Rabu, 23 November 2016

Gu Fang Bu Zi Shang -- 2.44

-- Volume 2 chapter 44 --


Sebuah kereta kuda yang indah, dikelilingi para penjaga berjalan dari ibukota Yun Chang menuju perbatasan. Beberapa pembawa pesan menghampiri untuk menyampaikan berita kepada orang yang berada di dalamnya.


Dua kabar yang diterimanya sangat tidak baik.


Kabar dari Pejabat Senior datang bertubi-tubi. Yang pertama Bai Pingting menghilang dari ibukota, yang selanjutnya sekelompok orang dikirim ke jalan gunung dengan alasan yang aneh dan hasilnya sungguh mengherankan mereka terkena penyakit aneh. Gui Changqing telah mengirim hampir seluruh orang-orangnya untuk menyamar dan memasang perangkap di rute menuju ibukota Bei Mo, tapi semua itu sama sekali tidak memberikan hasil.


Bai Pingting dan pelayannya telah melewati semua penghambat, dan sama sekali tidak meninggalkan jejak. Kepala naga menunjukan pergerakannya tapi tubuh dan ekornya benar-benar menghilang. Surat terakhir mengatakan bahwa mereka telah terlihat. Seharusnya mereka segera bisa ditangkap, tapi mereka malah menyebar obat aneh yang membuat pengejarnya kehilangan kekuatan. Para pria itu hanya bisa duduk dan menyaksikan dua wanita itu menyelinap pergi.


“Bai Pingting yang itu.” Yaotiang membaca surat Gui Changqing sambil membakar kertas pesannya, menyaksikan isi suratnya berangsur-angsur menjadi abu. Ia merendahkan suaranya, “Kapan mereka akan muncul?”


“Menjawab Putri, semua orang telah di peringatkan berkali-kali oleh Pejabat Senior. Mereka semua menyamar sebagai perampok dan tidak pernah membocorkan apapun pada Pingting.” Si pengirim pesan berlutut di depan Yaotian. “Seharusnya Pingting tidak tahu kalau mereka orang kita.”


“Sulit dikatakan.” Yaotian menghela napas. “Meskipun Pingting tahu, apa yang bisa ia lakukan? Ia tidak terluka, dan tidak punya bukti. Tidak akan ada yang percaya padanya meski ia melapor. Baiklah, pergi dan katakan pada Pejabat Senior tidak perlu membuang-buang tenaga untuk Bai Pingting lagi. Kita sudah gagal terlalu sering. Langit tidak setuju dengan tindakan kita. Untuk apa memaksa kematiannya ketika mereka sudah begitu jauh?”


Si pengirim pesan menjawab dengan hati-hati. “Aku akan mengingat kata-kata Putri dan menyampaikannya pada Pejabat Senior.”


“Pergilah.”


Melihat si pengirim pesan menghilang dari balik tirai, Yaotian merasa kesepian di dalam kereta mewah itu. Yaotian menghela napas pelan. Perhiasan yang mengkilau dan indah yang merupakan seleranya telah diletakan di dalam kereta agar ia merasa lebih nyaman ketika berada di dalamnya. Tapi Yaotian sama sekali tidak menghiraukannya.


Ada berita buruk yang sudah menantinya.


Setelah menerima surat dari Bai Pingting yang ditulis sendiri olehnya, Yaotian segera memanggil kurir untuk mengantarkan surat itu pada Gui Changqing. Lalu Yaotian memerintahkan semua orang untuk melewatkan segala tata cara bagi seorang Tuan Putri yang akan meninggalkan ibukota, ia secepatnya menuju perbatasan. Daripada memikirkan nyawa para prajurit yang akan hilang di pertempuran yang sia-sia, memikirkan pertikaian yang akan terjadi antara dua Jendral, Chu Beijie dan He Xia jauh lebih penting.


Sementara Yaotian masih dalam perjalanan, dua pasukan sudah saling berhadapan.


Pertempuran pertama terjadi di dataran Yang. Chu Beijie telah memukul mundur pasukan He Xia dua belas mil yang menghasilkan banyak korban dari pasukan Yun Chang.


Pertempuran kedua dimulai dari dataran Yang yang kemudian bergeser ke timur. Dan seperti yang diharapkan dari seorang Jendral terkemuka He Xia, ia tahu kalau Chu Beijie sedang terburu-buru menyerang, He Xia dengan cerdiknya menghindari bentrokan langsung dan lebih mengutamakan serangan dari sayap kanan. Ia mendorong mereka ke arah hutan lebat. Kalau saja Chu Beijie tidak segera merubah rencananya dan mengirim kurir cepat untuk segera mundur, serangan itu akan membuat pasukan Dong Lin butuh waktu lama untuk pulih kembali. Serangan ini membuat Chu Beijie menjadi lebih waspada. Selanjutnya pasukan Dong Lin tidak lagi menyerang tanpa perencanaan terlebih dahulu.


Yaotian bergegas siang dan malam, berharap untuk menghentikan pertempuran. Ia menerima berita tentang korban pertempuran sepanjang perjalanannya. Tak hanya itu, hutan lebat Yun Chang banyak dihuni rakyatnya. Cukup sekali saja melemparkan api, tempat mereka yang damai dan nyaman akan menghilang.


Yun Chang tidak boleh mengorbankan nyawa rakyatnya. Ia harus sampai secepat mungkin. Chu Beijie berkemah di kaki gunung Bianfeng sementara He Xia meletakan pasukannya di bukit Jiu. Begitu pertempuran resmi berlangsung, akibatnya akan melebihi malapetaka yang tak bisa dibayangkan.


He Xia menjelaskan dengan singkat situasi di medan pertempuran. Kata-katanya penuh keyakinan. Kebanyakan kata-kata dalam laporan militer itu merupakan salam penuh cinta yang ditujukan untuknya langsung. Jendral lainnya menjelaskan dengan lebih rinci dan jelas tentang peristiwa kejam yang sedang berlangsung.


“Pasukan utama Chu Beijie adalah pilihan dan terlatih baik, sangat gesit seperti angin. Sejak pertempuran di dataran Yang terlihat jelas kalau mereka adalah inti dari pasukan Dong Lin.”


“Kilauan cahaya pedang memantul dimana-mana, dan jeritan menguncang langit. Mayat-mayat menarik minat para gagak. Pasukan bekuda Yun Chang menyerbu Chu Beijie dari depan dan hampir tidak ada yang berhasil selamat.”


“Kekuatan Chu Beijie sungguh sulit di tandingi. Keberanian saja tidak bisa menghentikannya. Selain He Xia tidak ada yang akan bisa bertahan lebih dari sepuluh kali pertempuran. He Xia adalah pahlawan yang paling berani yang dimiliki Yun Chang.”


“Rencana He Xia sangat cerdik. Pertama desak mereka ke arah hutan Youfu, lalu menyerang pasukan Dong Lin dari sayap kanan.”


“Nyala api sudah memenuhi langit, sama sekali tidak meredup selama dua hari dua malam. Tiga puluh mil hutan gelap sudah menjadi abu hari ini.”


“Kalau saja bukan karena He Xia, pertempuran ini sama sekali tanpa harapan.”


“Aku telah memimpin banyak prajurit selama bertahun-tahun, tapi belum pernah melihat, para prajurit beserta Jendral mereka penuh dengan semangat tempur dalam sebuah medan perang. Pertempuran sesungguhnya baru akan terjadi, dan meskipun He Xia memiliki kemampuan, aku takut kedua belah pihak akan mengalami kehilangan besar. Aku menyarankan Tuan Putri menurunkan perintah untuk He Xia agar melakukan apapun untuk menghentikan peperangan ini.”


“Suami Ratu Yun Chang memang seorang Jendral hebat dan itu merupakan berkah bagi Yun Chang. Kalau, kita bisa mengalahkan Chu Beijie maka Yun Chang selamanya akan menjadi negara terhebat diantara empat negara.”


“Tapi, selama Dong Lin memiliki Chu Beijie, Yun Chang tak akan pernah bisa menang. Aku mempertaruhkan nyawaku untuk menulis laporan seperti ini, mohon Tuan Putri mempertimbangkan.”


Setiap laporan penuh dengan ratusan kata-kata. Tak peduli sesopan apa yang tertulis, darah mereka mendidih.


Yaotian membaca dengan seksama seluruh laporan dari perbatasan itu dan ia mengelus dahinya. Ia mengelus dahinya lagi dan membuka tirai jendela kereta.


Malam telah tiba di Yun Chang, damai seperti malam-malam biasanya. Bayangan pertempuran besar seperti di mahluk buas yang sedang bersembunyi, yang akan melompat keluar dan menghisap darah segar manusia lalu pergi ke dalam kegelapan.


“Sampaikan perintah, bergeraklah lebih cepat. Rong An, masih berapa jauh lagi sampai perkemahan?”


Rong An, ketua para penjaga pribadi Tuan Putri, mengendalikan kudanya untuk mendekati kereta. “Menjawab Putri, bukit Jiu berada di gunung di depan. Kita akan sampai di sana besok siang.”


“Apakah mereka yang di perkemahan… tahu aku dalam perjalanan kesana?”


“Aku mengikuti perintah dengan jelas, si pembawa pesan tidak boleh memberitahukan keberadaan Putri. Mereka yang di perkemahan tidak tahu sama sekali kalau Putri akan segera tiba.” Rong An merendahkan suaranya, “Tapi akan sangat buruk sekali kalau mereka sampai salah mengira kita musuh. Tolong biarkan aku mengibarkan bendera kerajaan di atas kereta besok untuk menghindari kesalahan itu.”


“Hmm, baiklah kalau begitu.” Yaotian menutup tirai dan merebahkan tubuhnya di atas bantal-bantal empuk.


Ia telah membaca seluruh laporannya. Meskipun para Jendral memiliki sudut pandang berbeda, tapi mereka semua memikirkan yang terbaik bagi negaranya.


Mereka semua tahu, kemampuan para petarung Jin Anwang di atas rata-rata.


Dan mereka semua tahu bahwa mereka melawan si gila Chu Beijie. Bahkan jika mereka menang, mereka tidak akan kembali tanpa luka.


Mereka ingin melakukan yang terbaik tapi merasa tersiksa atas pengorbanan begitu banyak nyawa prajurit Yun Chang.


Yaotian lebih merebahkan tubuhnya dan matanya mulai terpejam.


Seorang suami yang telah ia pilih memang memiliki kekuatan untuk melawan Chu Beijie, tapi saat ini bukan waktunya untuk menunjukan kemampuannya. Ketika dua ekor singa berkelahi, setidaknya salah satu pasti akan terluka. Mengapa mereka tidak menyelesaikannya dengan damai, bukannya saling mengigit sampai mati?


Kalau Bai Pingting menghilang, Chu Beijie yang tergila-gila padanya, tak diragukan lagi pasti akan pergi.


Dan kalau Chu Beijie pergi, maka dunia akan jatuh ke tangan pria yang baik itu, pria yang tersenyum lembut.


“Istirahatlah Putri, tak peduli apapun, aku takkan pernah menyalahkan Putri atas apapun dalam hidupku.”


“He Xia akan bersumpah saat ini, suatu hari kelak He Xia akan membuat Putri menjadi wanita paling terhormat di seluruh dunia, dan saat itu aku akan memakaikan mahkota di kepala Putri, sebagai Ratu dari empat negara.”


Mata He Xia bersinar seperti bintang, penuh percaya diri yang menarik Yaotian masuk ke dalamnya.


Pada malam pernikahan mereka, He Xia telah berlutut di depannya dengan satu kakinya, sambil memegang tangannya ia bersumpah pada langit.


He Xia, Tuan Besar dari Jin Anwang, Jendral yang hebat.


Ialah suamiku.


Pria yang telah ia pilih dengan susah payah dari sekerumunan besar, Yaotian mempercayakan hidupnya pada pria itu.


Pada setiap pria ada seorang wanita yang ditakdirkan untuknya.


Bai Pingting, Chu Beijie berperang untukmu dan akan menghentikan perang juga untukmu. Sungguh malang, seorang pria hebat yang termasyur dan berambisi menjadi kacau di tanganmu karena mencintaimu.


Seorang pria yang tersia-sia, dulunya adalah seorang Jendral hebat.


He Xia berbeda. Dalam hatinya, kau hanya seseorang yang pernah melewatkan lima belas tahun bersamanya.


Ia suamiku, Suami Ratu Yun Chang.


Dan selamanya akan seperti itu.



--

Setelah beberapa hari perjalanan, mereka sangat sangat lelah.


Sebagian besar uang mereka sudah dihabiskan ketika di ibukota untuk membeli beberapa barang untuk melindungi diri. Dan dalam perjalanan, mereka membeli kuda, makanan, penginapan sampai hampir tak bersisa. Kabar baiknya, sekarang mereka sudah dekat perbatasan. Akan semakin banyak jalan menuju Bei Mo. Dan sepertinya si Pejabat Senior sudah tidak meletakan banyak perangkap lagi untuk menghentikan mereka, jadi bahaya agak sedikit berkurang.


Pingting dan Zuiju menjadi sangat kurus karena begitu banyak musuh yang mengejar mereka hari demi hari. Bagi Pingting hal ini seperti perang yang berbelit-belit. Ia melewati setiap rintangan tanpa menjatuhkan sehelaipun bulu mata. Zuiju baru kali ini merasakan kengerian karena diburu untuk dibunuh, ia sangat ketakutan. Tapi diantara kepedihannya ia masih bisa menemukan hal-hal lucu.


“Ini gunung Songsen! Hah, tinggal sehari perjalanan lagi untuk sampai ke Bei Mo.” Gunung Songsen adalah pertanda perbatasan antara Bei Mo dan Yun Chang, akhirnya bisa terlihat di depan mata mereka. Zuiju dengan gembira menunjuk ke arah gunung agar bisa dilihat oleh Pingting.


Pingting menyembunyikan senyumnya. Ia melihat ke arah yang ditunjuk Zuiju dan mengangguk. “Kau benar, itu Gunung Songsen.” Wajahnya sangat letih setelah perjalanan sehari penuh.


Zuiju memperhatikan wajahnya sebelum berkata, “Hari ini kita tidak perlu tergesa-gesa. Ada pondok kecil di depan. Sebaiknya kita meminta ijin menginap disana. Aku akan membuatkan ramuan untuk kandunganmu. Dan jangan mengelak dengan mengatakan rasanya pahit. Kau harus menghabiskannya sampai tetes terakhir.”


“Tapi rasanya sungguh pahit.” Pingting mulai memucat. “Resep buatanku tak pernah terasa pahit. Aku sudah lebih baik belakangan ini, sudah tidak mual dan muntah.”


“Tidak, aku tabibnya disini. Kau mengetahui obat bius dan racun, tapi kalau obat untuk menyembuhkan, aku jauh lebih baik. Kondisimu tidak sama dengan yang sebelumnya. Kau tidak seharusnya tidak terlalu memaksakan tubuhmu.” Zuiju melotot padanya.


Pingting menyembunyikan senyumnya dan mengangguk. “Baiklah, tabib jenius Zuiju.”


Pondok kecil di depan milik sepasang suami istri tua yang sedang berburu. Mereka merasa kasihan pada dua gadis anggun dan sopan yang meminta ijin untuk menginap semalam. Mereka segera menyetujuinya dan membawanya ke sebuah kamar kecil yang bersih.


Zuiju membuka buntalannya di atas tempat tidur. Tumbuhan obat yang dibawanya tidak banyak. Dan sepertinya ia melupakan satu bahan untuk resepnya. Lalu ia menutup buntelannya kembali, keluar kamar dan bertanya pada si wanita tua, “Nyonya tua, apa di sekitar sini tumbuh rumput Mo ?”


“Seluruh gunung penuh dengan tumbuhan itu. Ia tumbuh alami, dan tidak mati meskipun musim dingin. Kalau kau berjalan ke arah gunung dan membalik salju, kau akan menemukan rumpun tumbuhan itu.” Si Nyonya tua agak curiga, “Mengapa Nona membutuhkan rumput Mo? Bukankah itu untuk wanita hamil?”


“Oh…” Zuiju tertawa. “Bukan untuk apa-apa. Kau tahu kakak perempuanku dan aku sudah melakukan perjalanan jauh selama beberapa hari untuk bertemu kakak laki-laki kami. Istri kakak kami sedang hamil, aku ingin membawakan beberapa agar bisa digunakan untuk kandungannya begitu kami sampai disana.”


“Memang benar, keluarga miskin yang tidak mampu membeli obat, biasanya mengunakan tumbuhan ini untuk menguatkan kandungan. Tumbuhan ini sangat manjur, lebih baik dari gingseng.” Si nyonya tua tertawa, keriput di wajahnya seperti bunga, berbincang dengan seorang gadis merupakan hal yang langka di tempat seperti itu.


“Kalau begitu aku akan memetik beberapa.”


“Ada banyak bebatuan sepanjang jalan, berhati-hatilah.”


Zuiju berjalan beberapa langkah lalu berbalik, ia berkata dengan khawatir, “Kakakku sudah sangat lelah seharian dan sekarang sedang tertidur. Kalau ia bangun tolong beritahu ia aku memetik tumbuhan obat dana akan segera kembali. Nyonya tolong perhatikan kakakku sebentar yach.”


“Aku mengerti, kau jangan khawatir.”


Zuiju meminjam sebuah sekop untuk mengali salju, dan akhirnya ia pergi.


Pingting terlelap sebentar dan terbangun dengan terhuyung-huyung. Ia memanggil Zuiju tapi ia tidak mendengar balasan, ia merasa sangat curiga. Ia duduk dan menyadari kalau buntelan Zuiju berada di dekat kakinya, beberapa tumbuhan obat mencuat keluar.


“Zuiju?” ia turun dari tempat tidur dan memanggil beberapa kali lagi. Dan ia tidak mendengar suara apapun. Pingting berbalik melihat keluar jendela. Langit sudah hampir gelap.


“Zuiju dimana kau?” Suara Pingting agak kencang.


Ada suara tirai di sibak, menandakan seseorang masuk ruangan. Pingting dengan gembira berbalik, tapi ia hanya menemukan Nyonya tua pemilik pondok.


“Nona, adikmu sendang mengambil rumput Mo untuk kakak ipar kalian.” Si Nyonya tua tersenyum ramah. “Makanan sudah siap. Ayo kita makan bersama meskipun sayurnya tidak banyak.”


“Terima kasih Nyonya.” Pingting menjawab pelan, dan tersenyum kecil penuh rasa syukur. Ia mengikuti si Nyonya tua ke ruangan kecil. Suaminya yang bisu sudah duduk di meja. Dengan rapi menyusun hidangan di meja, sayur lobak, ikan kukus, dan setengah mangkuk bubur yang terbuat dari biji-bijian. Semua hidangan itu masih panas.


Si Bapak tua bisu bergerak sambil berkata, “Ahhhh…Ah!”


Hanya si Nyonya tua yang mengerti maksudnya dan ia menjelaskannya pada Pingting, “Nona, duduklah dan makan. Jangan khawatir, adikmu berkata ia hanya pergi ke kaki gunung dan akan segera kembali.”


“Terima kasih Tuan, terima kasih Nyonya.” Pingting melihat ke arah langit yang mulai gelap di luar jendela.


Meskipun hidangannya sangat sederhana, tapi pasangan tua itu sangat peduli dengan kebutuhannya. Ruangan kecil itu sangat hangat. Pingting meletakan sumpitnya dan menatap keluar jendela. Sekarang sudah sangat gelap.


Pingting masih belum melihat sosok Zuiju dan ia mulai khawatir.


“Oh tidak, mengapa adikmu masih belum kembali?” Si Nyonya tua juga menatap keluar dengan khawatir. “Kalau hanya ke kaki gunung, tidak terlalu jauh dari sini, seharusnya ia sudah kembali sekarang.”


Jantung Pingting sangat tidak tenang. Ia berjalan mondar-mandir di halaman kecil di depan beberapa kali. Meskipun Zuiju pintar, malam di gunung adalah hal yang berbahaya. Bagaimana kalau ia bertemu binatang buas, yang sedang gila dan lapar karena musim dingin?


Ia pernah membuat Zuiju menunggu di penginapan ketika di ibukota dan menertawakan ekspresi wajahnya, mengatakan kalau ia khawatir berlebihan. Sekarang Pingting menyadari kalau khawatir pada seseorang adalah perasaan yang sangat mengerikan lebih daripada khawatir pada diri sendiri. Sejak bersama Zuiju, mereka sudah tidak terpisahkan. Ia menjadi lebih dan lebih khawatir sampai akhirnya ia tak sanggup lagi.  “Nyonya, aku akan pergi mencarinya.”


Si Nyonya mengatakan beberapa kata dan menahan pundak Pingting dengan sekuat tenaga.


Si Nyoya tua berkata, “Tunggulah sebentar lagi. Kalau adikmu tidak melihatmu ketika kembali, ia akan lebih khawatir.”


“Tidak, tidak. Aku hanya akan melihat ke sekitar jalan menuju kaki gunung dan akan segera kembali.” Pingting meminjam obor dan menanyakan arah Zuiju berjalan dan berlalu. Sebelumnya ia berkata, “Nyonya, kalau adikku kembali, tolong jangan biarkan ia pergi lagi. Kalau aku tidak melihatnya di jalan menuju kaki gunung. Aku akan kembali secepatnya.”


Si Nyonya tua menghela napas. “Begitulah kakak beradik, adikmu mengatakan padaku berulang kali untuk menjagamu ketika ia pergi. Jadilah gadis yang patuh dan hanya berjalan sampai sekitar kaki gunung. Sekarang sudah sangat gelap, jadi jangan naik ke gunung.”


“Aku mengerti.”


Meskipun saat ini sudah malam, angin yang bertiup tidak terlalu kuat. Pingting berjalan dengan stabil, api obor melukis ekor panjang di belakangnya seperti hendak mengejar sosoknya.


Tak lama kemudian, ia sudah mencapai kaki gunung.


Sinar bulan menerangi setiap senti jalan itu, tapi hanya sampai di situ, tak berani masuk lebih dalam ke hutan.


Bayangan cabang pohon menyerupai bentuk manusia. Ia menaikkan obornya, tapi dimana Zuiju?


“Zuiju, Zuiju!” ia melihat ke sekitar dan meninggikan suaranya untuk memanggil.


Suara gema bergelombang memantul keluar dari hutan.


Pingting berdiri di depan hutan, mempelajari dengan hati-hati. Ada beberapa jejak menandakan seseorang sudah mengali salju. Pingting berlutut. Ia memang ada seseorang yang memetik rerumputan. Jejaknya tertinggal dengan jelas. Pingting mengikuti jalan kecil dan segera menemukan jejak kaki ringan di atas salju. Kalau ia tidak dengan teliti memeriksa sekitarnya dengan obor ia pasti melewatkannya. Ia perlahan mengikuti jejak kaki itu satu demi satu. Sampai bayangan gelap besar hutan di depannya nampak membuatnya berhenti dan menatap.


Zuiju telah memasuki hutan.


Pingting merasa hatinya tiba-tiba sakit dan rasa sakit itu mengalir ke seluruh tubuhnya.


“Zuiju! Zuiju! Dimana kamu?” Pingting berteriak sekuat tenaga.


Kesepian yang melandanya membuatnya merasa sangat putus asa. Ia belum juga melihat wajah seseorang hanya wajah gunung yang besar tampak di depannya. Tidak ada musuh, dan tidak ada perangkap yang harus dilewati.


Kesunyian gunung dan hutan membuatnya merasa kecil, Pingting tak pernah merasa begitu kesepian seperti saat ini.


“Dimana kau?” ia tiba-tiba berbalik, wajahnya yang pucat terlihat dari sinar obor. Dengan seluruh kepintarannya, ia tidak bisa mengambarkan perasaannya saat itu. Ia benar-benar tidak mengerti, mengapa ia lengah ketika ia merasa kebebasan sudah dekat.


Ia berdiri di tengah salju putih yang berkilau. Sisi kiri dipenuhi sinar bulan dan sebelah kanannya penuh pepohonan rindang. Bahkan suara serangga musim dingin tidak terdengar sama sekali. Tiba-tiba ia merasa sendirian.


“Dimana kau?” Pingting berbisik, berusaha mengumpulkan energinya kembali.


Api obor terus membakar pangkalnya, membuat bunyi percik yang samar. Meskipun hanya terdengar samar tetap merupakan sebuah irama di dalam kesunyian.


Sepasang mata yang sombong, bola mata yang bersinar tiba-tiba muncul di kepalanya.


Pundaknya yang tegak. Dan janji mereka untuk saling berjuang, mengapa gadis itu harus masuk ke hutan lebat?


Pedang pria itu yang mampu mengguncang dunia, mengapa tidak mampu menenangkan hatinya yang kacau balau.


Di malam yang gelap dimana tak satu jiwapun bisa terlihat, Pingting tak mampu menahan tangisnya. Bahkan Pingting sendiri tak mengerti mengapa kesedihan yang ia letakan begitu dalam di dasar hatinya bisa menguap keluar, sehingga airmata tak berujung mengalir deras di kegelapan hutan yang luas, berjatuhan ke tanah tanpa meninggalkan jejak.


Ia menundukan kepala dan mengertakan gigi dengan marah. Ia berlutut dan memperhatikan setiap tetes airmatanya yang jatuh ke tanah. Lalu, ia berdiri lagi dengan cepat dan berteriak, “Zuiju! Zuiju! Dimana kau?” wajah penuh airmatanya sangat menderita dan putusasa.


“Nona! Aku disini!” sebuah suara jernih muncul dari hutan yang sunyi.


Pingting jadi bersemangat, ia menaikkan obor yang dipegangnya dan melihat sekeliling.


Dan sebuah sosok keluar dengan cepat dari bayangan pepohonan hutan. Gadis itu memegang sebuah keranjang kecil dan berlari ke arahnya sambil terengah-engah. “Aku sama sekali tidak menyangka, gunung ini penuh tanaman obat. Kita beruntung, lihatlah Nona, sini. Ah…” melihat mata Pingting yang memerah di bawah cahaya api obor, Zuiju segera berhenti bicara dan berkata dengan berbisik, “Kenapa?”


“Tak pa-pa.”


“Sudah menangis seperti itu…” Zuiju mengenggam tangan Pingting yang sedingin es, sama sekali tidak ada jejak bekas kehangatan, “Ini salahku. Maaf, sudah membuat Nona khawatir.”


Pingting tersenyum sedikit.


Pingting selalu dihibur seseorang untuk menenangkan hatinya, tapi hanya ia sendiri yang mengerti betapa konyol dirinya. Bagaimana mungkin Zuiju mengerti apa yang ia pikirkan saat ini?


Pingting berkedip untuk menjatuhkan airmata lagi dalam kesunyian malam.


Zuiju merasa sangat menderita melihat Pingting seperti itu. “Nona, jangan menangis, bukankah aku sudah kembali? Aku tidak akan melakukan hal itu lagi.”


Pingting berbalik, suaranya sangat pedih. “Semua tanaman obat itu tidak penting. Kau harus menjaga dirimu sendiri, udara disini begitu dingin.” Mereka berdua perlahan berjalan kembali ke pondok.


Zuiju lalu berkata, “Biarkan aku memegangnya.” Zuiju mengambil obor dari Pingting, tangan yang lainnya memegang keranjang kecil. Ia masih gelisah dan terus menatap mata Pingting yang merah. Ia memperhatikannya dan berkata, “Apa yang Nona pikirkan?”


Pingting berjalan sambil diam dengan menunduk seakan tidak mendengar pertanyaan Zuiju. Setelah beberapa saat, akhirnya ia membuka mulutnya dan berkata, “Aku memikirkan surat yang aku tulis untuk pria itu.”


Mendengar Pingting yang memulai sendiri mengucapkan kata ‘pria itu’ membuat Zuiju memandang tak berkedip padanya. Ia terlalu takut untuk menyentuh masalah ini yang selalu membuat Pingting menangis, tapi Zuiju tetap tak berani bertanya lebih lanjut. Mereka terus berjalan dengan diam.


Tak lama kemudian, ia mendengar Pingting berkata dengan perlahan, “Ketika aku mengangkat kuas saat itu, meskipun aku menulis banyak hal, tapi dalam pikiranku sangat kacau. Sekarang, ketika aku memikirkannya kembali, mungkin surat itu adalah isi hatiku yang sebenarnya meski aku tidak mengerti diriku sendiri.”


Zuiju tak bisa menahan rasa penasarannya, “Apa yang Nona tulis?”


Pingting berpikir sejenak apakah sebaiknya ia mengatakannya atau tidak. Mulutnya mulai bergerak, tapi ia malah menghela napas, “Meski aku memberitahumu, aku hanya akan membuatmu dalam masalah.”


Dan mereka berdua diam kembali. Tak ada yang bersuara kembali. Mereka mengangkat kepala mereka ketika melihat cahaya dari lilin kecil di dalam pondok. Dan tiba-tiba mereka mendengar suara pertengkaran sengit yang memecah keheningan. “Dasar pasangan tua tak berguna, beraninya melawan!” suara tamparan keras terdengar di langit malam.


Jantung Pingting dan Zuiju berdetak kencang. Keberanian mereka sudah terasah sejak mereka berjuang melarikan diri dari musuh-musuh. Mereka segera mematikan api obor di salju, dan bersembunyi di balik batu besar di jalan.


Dibawah sinar bulan, mereka melihat kedalam. Mereka bisa melihat sosok beberapa pria menutupi pintu masuk pondok.


“Kalau bukan karena kami para petugas berdiri menghadapi Chu Beijie, pasukan Dong Lin pasti sudah menyerbu masuk dan kepalamu pasti akan menjadi mainan bola bagi rakyat Dong Lin untuk di tendang kesana kemari. Prajurit harus di beri makan agar mereka bisa bertempur. Bagaimana mungkin kau berharap untuk bisa tetap hidup tanpa membayar pajak?”


Suara si Nyoya tua menjadi takut dan panic. “Tuan petugas, kami sudah membayar pajak kami dua hari lalu.”


“Itu dua hari lalu, sekarang yang untuk sekarang!” sebuah suara terdengar sangat marah.


Terdengar suara sesuatu patah. Sepertinya seseorang telah menendang pintu kayu sampai hancur.


“Kami sungguh tidak memiliki apapun lagi.”


“Tidak ada apa-apa? Hmph, apa ini?” suara tajam seorang pria menyela dan masuk ke dalam ruangan dengan membawa beberapa benda. Ia tersenyum curiga, “Meskipun kalian sudah tua, tapi kalian masih memiliki benda-benda bagus.”


“Ah! Ahhh…..ah…” Si bapa tua bisu mengerakan tangannya berusaha menghentikan si pria.


Si Nyonya segera menjelaskan, “Tuan, Tuan, barang-barang ini bukan milik kami. Ini milik dua gadis yang menumpang menginap….”


“Berengsek!” si pria menendang Nyonya tua sampai jatuh ke tanah, dan suaranya menjadi curiga. “Bagaimana bisa barang-barang ini bukan milikmu kalau ada di rumahmu? Kuberitahu yach, barang-barang ini cukup untuk pajak hari ini. Kalau kau masih menolak membayar pajak setiap dua hari, kami akan membakar seluruh rumah ini!”


Sambil memegang buntelan Pingting dan Zuiju para pria itu pergi. Mereka berdua menunggu sampai para pria itu agak jauh lalu melihat ke pondok kembali.


“Sungguh para petugas yang kejam.” Zuiju mengerutu. “Itu hal yang biasa terjadi, bahkan di negara Dong Lin. Ketika melihat Tuan Muda yang rapi atau Pejabat penting, mereka akan bertingkah seperti seekor anak anjing manis. Kenyataannya mereka berlaku sekejam srigala. Kalau mereka jatuh ke tangan guruku, mereka pasti di hukum.”


Pingting masih memperhatikan para pria itu sampai sosok mereka menghilang, dan akhirnya berbisik. “Apa yang bisa kita lakukan? Aku selalu menyesal akhir-akhir ini. Apa gunanya belajar kecapi dan menari? Belajar bela diri dan ilmu pedang jauh lebih berguna. Dan ketika berjalan di tanah tidak rata, sebuah pedang tanpa sarung masih bisa berguna sebagai tongkat. Terkutuklah ketidakberdayaanku, aku bahkan tidak bisa menolong diriku sendiri, bagaimana mungkin aku berpikir untuk menolong yang lainnya.”


Zuiju tidak setuju. “Bukankah Nona sudah sangat hebat beberapa hari ini? Mengapa tiba-tiba mulai merajuk lagi? Ada berapa banyak orang yang memiliki bakat sepertimu di bawah langit ini?”


Meskipun kata-kata Zuiju menghibur, Zuiju tiba-tiba memikirkan Tuan Besar. Memang tidak salah. Bagi seorang wanita pintar sekalipun, pasti akan merasa takut ketika harus menghadapi pertempuran jarak dekat. Kalau ia berada di sisi Tuan Besar, Tuan Besar pasti akan melindunginya, memastikan tidak ada seorangpun yang melukainya bahkan sehelai rambutnya.


Tapi tanpa seseorang yang bisa melindunginya, ia hanya bisa melindungi dirinya sendiri.


Mereka berdua berdiri dari balik batu bersamaan. Pingting agak terburu-buru, sehingga menjadi sedikit pusing. Kakinya tidak menapak dengan mantap di tanah, dan bahunya sedikit bergetar.


“Hati-hati Nona!” Zuiju segera berkata, ia mengulurkan tangannya membantu Pingting.


“Aku tak pa-pa.” Pingting menjawab, dan ia sudah lebih stabil. Pingting mengangkat kakinya tapi kemudian ia tak yakin hendak melangkah kemana. Dan kali ini ia kurang beruntung karena tak mampu menahan berat tubuhnya. Tubuhnya terasa ringan dan kosong, akhirnya terjatuh ke atas tanah.


Dalam sekejab mata, Zuiju telah bergerak ke arahnya, tangannya menahan pergelangan tangan Pingting. Zuiju tidak mengira Pingting akan jatuh disaat seperti ini. Karena bergerak tiba-tiba, Zuiju tak mampu menahan tubuhnya juga, akhirnya ia berteriak ketika tubuh Pingting menariknya dan mereka jatuh bersama. Lututnya menyentuh batu dengan keras. Tangannya meluncur di atas batu menyebabkan rasa menyengat yang luar biasa. Zuiju berusaha bangkit dengan menahan sakit, tak peduli dengan sakitnya sendiri. Ia menarik Pingting dan berkata, “Kenapa, kau terluka?”


Pingting merasa pikirannya menjadi sedikit lebih jernih setelah di tolong Zuiju. Ia menggelengkan kepalanya dan berkata, “AKu tak pa-pa.” ia berpikir sejenak, memikirkan apakah ia terluka atau tidak tapi yang jelas ia tidak merasakan sakit apapun.


“Apa kau terluka?”


“Tidak.” Pingting menggosok tangannya dan menggelengkan kepalanya.


Zuiju akhirnya menghela napas lega. “Ini sungguh menakutkanku. Ayo kita kembali sekarang.”


Mereka berdua kembali ke pondok. Ruangan telah sangat kacau. Semua benda-benda berserakan dan rusak. Si bapak tua bisu duduk dengan linglung di pojokan, dan si Nyonya tua menangis dengan sedih. Ketika ia melihat mereka berdua, ia menengadah dan berhenti menangis. Sebuah ekspresi sedih muncul di wajah si Nyonya tua, “Nona, buntelan kalian…”


“Kami sudah tahu. Tuan dan Nyonya tidak bersalah. Lagipula, tidak ada yang penting di buntelan itu.” Pingting mengatakan beberapa kalimat lagi untuk menenangkan mereka, dan akhirnya si Nyonya tua berhenti menangis.


Lalu mereka membantu merapikan ruangan dan membereskan perabotan. Mereka sangat kelelahan ketika akhirnya kembali kekamar untuk beristirahat.


Memikirkan sisa uang perjalanan mereka telah hilang dan tidak ada lagi baju ganti, hari-hari kedepannya akan sangat suram. Dan mereka berdua merasa geli dengan hal ini.


“Uang dan pakaian bukan hal yang penting, tapi orangnya. Untuk mendapatkan uang tidaklah sulit. Uang akan bertambah begitu kita ada pendapatan.” Zuiju membantu Pingting berbaring di tempat tidur. “Berikan tanganmu” ia lalu menekan dua jarinya ke tangan Pingting dan mendengarkan nadi Pingting dengan seksama, lalu ia berkata, “Hmm” lalu menatap Pingting dengan bingung, “Dimana kau merasa tidak enak?”


“Kenapa? Apa bayinya tidak baik?” Pingting sangat terkejut.


“Dimana kau merasa tidak enak?”


“Tidak dimanapun.”


Zuiju berkata lagi, “Biar aku memeriksanya lagi.” Ia dengan hati-hati memeriksa nadi di tangan dan leher tapi masih juga bingung. “Nadinya agak aneh. Apakah kau terkena flu ? Oooh, aku seharusnya tidak membiarkanmu memperhatikanku. Berbaringlah dan jangan bergerak.” Lalu Zuiju mengeluarkan keranjangnya.


Pingting sangat perhatian sekali pada keselamatan janinnya sehingga ia menjadi patuh untuk berbaring dengan tenang. Lalu ia merasa sangat mengantuk, sinar di matanya menjadi redup sampai tertutup rapat. Di akhir kegelapan itu, sebuah cahaya redup kecil melintas. Ia merasa sangat nyaman sampai pundaknya sedikit bergetar. Pingting membuka matanya dan menatap Zuiju, semangkuk penuh obat diletakan di dekat tempat tidur. Lalu Zuiju mengambil mangkuk itu dan mulai meniupnya dengan lembut sambil berkata, “Minum obat ini, dan setelah itu kau bisa tidur. Para petugas berengsek itu, mereka sama sekali tidak menyisakan tumbuhan obatku. Bagusnya, aku telah memetik yang segar hari ini.”


Zuiju mengambil kembali mangkuknya setelah melihat Pingting menghabiskannya dalam sekali teguk. Ia meniup lilin sampai mati, dan mereka berdua tertidur pulas. Mereka telah berjalan seharian penuh, dan untuk Zuiju, ia telah pergi mencari tumbuhan obat begitu mereka diijinkan menginap, serta seluruh kejadian hari ini, Zuiju merasa jauh lebih lelah daripada Pingting. Zuiju segera tertidur begitu kepalanya menyentuh bantal. Dengan sisa tenaga yang tersisa, ia mulai bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat wajah marah gurunya, meskipun marah ada tawa di balik mata gurunya. Lalu Zuiju kembali ke kediaman terpencil diantara bunga-bunga plum yang mekar, ia melihat sebuah sosok tidak begitu jelas di depannya, sedang menatap bulan yang terang. Mimpinya masih berlanjut, yang berikutnya semakin aneh dan erikutnya lebih aneh lagi. Tapi setiap kejadian memiliki suasana hangat dan, seperti membuka jalan untuk cerita lainnya yang berbeda. Tapi setiap cerita memiliki akhir yang bahagia.


Dalam mimpinya yang lembut itu tiba-tiba ada sebuah rasa sakit yang datang entah darimana. Zuiju bertarung dan berjuang dalam mimpinya. Sepertinya ia terluka di tangan atau kakinya. Dan tiba-tiba rasa sakit itu mengalir seperti es yang mencair dari bawah laut naik ke atas, yang memaksanya untuk keluar dari mimpinya.


Zuiju tiba-tiba membuka matanya dan merasakan rasa sakit yang lain.


Kali ini, rasa sakit itu berasal dari cakaran sesuatu.


“Zuiju…Zuiju….” Pingting merintih dari kegelapan.


Zuiju sangat terkejut, ia segera terbangun dan duduk. Dibawah cahaya bulan, alis Pingting terangkat dan jari-jari tangannya yang indah tertancap dalam-dalam di pergelangan tangan Zuiju.


“Nona, kenapa?”


“Sakit.” Pinting menyentuh perut bawahnya. Keringat besar-besar bermunculan di dahinya dan terjatuh ke bantal.


Zuiju merasa was-was, “Aku disini, jangan khawatir.” Ia membuka selimut, mencari buntelannya, tapi kemudian ia ingat kalau buntelannya sudah dirampas. Ia bahkan tidak memiliki mantel untuk di kenakan ketika ia berlari ke kamar pasangan tua yang tidur di belakang. Ia memengetuk pintu dengan kencang dan berteriak, “Nyonya, nyonya ! bangunlah !”


“Ada ada Nona?”


Zuiju memegang tangan si Nyonya tua, “Jarum perak! Apa anda punya jarum perak!”


Si Nyonya tua baru terbangun dan masih agak linglung, “Kami miskin, bagaimana mungkin kami memiliki jarum perak?”


“Kalau begitu, jarum biasa? Jarum untuk menjahit?” airmata Zuiju sudah siap mengalir deras.


“Aku punya sebuah jarum untuk menjahit sudah agak berkarat. Mengapa kau…”


“Jangan bertanya lagi, berikan padaku!”


Zuiju menerima jarumnya dan segera berlari ke ruangan. Ia menyalakan lilin, setelah ada penerangan bisa terlihat Pingting yang mandi keringat. Batalnya juga basah oleh keringat, dan wajahnya sangat pucat sekali. Melihat Zuiju datang, ia menahan sakitnya dan bicara dengan sulit, “Apa yang terjadi?”


“Tidak apa-apa.” Zuiju membakar jarum itu dengan lilin dan menjawab, “Aku perlu menggunakan jarum dan menusukannya di beberapa tempat. Tenang saja.” Suaranya tenang, tapi tubuhnya bergetar. Jarum yang dibakarnya hampir berwarna merah, tapi Zuiju sepertinya tidak merasakan panas. Ia memegang ujung jarumnya ketika berjalan ke tempat tidur, dan membujuk dengan lembut, “Jangan khawatir, tidak akan sakit setelah beberapa kali tusukan.” Zuiju meminta Pingting untuk berbaring dan membuka baju Pingting dengan hati-hati.


Gelombang rasa sakit datang dari perut bawah Pingting seperti sekawanan kuda liar berlompatan di dalam perutnya. Rasanya tak mungkin mampu menahan sakitnya lagi. Melihat Zuiju memegang jarum dan berniat untuk menusuknya di daerah itu, ia terkejut. Ia bingung harus berkata apa tapi ia mengumpulkan seluruh tenaganya untuk menghentikan Zuiju, “Kau tidak akan menyakiti anakku, yak an?”


Zuiju sama sekali tidak ragu ketika menjawab, “Tentu saja tidak, percayalah padaku.”


Setelah mendengar itu, Pingting menjadi sedikit tenang. Menahan sakit telah menguras seluruh tenaganya. Ia berbaring di tempat tidur yang sudah basah karena keringat.


Perutnya mulai terasa hangat, dan kehangatannya mulai menjalar ke tubuhnya. Zuiju masih menusuk di beberapa tempat dan kemudian rasa sakit itu meledak, seperti ranjau darat yang berhasil di lumpuhkan.


Pingting mulai berteriak, “Ahh….” dan meronta sedikit, lalu ia bergelung seperti seekor udang. Tak lama kemudian Pingting sepertinya mulai membaik, rasa sakitnya sepertinya sudah berkurang. Pingting berkerut merasakan sakitnya. Rasa sakit itu perlahan menghilang, terlihat bekas lubang di tempat-tempat bekas jarum ditusukan.


“Merasa lebih baik?” suara Zuiju terdengar mengambang dan sangat jauh.


Beberapa saat kemudian, Pingting akhirnya menarik napas panjang. “Yeah….”


Zuiju juga berkeringat banyak. Mendengar Pingting menjawab ia akhirnya bisa meletakan jarum yang masih di pegangnya, dan mengijinkan dirinya untuk duduk dan beristirahat.


“Apa anakku …. Baik-baik saja?”


Zuiju menjawab, “Sudah kubilang, tubuhmu sangat lemah, jangan terlalu dipaksakan. Haaah…”


“Zuiju?”


“Nona, berbaringlah dengan nyaman. Anakmu benar-benar baik-baik saja.” Zuiju menoleh ke atas dan melihat Nyonya tua yang sudah terbangun karena mereka, melihat dengan penasaran dari balik pintu di luar. Zuiju segera keluar dan meminta maaf, “Maaf, aku sudah membangunkan kalian.”


“Nona…”


“Kakaku sakit.”


“Oh.” Si Nyonya tua melihat ke balik tubuh Zuiju di dalam ruangan. Ia merendahkan suaranya, “Apa ia sudah baikan sekarang?”


“Sangat baik. Tidak pa-pa, Nyonya dan Tuan bisa melanjutkan tidur kalian.”


Setelah berhasil meyakinkan mereka berdua, Zuiju duduk di tempat tidur lagi, “Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan, Nona harus beristirahat beberapa hari.”


Pingting diam saja, setelah beberapa saat akhirnya ia berkata, “Kita tidak bisa terus disini, kita harus pergi. Para petugas itu sudah membawa buntelan kita, siapa yang tahu buntelan itu akan berakhir dimana?” Pingting mengumpulkan semua tenaganya dan berkata dengan suara pelan, “Kalau mereka mengejar kita, kita tidak akan mampu melarikan diri.”


Zuiju menghela napas lagi.


Pingting bertanya, “Apa yang salah dengan tubuhku? Kau tidak boleh menyembunyikannya dariku.”


Zuiju marah dan sedih. Suaranya tersendat tanpa disadarinya. “Apa Nona benar-benar tidak mengerti? Tubuh Nona sejak awal memang belum pulih benar untuk mengandung. Bagaimana mungkin dengan perjalanan yang harus dilalui dan begitu banyak masalah serta kekhawatiran? Aku harus mendapatkan tumbuhan obat yang bagus. Seperti gingseng liar atau jamur Lingzhi.


Pingting bersimbah keringat ketika menahan sakit, tapi sekarang semuanya itu sudah menghilang. Ia merasa hawa dingin menjalar diseluruh kulitnya. Ia menyelimuti diirinya dengan selimut dan tersenyum ramah, “Aku akan menuriti perkataanmu untuk tidak pergi dari sini secepatnya, jadi aku bisa beristirahat selama beberapa hari, setuju?”


Zuiju menghapus airmatanya dan megertakan giginya. “Saat ini, aku sungguh membenci Tuan Besar. Kalau kau memiliki seorang kekasih, seharusnya ia melindungimu dan anakmu. Bagaimana bisa dia meninggalkan Nona dan membuat Nona mengalami situasi seperti ini? Tak peduli bagaimana pendapatmu, semua ini salah Tuan Besar!”


Pingting sama sekali tidak mengira Zuiju akan membicarakan Chu Beijie. Pingting menjadi kesal tapi kemudian ia mengingat bayinya. Pingting hanya bisa setuju saja dengan perkataan Zuiju. Lagipula, Pingting sudah mengerahkan segala yang ia bisa tapi tetap saja harus kalah dengan takdir.


Ia tidak bisa memikirkan bagaimana ia harus hidup.


Pertempuran antar negara dan kekasih tidak pernah sebanding untuk apapun.


Ia tak pernah mengharapkan hal ini sedikitpun, dan tak bisa mencegahnya agar tidak terjadi pada dirinya.


“Sudahlah.” Pingting berkata dengan lembut dan memejamkan matanya. “Jangan membuang waktu dan tenaga untuk pria itu lagi, atau aku benar-benar menyia-nyiakan hidupku.” Pingting mengelus lembut perut bawahnya. Meskipun belum terlihat dari penampilan luarnya, tapi ia merasakan sebuah bentuk jendulan jika mengelusnya dengan perlahan.


Anakku, jangan pernah terjebak dengan permasalahan negara dan cinta.


Moralitas seperti sebuah peraturan di permukaan, tapi bentuk sebenarnya adalah sebuah gembok berat yang berlapis darah. Yang membelengu kuat hatimu dan membutakan kedua matamu.


Jangan menjadi seperti ayahmu, juga jangan menjadi seperti ibumu.


Anakku, saat kau mencintai ataupun membenci jangan pernah melupakan asalmu.


Jangan pernah.


Menara api berwarna ungu terang, dinyalakan dari satu menara ke menara lainnya, sambung menyambung di langit. Asap bergulung ke atas, memberitahukan semua orang bahwa pertempuran besar akan segera berlangsung. Bendera-bendera berkibaran di udara.


Terompet tanduk yang ditiup, menghasilkan bunyi yang sangat menyedihkan.


Dari kejauhan, dataran dipenuhi barisan rapat helm besi. Ribuan senjata diarahkan lurus ke atas, berkilau dengan sinar dinginnya. Seluruh permukaan tanah disana ditutupi oleh barisan prajurit Dong Lin.


Chu Beijie berada di atas kudanya yang berdiri tegak menghadang angin di depan para prajurit. Bendera Panglima Zhen Beiwang di kibarkan di belakangnya. Mengepak dengan kuat diterpa angin. Sebuah lambang yang membuat takut para musuh-musuhnya.


Di seberang mereka, sebuah bendera lain yang penuh warna berkibar di kejauhan, yang juga memiliki sejumlah besar pasukan prajurit.


Yun Chang, negara yang selalu menyembunyikan dirinya dan tak pernah menunjukan wajahnya. Hasilnya adalah mereka mampu membangun kekuatan militer yang begitu besar dan tidak bisa diremehkan.


Chu Beijie mulai menajamkan matanya, berusaha melihat sosok itu, berdiri dengan sangat percaya diri di depan pasukannya. Penasihat utama pasukan Yun Chang.


Chu Beijie mengingat sosok itu, sosok yang mengamati ke bawah dari atas bukit Tiga Burung Layang-layang, dan tersenyum. Benar, pria yang sama.


Dulu ia Tuan Besar Jin Anwang, dan sekarang ia Suami Ratu Yun Chang.


Dan seseorang yang telah mencuri Pingting dari tangannya!


Angin kencang bertiup diantara mereka tapi karena merasakan perang yang akan segera terjadi, anginpun berlalu.


Dan kesunyian tiba-tiba mencekam suasana. Suara irama aneh yang tidak terdengar semakin mendekat dan mendekat dengan cepat, bermain di keheningan. Beberapa ratus prajurit berdiri di atas tanah datar, diam tak bergerak seperti batu nisan. Bahkan kuda merekapun tidak berani meringkik.


Chu Beijie memperhatikan He Xia dengan seksama. Mereka terpisah jarak yang sangat jauh, tapi mereka sanggup saling bertatapan mata. Sama-sama tajam dan menusuk.


Dia mencuri Pingting, mencuri Pingting yang sedang mengandung darah dagingku.


Tangan Chu Beijie mencengkram kuat pedangnya.


Saat ia mengeluarkannya dari sarungnya, pertempuran tanpa jeda akan berlangsung sampai akhir. Tidak ada jalan mundur.


Chen Mu berdiri disisi Chu Beijie. Telapak tangannya basah oleh keringat seperti para Jendral lainnya. Ia tahu, begitu pedang Chu Beijie keluar dari sarungnya, ratusan ribu prajurit ini akan bergerak maju dan akan memciptakan gelombang darah di langit.


Hanya untuk seorang wanita.


Seorang wanita.


Bai Pingting, nama yang akan dikenang selamanya oleh empat negara.


Seluruh tatapan mata tertuju pada telapak tangan Chu Beijie. Nasib seluruh prajurit ditentukan oleh satu gerakan tangan dan pedangnya.


Udara sangat pengat, bernapaspun seperti berjalan diatas benang tipis yang ditarik sampai tegang. Udara semakin menipis di area kosong di antara dua pasukan.


Suara kuda berlari terdengar.


Dari arah selatan gunung, ada sebuah gerakan tergesa-gesa. Bergerak maju dari arah samping tanpa menghiraukan kedua pasukan, ia berjalan ditengah mereka. Situasi saat itu terlihat seperti sebuah lukisan minyak yang mulai terbakar dibelah oleh sebuah pedang, menciptakan keindahan pada lukisan suram.


“Bendera anggota keluarga Kerajaan Yun Chang?” Chen Mu berbisik tidak percaya.


Pandangan Chu Beijie melewatinya, sebuah tulisan besar berkibar di matanya. Sebuah cahaya berkilat di matanya. Seseorang berkuda dengan memajang bendera itu dan bergegas menuju dirinya. Orang itu membungkuk sedikit dan bertanya dengan suara jernih, “Apakah anda Panglima Zhen Beiwang, Chu Beijie?”


“Aku Chu Beijie, siapa kau?” suara Chu Beijie sangat dalam.


“Aku kepala pasukan penjaga keluarga kerajaan Yun Chang, Rong An. Tuanku, Putri Yaotian, telah memintaku untuk menyampaikan pesan. Aku meminta waktu Panglima, sebentar saja.”


“Pertempuran sudah hampir di mulai, dimana Tuan Putri berada saat ini?”


“Putri disini.” Rong An menunjuk ke arah belakangnya.


Kerumuman kemudian melihat pada kejauhan. Sebuah kereta berhias indah berada di kaki bukit. Saat ini baru menjelang fajar, dan kereta itu bergegas menuju ke tengah-tengah diantara kedua pasukan.


Hati Chu Beijie tiba-tiba seperti ditarik oleh sebuah benang transparant, dimatanya tersirat rasa terkejut luar biasa.


Yaotian ingin menyelesaikan segalanya dengan damai.


Apalagi yang bisa ia tawarkan selain Pingting? Yaotian harus bergegas untuk menghentikan pertempuran kedua pasukan sekaligus menghindari He Xia, ia bergerak lurus kearahnya. Tak salah lagi, pasti berhubungan dengan Pingting.


Hatinya yang selalu membeku tiba-tiba menyala seperti terbakar. Ia tiba-tiba saja terserang emosi yang begitu besar dan tak tahu harus bagaimana.


Kereta semakin mendekat. Dan disisi pasukan seberang, sepertinya mereka juga sudah menyadari bendera kerajaan dan terkejut hingga terdiam.


Rong An membawa kudanya ke samping kereta dan berbicara di samping jendela. Lalu ia berkuda kembali ke Chu Beijie dan berkata, “Tuan Putri, menyambut Panglima di keretanya, silakan.”


Kereta berhenti di tengah-tengah kedua pasukan, empat kuda seputih salju menundukan kepala mereka dan berhenti. Mungkin di kusir menerima perintah dari orang yang berada di dalamnya. Mereka berhenti sekitar seratus langkah dan menunggu dengan sabar.


Chen Mu mengingatkan, “Hati-hati Tuan, He Xia selalu punya banyak rencana, jangan sampai di sergap.”


Chu Beijie tertawa dingin, “Itu hanya sebuah kereta. Bahkan kalau diisi banyak orang, bagaiman bisa menandingiku dengan pedang di tangan?” lalu Chu Beijie berkuda mendekati kereta, dan bertanya dengan tenang, “Apakah Tuan Putri Yun Chang, Yaotian, yang berada di dalam? Chu Beijie disini. Apa yang hendak Putri sampaikan?”


Yaotian membuka tirai jendela, ia menatap Chu Beijie yang duduk di atas kudanya, terlihat anggun dan mengesankan. Ia memuji penampilan Chu Beijie dalam hatinya dan berkata dengan suara pelan. “Yaotian telah diminta tolong untuk menyampaikan sebuah surat kepada Panglima.”


“Hanya sebuah surat?” mata Chu Beijie menyipit. Udara disekitarnya berubah dingin. “Dan orangnya?”


“Orangnya tidak sudah tidak berada di Yun Chang.” Yaotian menjawab. “Panglima akan mengerti setelah membacanya.”


Ekspresi Chu Beijie menjadi lebih dingin ketika ia menatap melewati tirai, sebuah pertempuran saling menatap. Lalu Chu Beijie berkata, “Tuan Putri sungguh meremehkan aku. Pasukan Dong Lin sudah berjalan ribuan mil untuk sampai ditempat ini hanya untuk orang itu. Kalau Yun Chang tidak bisa mengembalikannya padaku, dan berharap sebuah surat mampu membuatku menarik mundur pasukan. Bagaimana mungkin aku bersedia menerima permohonan bodoh seperti itu? Jangan salahkan kalau aku tidak percaya padamu, kalau orang itu dilukai dengan cara apapun. Aku bersumpah akan membuat seluruh anggota keluarga Yun Chang bersimbah darah.”


Yaotian diam agak lama, dan ia menghela napas dengan sedih. “Yaotian mendengar kalau Panglima Besar Zhen Beiwang adalah seorang pahlawan, bolehkan Yaotian mengajukan sebuah pertanyaan.”


Chu Beijie sudah hendak pergi, tapi ia mengubah pikirannya. Ia tak bisa mengabaikan apapun yang berkaitan dengan Pingting. Ia mengenggam tali kekang kudanya dan berkata, “Silakan.”


Yaotian berkata lagi, “Yaotian ingin bertanya, apakah saat ini Panglima, sedang memimpin pasukan, menuju pertempuran, hanya demi seorang wanita bernama Bai Pingting?”


“Benar.”


“Lantas, apakah Raja Dong Lin setuju dengan hal ini?”


Chu Beijie tersenyum mengejek, “Itu masalah Dong Lin, dan pasukan sudah berada disini. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Putri.”


“Hubungan antara Panglima dan Nona Bai berkaitan erat dengan dendam antar negara. Pertanyaan tentang mana yang lebih penting apakah perasaan atau negara, dan tentang melupakan kebahagiaan sendiri untuk negara, selalu menjadi dilema yang kejam.”


“Putri, apa yang ingin disampaikan?”


Yaotian menghela. “Teori dan moral selalu disandingkan bersama, tapi sebenarnya tidak sama. Moral datang dari hati dan teori berasal dari hal yang sepantasnya dilakukan. Teori adalah hal yang paling benar, dan sering mengesampingkan moral. Sebagai hasilnya, para prajurit secara buta mengikuti keharusan mematuhi perintah dan tidak mendengarkan hati mereka. Mereka mematuhi, katakanlah masalah negara dan harus mengorbankan nyawa mereka untuk negara. Sungguh bersyukur, karena ketika mereka tidak benar-benar menginginkannya tapi tetap harus melakukannya karena teori mengatakan seperti itu. Apakah hal ini tidak sama dengan yang Panglima rasakan, hari itu ketika Panglima telah memilih negara dan bukan Pingting, mengakibatkan janji tanggal enam yang dilanggar.”


Chu Beijie yang biasa-biasa saja di awalnya tiba-tiba menjadi sangat emosi ketika mendengarnya. Kata-katanya menjadi sangat serius, “Lanjutkan.”


“Negara atau orang, mana yang lebih penting? Ini bukan masalah yang bisa selesai dengan barter.” Yaotian menghentikan perkataannya agar lebih meresap, lalu melanjutkan dengan halus, “Panglima boleh berpikir kalau para leluhur kita dulu, mungkin telah memikirkan untuk bersatu demi menghindari kekejaman, untuk kehidupan yang lebih baik sehingga mereka bisa bisa mengejar kebahagiaan mereka sendiri. Hanya dengan begitu bentuk sebuah negara mulai terlihat. Akar dari sebuah negara adalah orang-orangnya. Untuk apa tetap tinggal disana, ketika harus mengorbankan kebahagiaan sendiri demi melindungi negara? Apa gunanya mengenang seorang pria yang hanya tahu melindungi negara, dan sama sekali tidak mengerti tentang menghargai kebahagiaannya sendiri?”


Tubuh Chu Beijie mulai bergetar. Genggamannya semakin mengencang di tali kekangnya, Yaotian melanjutkan, “Dan bagaimana bisa, seorang pria, demi kebahagiaannya sendiri mampu mengorbankan ratusan ribu nyawa para prajurit, untuk merebut kebahagiaan orang lain. Untuk menjadi pahlawan dan cinta sejati Bai Pingting? Pikirkanlah, Panglima, apakah seluruh para prajurit di bawah komandomu ini benar-benar mengingikan pertempuran di medan perang hanya demi seorang wanita?”


Yaotian menghela sekali lagi dan berkata dengan lebih pelan. “Bai Pingting berharap, Panglima membuka mata untuk benar-benar melihat, apa yang sebenarnya perlu di hargai di dunia ini, dan siapa yang paling penting untuk berbahagia. Ia berharap Panglima mengetahui, bahkan di koloni semut, mereka memiliki kebebasan dan ambisi, tapi selalu ada kebahagiaan di mata mereka.”


Chu Beijie merapatkan giginya dengan kuat dan ia kehilangan kata-kata, lama sekali.


Dibawah sinar cahaya pagi, senyum Pingting selalu lembut seperti air, tapi sekarang senyumnya telah melebur bersama danau dan lautan, sama sekali tidak bersisa.


Landasan sebuah negara adalah orang-orangnya.


Kalau tidak melakukannya dengan hati, mengapa harus memaksa mereka satu per satu mengorbankan hal yang paling disayangi, hanya untuk reputasi negara?


Negara dan orang, bukan dua pilihan terpisah, melainkan satu.


Hanya mereka yang mendengarkan kata hati, mencintai apa yang mereka cintai, dan membenci apa yang mereka benci, adalah manusia yang sebenarnya.


Chu Beijie menolehkan kepalanya ke langit, tertawa pada langit sambil membiarkan air matanya jatuh melewati pipinya. Ia berkata dengan suara pelan, “Terima kasih, sudah mengutarakan hal ini, Putri.”


Sebuah surat perlahan di keluarkan melalui tirai.


“Yaotian masih belum berpengalaman, tidak pantas mendapat pujian Panglima. Semua kata-kata itu ditulis oleh Nona Bai di suratnya.”


Chu Beijie turun dari kudanya, menerima surat dengan perlahan dan hati-hati seperti menerima seorang bayi yang baru lahir. Sebuah getaran menjalar di tulang belakangnya, “Terima kasih, Putri. Aku bersumpah pada Putri, pasukan Dong Lin akan segera mundur.”


Yaotian tidak mengira, Chu Beijie akan membuat keputusan mundur dengan begitu cepat. Yaotian menghela napas dan berkata, “Apa Panglima tidak khawatir kalau surat ini palsu, dan ternyata Nona Bai masih di tawan oleh kami?”


Chu Beijie tertawa. “Kalau Pingting tidak percaya diri, mengapa ia meminta Putri menyampaikan suratnya? Tulisan tangan bisa dilupakan tapi tidak dengan kata-kata bijak?”


Ia naik ke kudanya dan berbalik menuju ke pasukannya. Chen Mu telah sangat tidak sabar menunggu, ia segera menghampiri dan bertanya, “Apa yang dikatakan Tuan Putri Yun Chang?”


“Tarik mundur seluruh pasukan.”


“Apa?”


Chu Beijie terkekeh lama sekali. “Mundur! Kita tidak akan bertempur lagi.”


Meskipun semua orang terkejut dengan hal ini, mereka juga sedikit merasa senang. Beberapa orang bertanya, “Bagaimana dengan Nyonya?”


“Aku akan mencarinya sendiri.” Pandangan Chu Beijie beralih ke langit jauh, matanya penuh kebulatan tekad. “Aku akan menemukannya, meskipun ia berada di ujung dunia.”


Langit sungguh pengasih, tolong berkahi aku dan Pingting.


Kau bisa terbang di langit dengan sayapmu. Chu Beijie bersedia mengikutimu sampai ujung dunia.


Mulai sekarang, aku akan mencintai apa yang kucintai dan membenci apa yang kubenci.


Aku mengerti apa yang ingin kulakukan dan mengerti apa yang harus kulakukan.


Aku mengerti apa yang mesti kujaga dan seharusnya dijaga. Ikatan macam apa yang seharusnya aku putuskan dan ikatan macam apa yang sebaiknya aku perkuat.


Aku mengerti, kalau negara dan rumah, negara dan orang, selalu merupakan satu kesatuan.


Aku mengerti, perngorbanan bukanlah hal terhebat, tapi dengan menghargai orang yang kucintai, sebuah negara bisa tumbuh berkembang dengan baik. Dengan begitu akan tumbuh sepasang sayap kuat yang mendukung cita-cita yang menjulang tinggi, seperti hal mengalirkan darah merah demi ambisi.


Pingting, Pingting. Aku telah mendengar kata hatiku.


Ia mengatakan, setelah ini dan seterusnya, aku tidak akan pernah meninggalkanmu.


Bahkan kalau dunia ini hancur, atau kekuasaaan tertinggi mencoba menghalangi, perasaan ini akan tetap sama.


“Pasukan mundur!”


“Mundur! Mundur!”


Pasukan Dong Lin bergerak mundur dan pertempuran utama behenti di saat akhir.


Chu Beijie memandang di kejauhan, tak bisa melihat sosok Pingting yang sangat dikenalnya. Tapi ia akan menemukan Pingting, ia harus menemukannya dan melindunginya dengan cinta, seperti ketika ia menemaninya di bawah langit penuh bintang, Pingting sambil bermain kecapi atau hanya sambil memandang bintang di atas salju.


Mereka akan menyaksikan anak-anak tumbuh, mengajari mereka untuk tidak tersesat dan terbelenggu oleh depresi gelap. Ia akan selalu mengingat, moral datang dari hati dan hanya dengan mendengarkan kata hati, seseorang takkan pernah dibutakan oleh dunia.


Ia mengerti setiap orang memiliki takdir mereka sendiri, setiap orang memiliki ambisinya sendiri, setiap orang memiliki kebebasannya sendiri dan setiap orang memiliki kebahagiaannya sendiri.


Hal ini tidak bisa dikesampingkan oleh masalah negara ataupun moral.


Karena, landasan sebuah negara – adalah orang.


--00--

novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia