orang yang tidak akan pernah menyerah untuk hal yang ia anggap tidak benar.
Pingting tersenyum malu-malu dan membungkuk. “Kau pasti Jendral Utama Ze Yin. Disambut sendiri oleh orang besar seperti anda merupakan kehormatan tak terhingga untuk gadis sepertiku.”
Ze Yin segera maju dan menghentikan Pingting untuk membungkuk lagi, lalu berkata, “Nona disini sebagai penasihat utama pasukan, jadi tidak perlu begitu resmi disekitar kami, bawahanmu.”
Ia lalu merendahkan suaranya dan menambahkan, “Yang Mulia telah mengirim pesan, Ze Yin akan membantu Nona sebisa mungkin. Bisa kita lanjutkan di dalam tembok kota ?”
Pingting mengangguk setuju dan mengeluarkan surat Yangfeng. Ze Yin segera mengenali tulisan tangan Yangfeng. Sebuah senyum hangat terbentuk ketika ia menerimanya.
Jendral lain juga mendekat dan memberi salam, menyebutkan nama mereka dan kedudukannya.
Mereka memasuki area yang dijaga ketat. Ze Yin bukan hanya bersikap ramah pada Pingting. Ia menganggap Pingting sebagai penasehat yang layak, ia bahkan memberikan kamar tidurnya kepada Pingting.
Didalam kamar, kebanyakan di dominasi oleh warna biru atau hitam. Ini adalah bukti bahwa pemilik sebenarnya adalah orang yang baik hati dan berani. Sebuah panah hitam besar tergantung di dinding. Peta tata letak Kanbu tergerai di atas meja. Dari apa yang Pingting lihat, Ze Yin telah terus-menerus membuat rencana untuk mengalahkan musuh.
Pingting melihat sekitar, menyadari bahwa ruangannya ternyata sederhana tapi teratur rapi, ia merasa bisa lebih mengerti sifat Ze Yin. Kalau saja bukan demi kepentingan istrinya yang cantik di rumah, ia takkan berpenampilan anggun di depan umum, karena anggun bukan gayanya sama sekali.
Ini sungguh kehendak dewa kalau seorang wanita kelas atas dari Gui Li seperti Yangfeng bisa jatuh cinta pada seorang pria kasar.
Ze Yin meminta Jendral lain yang ikut menemani untuk tetap di luar. “Nona, apa kau puas dengan ruangan ini?” Ia bertanya. “Waktunya sangat mendesak jadi aku rasa Nona harus terbiasa dengan ini untuk sementara. Kalau warna disini terlalu gelap, kau bisa meminta prajurit pelayan untuk membawakan permandani atau tirai yang lebih terang walaupun mungkin mereka tak bisa mendapatkannya.”
Pingting melihat ekspresi tenangnya tapi ia tahu Ze Yin masih khawatir pada situasi perang. Ia tertawa ringan, “Jendral anda terlalu baik hati. Pasukan adalah prioritas utama saat ini. Kita tak punya waktu untuk mengkhawatirkan hal sepele seperti ini. Tolong beritahu aku situasi terakhir; setelah itu kita akan menyusun rencana.”
Ze Yin telah menunggu lama untuk ini. Ia memberi isyarat untuk duduk dan berkata, “Silakan duduk Nona.”
Mereka berdua duduk. Wajah Ze Yin menjadi serius. Dengan suara pelan ia melaporkan, “Tiga belas hari lalu, pasukanku dan aku mundur ke Kanbu, dan Chu Beijie memutuskan untuk mengepung kami. Berkat tembok Kanbu yang tebal dan tinggi, pertahanan selama ini agak mudah, tapi bagaimanapun, banyak prajurit meninggal untuk menekan pasukan Dong Lin kembali. Dong Lin sungguh memiliki keunggulan atas senjata dan prajurit. Bahkan aku sendiri tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengalahkan mereka. Dan Chu Beijie sendiri, sungguh pantas atas reputasinya, karena ia telah berkali-kali bisa menebak rencanaku.”
“Aku punya sebuah pertanyaan untuk anda. Kuharap anda tidak keberatan.” Pingting melanjutkan, “Pertahanan garis perbatasan Bei Mo begitu ketat dalam kendali anda sebagai Jendral Utama. Bagaimana pasukan Dong Lin bisa begitu cepat melewati pertahanan, sampai seluruh pasukan Bei Mo mundur ke Kanbu, daerah pertahanan terakhir?”
Pertanyaan ini mengejutkan Ze Yin dan matanya mengeras ketika ia menatap langsung ke arah Pingting. Ia tak melihat sikap menuduh di matanya yang bersinar. Lalu ia menagis dan terkagum-kagum. “Kalau Yangfeng tidak pernah menceritakan tentang teman baiknya berkali-kali, aku akan menganggap pertanyaan ini sebagai tamparan besar atas harga diriku. Pertanyaan Nona adalah hal yang wajar. Kau tahu, pasukanku menderita kekalahan besar dan dipaksa mundur sampai ke Kanbu. Alasannya bukan karena kami kalah jumlah. Pasukan Dong Lin di perkirakan sekitar seratus ribu prajurit, tapi mereka hanya bekisar sekitar tujuh puluh ribu. Penasihat militer memperkirakan penyebab yang bisa membuat kegagalan.”
Ze Yin tidak memperhatikan ekspresi Pingting yang berubah. Ia berdiri dan mempelajari peta Kanbu, mengingat-ingat sambil melihat kearah peta. “Aku, Ze Yin, mungkin seorang Jendral yang paling terkenal di Bei Mo, tapi aku sama sekali tidak tahu apa itu ‘hebat’ sampai aku bertemu Chu Beijie. Tidak hanya ia bisa menebak beberapa rencanaku, tapi ia juga memimpin sendiri pasukannya dan bertarung dengan baik. Suatu kali di garis depan, dalam tiga gerakan ia melukai seorang prajurit terbaikku, Menchu. Ini memberikan dampak buruk bagi pasukanku, karena mereka mereka kehilangan kepercayaan diri, untuk bisa mengalahkan sosok yang tidak terkalahkan itu. Karena itulah kami kalah.”
Dari kata-katanya, Pingting melihat kekhawatiran para prajurit dan ia membayangkan Chu Beijie di tengah ribuan kuda dan prajurit, mengalahkan prajurit hebat hanya dengan tiga gerakan. Membutuhkan beberapa waktu untuk membuatnya tersadar, dan ia berkata dengan tenang, “Jendral, anda tak perlu sakit hati. Walapun Chu Beijie orang yang menyeramkan, tapi ia tetap berada di luar tembok Kanbu selama tiga belas hari, ya kan?”
Ze Yin tidak segera membalas perkataan ini. Setelah seperti selamanya, ia akhirnya berkata, “Aku membaca surat Yangfeng sebelum datang kesini. Dan seperti yang Nona tahu, Chu Beijie jauh lebih baik dari pada aku, anda mungkin lebih mengerti tentang keadaan saat ini. Bagaimanapun, semua orang tahu begitu Kanbu dikalahkan, pasukan Dong Lin akan segera mencapai Bei Yali dan kemudian kami akan menjadi budak tahanan di negara kami sendiri. Jadi walaupun semua orang tahu kalau Chu Beijie akan menang, kami tetap akan melawan balik.”
“Pemikiran yang baik, Jendral.” Pinting mengangguk setuju, “Mundur ke Kanbu memberikan para prajuritmu kepercayaan diri karena tembok yang tinggi memberikan sisi pertahanan lebih menguntungkan. Bagaimanapun, kalau tembok ini tak bisa mendesak pasukan Dong Lin untuk menyerah, mereka akan segera mendapatkan tempat ini cepat atau lambat.” Berada di medan perang dan bertahan hidup di istana kerajaan adalah dua keahlian yang berbeda, dan Pingting lebih ahli untuk yang pertama. Memikirkan bahwa Chu Beijie memiliki segalanya yang dibutuhkan, membuatnya mengeluh kecewa. Pria itu menggunakan pasukan terbaik, sementara dia memimpin sekelompok pasukan menyedihkan keluar ke medan perang.
Bagaimanapun ia merasakan harga diri yang terluka. Di medan perang, siapa lagi yang bisa menandingi Chu Beijie ?
Ia mengijinkan dirinya memikirkan Chu Beijie untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia ingat bahwa ia masih berdiskusi dengan Ze Yin. Ia berhenti menatap kejauhan. Wajahnya tenang seperti seorang penasihat militer dan matanya tidak pernah bergeming.
Dengan dua atau tiga kalimat, Pingting telah menghentikan kekhawatiran Ze Yin dan Ze Yin menatap ke arahnya lebih dari sekali, “Nona, kau benar. Chu Beijie telah berusaha menyerang secara langsung beberapa hari di awal dan pihak kami berdua terluka. Tapi sejak hari kesepuluh, Pasukan Dong Lin berhenti bergerak dan sangat tenang. Aku menyimpulkan ia menunggu pasukanku lemah penjagaan, untuk mencegah korban lebih banyak di pihak mereka.”
“Bukan.” Pingting mengerutkan bibirnya sedikit tapi dahinya tidak berkerut. Ia mengangkat dagunya, terlihat serius dan berbicara kata per kata. “Jika Chu Beijie berhenti menyerang, ia pasti telah menemukan cara lebih baik untuk mendapatkan Kanbu. Mengetahui rencana yang begitu di perhitungkannya, cara menyerangnya pasti sangat mengejutkan dan akibatnya tidak bisa diperkirakan. Seperti menghancurkan sistem pertahanan Kanbu dari dalam.”
Ekspresi Ze Yin tidak percaya. “Apakah itu mungkin ?”
Pingting tidak menjawab pertanyaan ini. Ia malah balik bertanya. “Apa kau mengirim prajurit untuk memata-matai pasukan Dong Lin ?”
“Banyak, tapi Chu Beijie sangat memperhatikan hal ini dan menggutus banyak prajurit untuk mencari para mata-mata disekitar tempatnya. Mata-mata kita tak bisa tinggal terlalu lama, hanya tahu kalau pasukan musuh belum melakukan apapun.” Ze Yin mengeluh, “Mereka yang mendapatkan informasi lebih biasanya berakhir dengan tidak pernah kembali.”
“Pasti begitu, karena Chu Beijie dengan diam-diam sudah menjalankan rencananya.” Pingting menganalisa. “Jendral, tolong hanya bicarakan pada para Jendral utama saja, apa yang sudah kita bicarakan. Jangan memberitahu orang lain lagi.”
Ze Yin mengangguk setuju. “Jangan khawatir, Nona. Orang-orang yang anda temui hari ini adalah mereka yang aku percaya dan mereka hanya tahu kalau Nona adalah penasihat baru kita. Hanya aku dan yang mengantarmu, Ruohan, yang tahu nama Nona yang sebenarnya, tapi kami semua akan memanggilmu ‘Nona’. Raja dengan jelas menyatakan itu di surat perintahnya.”
Jadi karena itu, mengapa Jendra Utama ini memanggilnya dengan sebutan ‘Nona’.
Pingting mengangguk untuk memberi persetujuan. Matanya menatap keluar pintu, ke arah jalan setapak batu kerikil diluar teras. Dengan tenang, ia berkata, “Sekarang, mari kita lihat tembok.”
Diatas tembok kota Kanbu yang luar biasa, Pingting melihat dataran dan pegunungan yang ditutupi suasana perang. Terlihat dimana-mana. Ze Yin berdiri ke depan dan menunjuk arah tenggara dan berkata, “Itu perkemahan pasukan Dong Lin.”
Jantungnya mulai berdegup kencang.
“Perkemahan pasukan Dong Lin huh....” Pingting berusaha melihat tenda-tenda di kejauhan, tapi terlalu jauh. Ia bahkan tak bisa melihat benderanya berkibar. Ia tak bisa melihat sosok Chu Beijie.
Kau tahu Chu Beijie? Pingting datang.
Pingting tidak bisa melarikan diri, jadi Pinting mendatangimu.
--0--
novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia