Sebuah
kereta kuda yang indah, dikelilingi para penjaga berjalan dari ibukota Yun
Chang menuju perbatasan. Beberapa pembawa pesan menghampiri untuk menyampaikan
berita kepada orang yang berada di dalamnya.
Dua
kabar yang diterimanya sangat tidak baik.
Kabar
dari Pejabat Senior datang bertubi-tubi. Yang pertama Bai Pingting menghilang
dari ibukota, yang selanjutnya sekelompok orang dikirim ke jalan gunung dengan
alasan yang aneh dan hasilnya sungguh mengherankan mereka terkena penyakit
aneh. Gui Changqing telah mengirim hampir seluruh orang-orangnya untuk menyamar
dan memasang perangkap di rute menuju ibukota Bei Mo, tapi semua itu sama
sekali tidak memberikan hasil.
Bai
Pingting dan pelayannya telah melewati semua penghambat, dan sama sekali tidak
meninggalkan jejak. Kepala naga menunjukan pergerakannya tapi tubuh dan ekornya
benar-benar menghilang. Surat terakhir mengatakan bahwa mereka telah terlihat.
Seharusnya mereka segera bisa ditangkap, tapi mereka malah menyebar obat aneh
yang membuat pengejarnya kehilangan kekuatan. Para pria itu hanya bisa duduk
dan menyaksikan dua wanita itu menyelinap pergi.
“Bai
Pingting yang itu.” Yaotiang membaca surat Gui Changqing sambil membakar kertas
pesannya, menyaksikan isi suratnya berangsur-angsur menjadi abu. Ia merendahkan
suaranya, “Kapan mereka akan muncul?”
“Menjawab
Putri, semua orang telah di peringatkan berkali-kali oleh Pejabat Senior.
Mereka semua menyamar sebagai perampok dan tidak pernah membocorkan apapun pada
Pingting.” Si pengirim pesan berlutut di depan Yaotian. “Seharusnya Pingting
tidak tahu kalau mereka orang kita.”
“Sulit
dikatakan.” Yaotian menghela napas. “Meskipun Pingting tahu, apa yang bisa ia
lakukan? Ia tidak terluka, dan tidak punya bukti. Tidak akan ada yang percaya
padanya meski ia melapor. Baiklah, pergi dan katakan pada Pejabat Senior tidak
perlu membuang-buang tenaga untuk Bai Pingting lagi. Kita sudah gagal terlalu
sering. Langit tidak setuju dengan tindakan kita. Untuk apa memaksa kematiannya
ketika mereka sudah begitu jauh?”
Si
pengirim pesan menjawab dengan hati-hati. “Aku akan mengingat kata-kata Putri
dan menyampaikannya pada Pejabat Senior.”
“Pergilah.”
Melihat
si pengirim pesan menghilang dari balik tirai, Yaotian merasa kesepian di dalam
kereta mewah itu. Yaotian menghela napas pelan. Perhiasan yang mengkilau dan indah
yang merupakan seleranya telah diletakan di dalam kereta agar ia merasa lebih
nyaman ketika berada di dalamnya. Tapi Yaotian sama sekali tidak
menghiraukannya.
Ada
berita buruk yang sudah menantinya.
Setelah
menerima surat dari Bai Pingting yang ditulis sendiri olehnya, Yaotian segera
memanggil kurir untuk mengantarkan surat itu pada Gui Changqing. Lalu Yaotian
memerintahkan semua orang untuk melewatkan segala tata cara bagi seorang Tuan
Putri yang akan meninggalkan ibukota, ia secepatnya menuju perbatasan. Daripada
memikirkan nyawa para prajurit yang akan hilang di pertempuran yang sia-sia,
memikirkan pertikaian yang akan terjadi antara dua Jendral, Chu Beijie dan He
Xia jauh lebih penting.
Sementara
Yaotian masih dalam perjalanan, dua pasukan sudah saling berhadapan.
Pertempuran
pertama terjadi di dataran Yang. Chu Beijie telah memukul mundur pasukan He Xia
dua belas mil yang menghasilkan banyak korban dari pasukan Yun Chang.
Pertempuran
kedua dimulai dari dataran Yang yang kemudian bergeser ke timur. Dan seperti
yang diharapkan dari seorang Jendral terkemuka He Xia, ia tahu kalau Chu Beijie
sedang terburu-buru menyerang, He Xia dengan cerdiknya menghindari bentrokan
langsung dan lebih mengutamakan serangan dari sayap kanan. Ia mendorong mereka
ke arah hutan lebat. Kalau saja Chu Beijie tidak segera merubah rencananya dan
mengirim kurir cepat untuk segera mundur, serangan itu akan membuat pasukan
Dong Lin butuh waktu lama untuk pulih kembali. Serangan ini membuat Chu Beijie
menjadi lebih waspada. Selanjutnya pasukan Dong Lin tidak lagi menyerang tanpa
perencanaan terlebih dahulu.
Yaotian
bergegas siang dan malam, berharap untuk menghentikan pertempuran. Ia menerima
berita tentang korban pertempuran sepanjang perjalanannya. Tak hanya itu, hutan
lebat Yun Chang banyak dihuni rakyatnya. Cukup sekali saja melemparkan api,
tempat mereka yang damai dan nyaman akan menghilang.
Yun
Chang tidak boleh mengorbankan nyawa rakyatnya. Ia harus sampai secepat
mungkin. Chu Beijie berkemah di kaki gunung Bianfeng sementara He Xia meletakan
pasukannya di bukit Jiu. Begitu pertempuran resmi berlangsung, akibatnya akan melebihi
malapetaka yang tak bisa dibayangkan.
He
Xia menjelaskan dengan singkat situasi di medan pertempuran. Kata-katanya penuh
keyakinan. Kebanyakan kata-kata dalam laporan militer itu merupakan salam penuh
cinta yang ditujukan untuknya langsung. Jendral lainnya menjelaskan dengan
lebih rinci dan jelas tentang peristiwa kejam yang sedang berlangsung.
“Pasukan
utama Chu Beijie adalah pilihan dan terlatih baik, sangat gesit seperti angin.
Sejak pertempuran di dataran Yang terlihat jelas kalau mereka adalah inti dari
pasukan Dong Lin.”
“Kilauan
cahaya pedang memantul dimana-mana, dan jeritan menguncang langit. Mayat-mayat
menarik minat para gagak. Pasukan bekuda Yun Chang menyerbu Chu Beijie dari
depan dan hampir tidak ada yang berhasil selamat.”
“Kekuatan
Chu Beijie sungguh sulit di tandingi. Keberanian saja tidak bisa
menghentikannya. Selain He Xia tidak ada yang akan bisa bertahan lebih dari
sepuluh kali pertempuran. He Xia adalah pahlawan yang paling berani yang
dimiliki Yun Chang.”
“Rencana
He Xia sangat cerdik. Pertama desak mereka ke arah hutan Youfu, lalu menyerang
pasukan Dong Lin dari sayap kanan.”
“Nyala
api sudah memenuhi langit, sama sekali tidak meredup selama dua hari dua malam.
Tiga puluh mil hutan gelap sudah menjadi abu hari ini.”
“Kalau
saja bukan karena He Xia, pertempuran ini sama sekali tanpa harapan.”
“Aku
telah memimpin banyak prajurit selama bertahun-tahun, tapi belum pernah melihat,
para prajurit beserta Jendral mereka penuh dengan semangat tempur dalam sebuah
medan perang. Pertempuran sesungguhnya baru akan terjadi, dan meskipun He Xia
memiliki kemampuan, aku takut kedua belah pihak akan mengalami kehilangan
besar. Aku menyarankan Tuan Putri menurunkan perintah untuk He Xia agar
melakukan apapun untuk menghentikan peperangan ini.”
“Suami
Ratu Yun Chang memang seorang Jendral hebat dan itu merupakan berkah bagi Yun
Chang. Kalau, kita bisa mengalahkan Chu Beijie maka Yun Chang selamanya akan
menjadi negara terhebat diantara empat negara.”
“Tapi,
selama Dong Lin memiliki Chu Beijie, Yun Chang tak akan pernah bisa menang. Aku
mempertaruhkan nyawaku untuk menulis laporan seperti ini, mohon Tuan Putri
mempertimbangkan.”
Setiap
laporan penuh dengan ratusan kata-kata. Tak peduli sesopan apa yang tertulis,
darah mereka mendidih.
Yaotian
membaca dengan seksama seluruh laporan dari perbatasan itu dan ia mengelus
dahinya. Ia mengelus dahinya lagi dan membuka tirai jendela kereta.
Malam
telah tiba di Yun Chang, damai seperti malam-malam biasanya. Bayangan
pertempuran besar seperti di mahluk buas yang sedang bersembunyi, yang akan
melompat keluar dan menghisap darah segar manusia lalu pergi ke dalam
kegelapan.
“Sampaikan
perintah, bergeraklah lebih cepat. Rong An, masih berapa jauh lagi sampai perkemahan?”
Rong
An, ketua para penjaga pribadi Tuan Putri, mengendalikan kudanya untuk
mendekati kereta. “Menjawab Putri, bukit Jiu berada di gunung di depan. Kita
akan sampai di sana besok siang.”
“Apakah
mereka yang di perkemahan… tahu aku dalam perjalanan kesana?”
“Aku
mengikuti perintah dengan jelas, si pembawa pesan tidak boleh memberitahukan
keberadaan Putri. Mereka yang di perkemahan tidak tahu sama sekali kalau Putri
akan segera tiba.” Rong An merendahkan suaranya, “Tapi akan sangat buruk sekali
kalau mereka sampai salah mengira kita musuh. Tolong biarkan aku mengibarkan
bendera kerajaan di atas kereta besok untuk menghindari kesalahan itu.”
“Hmm,
baiklah kalau begitu.” Yaotian menutup tirai dan merebahkan tubuhnya di atas
bantal-bantal empuk.
Ia
telah membaca seluruh laporannya. Meskipun para Jendral memiliki sudut pandang
berbeda, tapi mereka semua memikirkan yang terbaik bagi negaranya.
Mereka
semua tahu, kemampuan para petarung Jin Anwang di atas rata-rata.
Dan
mereka semua tahu bahwa mereka melawan si gila Chu Beijie. Bahkan jika mereka
menang, mereka tidak akan kembali tanpa luka.
Mereka
ingin melakukan yang terbaik tapi merasa tersiksa atas pengorbanan begitu
banyak nyawa prajurit Yun Chang.
Yaotian
lebih merebahkan tubuhnya dan matanya mulai terpejam.
Seorang
suami yang telah ia pilih memang memiliki kekuatan untuk melawan Chu Beijie,
tapi saat ini bukan waktunya untuk menunjukan kemampuannya. Ketika dua ekor
singa berkelahi, setidaknya salah satu pasti akan terluka. Mengapa mereka tidak
menyelesaikannya dengan damai, bukannya saling mengigit sampai mati?
Kalau
Bai Pingting menghilang, Chu Beijie yang tergila-gila padanya, tak diragukan
lagi pasti akan pergi.
Dan
kalau Chu Beijie pergi, maka dunia akan jatuh ke tangan pria yang baik itu,
pria yang tersenyum lembut.
“Istirahatlah
Putri, tak peduli apapun, aku takkan pernah menyalahkan Putri atas apapun dalam
hidupku.”
“He
Xia akan bersumpah saat ini, suatu hari kelak He Xia akan membuat Putri menjadi
wanita paling terhormat di seluruh dunia, dan saat itu aku akan memakaikan
mahkota di kepala Putri, sebagai Ratu dari empat negara.”
Mata
He Xia bersinar seperti bintang, penuh percaya diri yang menarik Yaotian masuk
ke dalamnya.
Pada
malam pernikahan mereka, He Xia telah berlutut di depannya dengan satu kakinya,
sambil memegang tangannya ia bersumpah pada langit.
He
Xia, Tuan Besar dari Jin Anwang, Jendral yang hebat.
Ialah
suamiku.
Pria
yang telah ia pilih dengan susah payah dari sekerumunan besar, Yaotian
mempercayakan hidupnya pada pria itu.
Pada
setiap pria ada seorang wanita yang ditakdirkan untuknya.
Bai Pingting, Chu
Beijie berperang untukmu dan akan menghentikan perang juga untukmu. Sungguh
malang, seorang pria hebat yang termasyur dan berambisi menjadi kacau di
tanganmu karena mencintaimu.
Seorang pria yang
tersia-sia, dulunya adalah seorang Jendral hebat.
He Xia berbeda.
Dalam hatinya, kau hanya seseorang yang pernah melewatkan lima belas tahun
bersamanya.
Ia suamiku, Suami
Ratu Yun Chang.
Dan selamanya akan
seperti itu.
--
Setelah
beberapa hari perjalanan, mereka sangat sangat lelah.
Sebagian
besar uang mereka sudah dihabiskan ketika di ibukota untuk membeli beberapa
barang untuk melindungi diri. Dan dalam perjalanan, mereka membeli kuda,
makanan, penginapan sampai hampir tak bersisa. Kabar baiknya, sekarang mereka
sudah dekat perbatasan. Akan semakin banyak jalan menuju Bei Mo. Dan sepertinya
si Pejabat Senior sudah tidak meletakan banyak perangkap lagi untuk
menghentikan mereka, jadi bahaya agak sedikit berkurang.
Pingting
dan Zuiju menjadi sangat kurus karena begitu banyak musuh yang mengejar mereka
hari demi hari. Bagi Pingting hal ini seperti perang yang berbelit-belit. Ia
melewati setiap rintangan tanpa menjatuhkan sehelaipun bulu mata. Zuiju baru
kali ini merasakan kengerian karena diburu untuk dibunuh, ia sangat ketakutan.
Tapi diantara kepedihannya ia masih bisa menemukan hal-hal lucu.
“Ini
gunung Songsen! Hah, tinggal sehari perjalanan lagi untuk sampai ke Bei Mo.”
Gunung Songsen adalah pertanda perbatasan antara Bei Mo dan Yun Chang, akhirnya
bisa terlihat di depan mata mereka. Zuiju dengan gembira menunjuk ke arah
gunung agar bisa dilihat oleh Pingting.
Pingting
menyembunyikan senyumnya. Ia melihat ke arah yang ditunjuk Zuiju dan
mengangguk. “Kau benar, itu Gunung Songsen.” Wajahnya sangat letih setelah
perjalanan sehari penuh.
Zuiju
memperhatikan wajahnya sebelum berkata, “Hari ini kita tidak perlu
tergesa-gesa. Ada pondok kecil di depan. Sebaiknya kita meminta ijin menginap
disana. Aku akan membuatkan ramuan untuk kandunganmu. Dan jangan mengelak
dengan mengatakan rasanya pahit. Kau harus menghabiskannya sampai tetes
terakhir.”
“Tapi
rasanya sungguh pahit.” Pingting mulai memucat. “Resep buatanku tak pernah
terasa pahit. Aku sudah lebih baik belakangan ini, sudah tidak mual dan
muntah.”
“Tidak,
aku tabibnya disini. Kau mengetahui obat bius dan racun, tapi kalau obat untuk
menyembuhkan, aku jauh lebih baik. Kondisimu tidak sama dengan yang sebelumnya.
Kau tidak seharusnya tidak terlalu memaksakan tubuhmu.” Zuiju melotot padanya.
Pingting
menyembunyikan senyumnya dan mengangguk. “Baiklah, tabib jenius Zuiju.”
Pondok
kecil di depan milik sepasang suami istri tua yang sedang berburu. Mereka
merasa kasihan pada dua gadis anggun dan sopan yang meminta ijin untuk menginap
semalam. Mereka segera menyetujuinya dan membawanya ke sebuah kamar kecil yang
bersih.
Zuiju
membuka buntalannya di atas tempat tidur. Tumbuhan obat yang dibawanya tidak
banyak. Dan sepertinya ia melupakan satu bahan untuk resepnya. Lalu ia menutup
buntelannya kembali, keluar kamar dan bertanya pada si wanita tua, “Nyonya tua,
apa di sekitar sini tumbuh rumput Mo ?”
“Seluruh
gunung penuh dengan tumbuhan itu. Ia tumbuh alami, dan tidak mati meskipun
musim dingin. Kalau kau berjalan ke arah gunung dan membalik salju, kau akan
menemukan rumpun tumbuhan itu.” Si Nyonya tua agak curiga, “Mengapa Nona
membutuhkan rumput Mo? Bukankah itu untuk wanita hamil?”
“Oh…”
Zuiju tertawa. “Bukan untuk apa-apa. Kau tahu kakak perempuanku dan aku sudah
melakukan perjalanan jauh selama beberapa hari untuk bertemu kakak laki-laki
kami. Istri kakak kami sedang hamil, aku ingin membawakan beberapa agar bisa digunakan
untuk kandungannya begitu kami sampai disana.”
“Memang
benar, keluarga miskin yang tidak mampu membeli obat, biasanya mengunakan
tumbuhan ini untuk menguatkan kandungan. Tumbuhan ini sangat manjur, lebih baik
dari gingseng.” Si nyonya tua tertawa, keriput di wajahnya seperti bunga,
berbincang dengan seorang gadis merupakan hal yang langka di tempat seperti itu.
“Kalau
begitu aku akan memetik beberapa.”
“Ada
banyak bebatuan sepanjang jalan, berhati-hatilah.”
Zuiju
berjalan beberapa langkah lalu berbalik, ia berkata dengan khawatir, “Kakakku
sudah sangat lelah seharian dan sekarang sedang tertidur. Kalau ia bangun
tolong beritahu ia aku memetik tumbuhan obat dana akan segera kembali. Nyonya
tolong perhatikan kakakku sebentar yach.”
“Aku
mengerti, kau jangan khawatir.”
Zuiju
meminjam sebuah sekop untuk mengali salju, dan akhirnya ia pergi.
Pingting
terlelap sebentar dan terbangun dengan terhuyung-huyung. Ia memanggil Zuiju
tapi ia tidak mendengar balasan, ia merasa sangat curiga. Ia duduk dan
menyadari kalau buntelan Zuiju berada di dekat kakinya, beberapa tumbuhan obat
mencuat keluar.
“Zuiju?”
ia turun dari tempat tidur dan memanggil beberapa kali lagi. Dan ia tidak
mendengar suara apapun. Pingting berbalik melihat keluar jendela. Langit sudah
hampir gelap.
“Zuiju
dimana kau?” Suara Pingting agak kencang.
Ada
suara tirai di sibak, menandakan seseorang masuk ruangan. Pingting dengan
gembira berbalik, tapi ia hanya menemukan Nyonya tua pemilik pondok.
“Nona,
adikmu sendang mengambil rumput Mo untuk kakak ipar kalian.” Si Nyonya tua
tersenyum ramah. “Makanan sudah siap. Ayo kita makan bersama meskipun sayurnya
tidak banyak.”
“Terima
kasih Nyonya.” Pingting menjawab pelan, dan tersenyum kecil penuh rasa syukur.
Ia mengikuti si Nyonya tua ke ruangan kecil. Suaminya yang bisu sudah duduk di
meja. Dengan rapi menyusun hidangan di meja, sayur lobak, ikan kukus, dan
setengah mangkuk bubur yang terbuat dari biji-bijian. Semua hidangan itu masih
panas.
Si
Bapak tua bisu bergerak sambil berkata, “Ahhhh…Ah!”
Hanya
si Nyonya tua yang mengerti maksudnya dan ia menjelaskannya pada Pingting,
“Nona, duduklah dan makan. Jangan khawatir, adikmu berkata ia hanya pergi ke
kaki gunung dan akan segera kembali.”
“Terima
kasih Tuan, terima kasih Nyonya.” Pingting melihat ke arah langit yang mulai
gelap di luar jendela.
Meskipun
hidangannya sangat sederhana, tapi pasangan tua itu sangat peduli dengan
kebutuhannya. Ruangan kecil itu sangat hangat. Pingting meletakan sumpitnya dan
menatap keluar jendela. Sekarang sudah sangat gelap.
Pingting
masih belum melihat sosok Zuiju dan ia mulai khawatir.
“Oh
tidak, mengapa adikmu masih belum kembali?” Si Nyonya tua juga menatap keluar
dengan khawatir. “Kalau hanya ke kaki gunung, tidak terlalu jauh dari sini,
seharusnya ia sudah kembali sekarang.”
Jantung
Pingting sangat tidak tenang. Ia berjalan mondar-mandir di halaman kecil di
depan beberapa kali. Meskipun Zuiju pintar, malam di gunung adalah hal yang berbahaya.
Bagaimana kalau ia bertemu binatang buas, yang sedang gila dan lapar karena
musim dingin?
Ia
pernah membuat Zuiju menunggu di penginapan ketika di ibukota dan menertawakan
ekspresi wajahnya, mengatakan kalau ia khawatir berlebihan. Sekarang Pingting
menyadari kalau khawatir pada seseorang adalah perasaan yang sangat mengerikan
lebih daripada khawatir pada diri sendiri. Sejak bersama Zuiju, mereka sudah
tidak terpisahkan. Ia menjadi lebih dan lebih khawatir sampai akhirnya ia tak
sanggup lagi. “Nyonya, aku akan pergi
mencarinya.”
Si
Nyonya mengatakan beberapa kata dan menahan pundak Pingting dengan sekuat
tenaga.
Si
Nyoya tua berkata, “Tunggulah sebentar lagi. Kalau adikmu tidak melihatmu
ketika kembali, ia akan lebih khawatir.”
“Tidak,
tidak. Aku hanya akan melihat ke sekitar jalan menuju kaki gunung dan akan
segera kembali.” Pingting meminjam obor dan menanyakan arah Zuiju berjalan dan
berlalu. Sebelumnya ia berkata, “Nyonya, kalau adikku kembali, tolong jangan
biarkan ia pergi lagi. Kalau aku tidak melihatnya di jalan menuju kaki gunung.
Aku akan kembali secepatnya.”
Si
Nyonya tua menghela napas. “Begitulah kakak beradik, adikmu mengatakan padaku
berulang kali untuk menjagamu ketika ia pergi. Jadilah gadis yang patuh dan
hanya berjalan sampai sekitar kaki gunung. Sekarang sudah sangat gelap, jadi
jangan naik ke gunung.”
“Aku
mengerti.”
Meskipun
saat ini sudah malam, angin yang bertiup tidak terlalu kuat. Pingting berjalan
dengan stabil, api obor melukis ekor panjang di belakangnya seperti hendak
mengejar sosoknya.
Tak
lama kemudian, ia sudah mencapai kaki gunung.
Sinar
bulan menerangi setiap senti jalan itu, tapi hanya sampai di situ, tak berani
masuk lebih dalam ke hutan.
Bayangan
cabang pohon menyerupai bentuk manusia. Ia menaikkan obornya, tapi dimana
Zuiju?
“Zuiju,
Zuiju!” ia melihat ke sekitar dan meninggikan suaranya untuk memanggil.
Suara
gema bergelombang memantul keluar dari hutan.
Pingting
berdiri di depan hutan, mempelajari dengan hati-hati. Ada beberapa jejak
menandakan seseorang sudah mengali salju. Pingting berlutut. Ia memang ada
seseorang yang memetik rerumputan. Jejaknya tertinggal dengan jelas. Pingting
mengikuti jalan kecil dan segera menemukan jejak kaki ringan di atas salju.
Kalau ia tidak dengan teliti memeriksa sekitarnya dengan obor ia pasti
melewatkannya. Ia perlahan mengikuti jejak kaki itu satu demi satu. Sampai
bayangan gelap besar hutan di depannya nampak membuatnya berhenti dan menatap.
Zuiju
telah memasuki hutan.
Pingting
merasa hatinya tiba-tiba sakit dan rasa sakit itu mengalir ke seluruh tubuhnya.
“Zuiju!
Zuiju! Dimana kamu?” Pingting berteriak sekuat tenaga.
Kesepian
yang melandanya membuatnya merasa sangat putus asa. Ia belum juga melihat wajah
seseorang hanya wajah gunung yang besar tampak di depannya. Tidak ada musuh,
dan tidak ada perangkap yang harus dilewati.
Kesunyian
gunung dan hutan membuatnya merasa kecil, Pingting tak pernah merasa begitu
kesepian seperti saat ini.
“Dimana
kau?” ia tiba-tiba berbalik, wajahnya yang pucat terlihat dari sinar obor.
Dengan seluruh kepintarannya, ia tidak bisa mengambarkan perasaannya saat itu.
Ia benar-benar tidak mengerti, mengapa ia lengah ketika ia merasa kebebasan
sudah dekat.
Ia
berdiri di tengah salju putih yang berkilau. Sisi kiri dipenuhi sinar bulan dan
sebelah kanannya penuh pepohonan rindang. Bahkan suara serangga musim dingin
tidak terdengar sama sekali. Tiba-tiba ia merasa sendirian.
“Dimana
kau?” Pingting berbisik, berusaha mengumpulkan energinya kembali.
Api
obor terus membakar pangkalnya, membuat bunyi percik yang samar. Meskipun hanya
terdengar samar tetap merupakan sebuah irama di dalam kesunyian.
Sepasang
mata yang sombong, bola mata yang bersinar tiba-tiba muncul di kepalanya.
Pundaknya
yang tegak. Dan janji mereka untuk saling berjuang, mengapa gadis itu harus
masuk ke hutan lebat?
Pedang
pria itu yang mampu mengguncang dunia, mengapa tidak mampu menenangkan hatinya
yang kacau balau.
Di
malam yang gelap dimana tak satu jiwapun bisa terlihat, Pingting tak mampu
menahan tangisnya. Bahkan Pingting sendiri tak mengerti mengapa kesedihan yang
ia letakan begitu dalam di dasar hatinya bisa menguap keluar, sehingga airmata
tak berujung mengalir deras di kegelapan hutan yang luas, berjatuhan ke tanah
tanpa meninggalkan jejak.
Ia
menundukan kepala dan mengertakan gigi dengan marah. Ia berlutut dan
memperhatikan setiap tetes airmatanya yang jatuh ke tanah. Lalu, ia berdiri lagi
dengan cepat dan berteriak, “Zuiju! Zuiju! Dimana kau?” wajah penuh airmatanya
sangat menderita dan putusasa.
“Nona!
Aku disini!” sebuah suara jernih muncul dari hutan yang sunyi.
Pingting
jadi bersemangat, ia menaikkan obor yang dipegangnya dan melihat sekeliling.
Dan
sebuah sosok keluar dengan cepat dari bayangan pepohonan hutan. Gadis itu
memegang sebuah keranjang kecil dan berlari ke arahnya sambil terengah-engah.
“Aku sama sekali tidak menyangka, gunung ini penuh tanaman obat. Kita
beruntung, lihatlah Nona, sini. Ah…” melihat mata Pingting yang memerah di
bawah cahaya api obor, Zuiju segera berhenti bicara dan berkata dengan
berbisik, “Kenapa?”
“Tak
pa-pa.”
“Sudah
menangis seperti itu…” Zuiju mengenggam tangan Pingting yang sedingin es, sama sekali
tidak ada jejak bekas kehangatan, “Ini salahku. Maaf, sudah membuat Nona
khawatir.”
Pingting
tersenyum sedikit.
Pingting
selalu dihibur seseorang untuk menenangkan hatinya, tapi hanya ia sendiri yang
mengerti betapa konyol dirinya. Bagaimana mungkin Zuiju mengerti apa yang ia
pikirkan saat ini?
Pingting
berkedip untuk menjatuhkan airmata lagi dalam kesunyian malam.
Zuiju
merasa sangat menderita melihat Pingting seperti itu. “Nona, jangan menangis,
bukankah aku sudah kembali? Aku tidak akan melakukan hal itu lagi.”
Pingting
berbalik, suaranya sangat pedih. “Semua tanaman obat itu tidak penting. Kau
harus menjaga dirimu sendiri, udara disini begitu dingin.” Mereka berdua
perlahan berjalan kembali ke pondok.
Zuiju
lalu berkata, “Biarkan aku memegangnya.” Zuiju mengambil obor dari Pingting,
tangan yang lainnya memegang keranjang kecil. Ia masih gelisah dan terus
menatap mata Pingting yang merah. Ia memperhatikannya dan berkata, “Apa yang
Nona pikirkan?”
Pingting
berjalan sambil diam dengan menunduk seakan tidak mendengar pertanyaan Zuiju.
Setelah beberapa saat, akhirnya ia membuka mulutnya dan berkata, “Aku
memikirkan surat yang aku tulis untuk pria itu.”
Mendengar
Pingting yang memulai sendiri mengucapkan kata ‘pria itu’ membuat Zuiju memandang
tak berkedip padanya. Ia terlalu takut untuk menyentuh masalah ini yang selalu
membuat Pingting menangis, tapi Zuiju tetap tak berani bertanya lebih lanjut.
Mereka terus berjalan dengan diam.
Tak
lama kemudian, ia mendengar Pingting berkata dengan perlahan, “Ketika aku
mengangkat kuas saat itu, meskipun aku menulis banyak hal, tapi dalam pikiranku
sangat kacau. Sekarang, ketika aku memikirkannya kembali, mungkin surat itu
adalah isi hatiku yang sebenarnya meski aku tidak mengerti diriku sendiri.”
Zuiju
tak bisa menahan rasa penasarannya, “Apa yang Nona tulis?”
Pingting
berpikir sejenak apakah sebaiknya ia mengatakannya atau tidak. Mulutnya mulai
bergerak, tapi ia malah menghela napas, “Meski aku memberitahumu, aku hanya
akan membuatmu dalam masalah.”
Dan
mereka berdua diam kembali. Tak ada yang bersuara kembali. Mereka mengangkat
kepala mereka ketika melihat cahaya dari lilin kecil di dalam pondok. Dan
tiba-tiba mereka mendengar suara pertengkaran sengit yang memecah keheningan.
“Dasar pasangan tua tak berguna, beraninya melawan!” suara tamparan keras
terdengar di langit malam.
Jantung
Pingting dan Zuiju berdetak kencang. Keberanian mereka sudah terasah sejak
mereka berjuang melarikan diri dari musuh-musuh. Mereka segera mematikan api
obor di salju, dan bersembunyi di balik batu besar di jalan.
Dibawah
sinar bulan, mereka melihat kedalam. Mereka bisa melihat sosok beberapa pria
menutupi pintu masuk pondok.
“Kalau
bukan karena kami para petugas berdiri menghadapi Chu Beijie, pasukan Dong Lin pasti
sudah menyerbu masuk dan kepalamu pasti akan menjadi mainan bola bagi rakyat
Dong Lin untuk di tendang kesana kemari. Prajurit harus di beri makan agar
mereka bisa bertempur. Bagaimana mungkin kau berharap untuk bisa tetap hidup
tanpa membayar pajak?”
Suara
si Nyoya tua menjadi takut dan panic. “Tuan petugas, kami sudah membayar pajak
kami dua hari lalu.”
“Itu
dua hari lalu, sekarang yang untuk sekarang!” sebuah suara terdengar sangat
marah.
Terdengar
suara sesuatu patah. Sepertinya seseorang telah menendang pintu kayu sampai
hancur.
“Kami
sungguh tidak memiliki apapun lagi.”
“Tidak
ada apa-apa? Hmph, apa ini?” suara tajam seorang pria menyela dan masuk ke
dalam ruangan dengan membawa beberapa benda. Ia tersenyum curiga, “Meskipun
kalian sudah tua, tapi kalian masih memiliki benda-benda bagus.”
“Ah!
Ahhh…..ah…” Si bapa tua bisu mengerakan tangannya berusaha menghentikan si
pria.
Si
Nyonya segera menjelaskan, “Tuan, Tuan, barang-barang ini bukan milik kami. Ini
milik dua gadis yang menumpang menginap….”
“Berengsek!”
si pria menendang Nyonya tua sampai jatuh ke tanah, dan suaranya menjadi
curiga. “Bagaimana bisa barang-barang ini bukan milikmu kalau ada di rumahmu?
Kuberitahu yach, barang-barang ini cukup untuk pajak hari ini. Kalau kau masih
menolak membayar pajak setiap dua hari, kami akan membakar seluruh rumah ini!”
Sambil
memegang buntelan Pingting dan Zuiju para pria itu pergi. Mereka berdua
menunggu sampai para pria itu agak jauh lalu melihat ke pondok kembali.
“Sungguh
para petugas yang kejam.” Zuiju mengerutu. “Itu hal yang biasa terjadi, bahkan
di negara Dong Lin. Ketika melihat Tuan Muda yang rapi atau Pejabat penting,
mereka akan bertingkah seperti seekor anak anjing manis. Kenyataannya mereka
berlaku sekejam srigala. Kalau mereka jatuh ke tangan guruku, mereka pasti di
hukum.”
Pingting
masih memperhatikan para pria itu sampai sosok mereka menghilang, dan akhirnya
berbisik. “Apa yang bisa kita lakukan? Aku selalu menyesal akhir-akhir ini. Apa
gunanya belajar kecapi dan menari? Belajar bela diri dan ilmu pedang jauh lebih
berguna. Dan ketika berjalan di tanah tidak rata, sebuah pedang tanpa sarung
masih bisa berguna sebagai tongkat. Terkutuklah ketidakberdayaanku, aku bahkan
tidak bisa menolong diriku sendiri, bagaimana mungkin aku berpikir untuk
menolong yang lainnya.”
Zuiju
tidak setuju. “Bukankah Nona sudah sangat hebat beberapa hari ini? Mengapa
tiba-tiba mulai merajuk lagi? Ada berapa banyak orang yang memiliki bakat
sepertimu di bawah langit ini?”
Meskipun
kata-kata Zuiju menghibur, Zuiju tiba-tiba memikirkan Tuan Besar. Memang tidak
salah. Bagi seorang wanita pintar sekalipun, pasti akan merasa takut ketika
harus menghadapi pertempuran jarak dekat. Kalau ia berada di sisi Tuan Besar,
Tuan Besar pasti akan melindunginya, memastikan tidak ada seorangpun yang
melukainya bahkan sehelai rambutnya.
Tapi
tanpa seseorang yang bisa melindunginya, ia hanya bisa melindungi dirinya
sendiri.
Mereka
berdua berdiri dari balik batu bersamaan. Pingting agak terburu-buru, sehingga
menjadi sedikit pusing. Kakinya tidak menapak dengan mantap di tanah, dan
bahunya sedikit bergetar.
“Hati-hati
Nona!” Zuiju segera berkata, ia mengulurkan tangannya membantu Pingting.
“Aku
tak pa-pa.” Pingting menjawab, dan ia sudah lebih stabil. Pingting mengangkat
kakinya tapi kemudian ia tak yakin hendak melangkah kemana. Dan kali ini ia
kurang beruntung karena tak mampu menahan berat tubuhnya. Tubuhnya terasa
ringan dan kosong, akhirnya terjatuh ke atas tanah.
Dalam
sekejab mata, Zuiju telah bergerak ke arahnya, tangannya menahan pergelangan
tangan Pingting. Zuiju tidak mengira Pingting akan jatuh disaat seperti ini. Karena
bergerak tiba-tiba, Zuiju tak mampu menahan tubuhnya juga, akhirnya ia
berteriak ketika tubuh Pingting menariknya dan mereka jatuh bersama. Lututnya
menyentuh batu dengan keras. Tangannya meluncur di atas batu menyebabkan rasa
menyengat yang luar biasa. Zuiju berusaha bangkit dengan menahan sakit, tak
peduli dengan sakitnya sendiri. Ia menarik Pingting dan berkata, “Kenapa, kau
terluka?”
Pingting
merasa pikirannya menjadi sedikit lebih jernih setelah di tolong Zuiju. Ia
menggelengkan kepalanya dan berkata, “AKu tak pa-pa.” ia berpikir sejenak,
memikirkan apakah ia terluka atau tidak tapi yang jelas ia tidak merasakan
sakit apapun.
“Apa
kau terluka?”
“Tidak.”
Pingting menggosok tangannya dan menggelengkan kepalanya.
Zuiju
akhirnya menghela napas lega. “Ini sungguh menakutkanku. Ayo kita kembali
sekarang.”
Mereka
berdua kembali ke pondok. Ruangan telah sangat kacau. Semua benda-benda
berserakan dan rusak. Si bapak tua bisu duduk dengan linglung di pojokan, dan
si Nyonya tua menangis dengan sedih. Ketika ia melihat mereka berdua, ia
menengadah dan berhenti menangis. Sebuah ekspresi sedih muncul di wajah si
Nyonya tua, “Nona, buntelan kalian…”
“Kami
sudah tahu. Tuan dan Nyonya tidak bersalah. Lagipula, tidak ada yang penting di
buntelan itu.” Pingting mengatakan beberapa kalimat lagi untuk menenangkan
mereka, dan akhirnya si Nyonya tua berhenti menangis.
Lalu
mereka membantu merapikan ruangan dan membereskan perabotan. Mereka sangat
kelelahan ketika akhirnya kembali kekamar untuk beristirahat.
Memikirkan
sisa uang perjalanan mereka telah hilang dan tidak ada lagi baju ganti, hari-hari
kedepannya akan sangat suram. Dan mereka berdua merasa geli dengan hal ini.
“Uang
dan pakaian bukan hal yang penting, tapi orangnya. Untuk mendapatkan uang
tidaklah sulit. Uang akan bertambah begitu kita ada pendapatan.” Zuiju membantu
Pingting berbaring di tempat tidur. “Berikan tanganmu” ia lalu menekan dua
jarinya ke tangan Pingting dan mendengarkan nadi Pingting dengan seksama, lalu
ia berkata, “Hmm” lalu menatap Pingting dengan bingung, “Dimana kau merasa
tidak enak?”
“Kenapa?
Apa bayinya tidak baik?” Pingting sangat terkejut.
“Dimana
kau merasa tidak enak?”
“Tidak
dimanapun.”
Zuiju
berkata lagi, “Biar aku memeriksanya lagi.” Ia dengan hati-hati memeriksa nadi
di tangan dan leher tapi masih juga bingung. “Nadinya agak aneh. Apakah kau terkena
flu ? Oooh, aku seharusnya tidak membiarkanmu memperhatikanku. Berbaringlah dan
jangan bergerak.” Lalu Zuiju mengeluarkan keranjangnya.
Pingting
sangat perhatian sekali pada keselamatan janinnya sehingga ia menjadi patuh
untuk berbaring dengan tenang. Lalu ia merasa sangat mengantuk, sinar di
matanya menjadi redup sampai tertutup rapat. Di akhir kegelapan itu, sebuah
cahaya redup kecil melintas. Ia merasa sangat nyaman sampai pundaknya sedikit
bergetar. Pingting membuka matanya dan menatap Zuiju, semangkuk penuh obat
diletakan di dekat tempat tidur. Lalu Zuiju mengambil mangkuk itu dan mulai meniupnya
dengan lembut sambil berkata, “Minum obat ini, dan setelah itu kau bisa tidur.
Para petugas berengsek itu, mereka sama sekali tidak menyisakan tumbuhan obatku.
Bagusnya, aku telah memetik yang segar hari ini.”
Zuiju
mengambil kembali mangkuknya setelah melihat Pingting menghabiskannya dalam
sekali teguk. Ia meniup lilin sampai mati, dan mereka berdua tertidur pulas. Mereka
telah berjalan seharian penuh, dan untuk Zuiju, ia telah pergi mencari tumbuhan
obat begitu mereka diijinkan menginap, serta seluruh kejadian hari ini, Zuiju merasa
jauh lebih lelah daripada Pingting. Zuiju segera tertidur begitu kepalanya
menyentuh bantal. Dengan sisa tenaga yang tersisa, ia mulai bermimpi. Dalam
mimpinya, ia melihat wajah marah gurunya, meskipun marah ada tawa di balik mata
gurunya. Lalu Zuiju kembali ke kediaman terpencil diantara bunga-bunga plum
yang mekar, ia melihat sebuah sosok tidak begitu jelas di depannya, sedang
menatap bulan yang terang. Mimpinya masih berlanjut, yang berikutnya semakin
aneh dan erikutnya lebih aneh lagi. Tapi setiap kejadian memiliki suasana
hangat dan, seperti membuka jalan untuk cerita lainnya yang berbeda. Tapi
setiap cerita memiliki akhir yang bahagia.
Dalam
mimpinya yang lembut itu tiba-tiba ada sebuah rasa sakit yang datang entah
darimana. Zuiju bertarung dan berjuang dalam mimpinya. Sepertinya ia terluka di
tangan atau kakinya. Dan tiba-tiba rasa sakit itu mengalir seperti es yang
mencair dari bawah laut naik ke atas, yang memaksanya untuk keluar dari
mimpinya.
Zuiju
tiba-tiba membuka matanya dan merasakan rasa sakit yang lain.
Kali
ini, rasa sakit itu berasal dari cakaran sesuatu.
“Zuiju…Zuiju….”
Pingting merintih dari kegelapan.
Zuiju
sangat terkejut, ia segera terbangun dan duduk. Dibawah cahaya bulan, alis
Pingting terangkat dan jari-jari tangannya yang indah tertancap dalam-dalam di
pergelangan tangan Zuiju.
“Nona,
kenapa?”
“Sakit.”
Pinting menyentuh perut bawahnya. Keringat besar-besar bermunculan di dahinya
dan terjatuh ke bantal.
Zuiju
merasa was-was, “Aku disini, jangan khawatir.” Ia membuka selimut, mencari
buntelannya, tapi kemudian ia ingat kalau buntelannya sudah dirampas. Ia bahkan
tidak memiliki mantel untuk di kenakan ketika ia berlari ke kamar pasangan tua
yang tidur di belakang. Ia memengetuk pintu dengan kencang dan berteriak,
“Nyonya, nyonya ! bangunlah !”
“Ada
ada Nona?”
Zuiju
memegang tangan si Nyonya tua, “Jarum perak! Apa anda punya jarum perak!”
Si
Nyonya tua baru terbangun dan masih agak linglung, “Kami miskin, bagaimana
mungkin kami memiliki jarum perak?”
“Kalau
begitu, jarum biasa? Jarum untuk menjahit?” airmata Zuiju sudah siap mengalir
deras.
“Aku
punya sebuah jarum untuk menjahit sudah agak berkarat. Mengapa kau…”
“Jangan
bertanya lagi, berikan padaku!”
Zuiju
menerima jarumnya dan segera berlari ke ruangan. Ia menyalakan lilin, setelah
ada penerangan bisa terlihat Pingting yang mandi keringat. Batalnya juga basah
oleh keringat, dan wajahnya sangat pucat sekali. Melihat Zuiju datang, ia
menahan sakitnya dan bicara dengan sulit, “Apa yang terjadi?”
“Tidak
apa-apa.” Zuiju membakar jarum itu dengan lilin dan menjawab, “Aku perlu
menggunakan jarum dan menusukannya di beberapa tempat. Tenang saja.” Suaranya
tenang, tapi tubuhnya bergetar. Jarum yang dibakarnya hampir berwarna merah,
tapi Zuiju sepertinya tidak merasakan panas. Ia memegang ujung jarumnya ketika
berjalan ke tempat tidur, dan membujuk dengan lembut, “Jangan khawatir, tidak
akan sakit setelah beberapa kali tusukan.” Zuiju meminta Pingting untuk
berbaring dan membuka baju Pingting dengan hati-hati.
Gelombang
rasa sakit datang dari perut bawah Pingting seperti sekawanan kuda liar
berlompatan di dalam perutnya. Rasanya tak mungkin mampu menahan sakitnya lagi.
Melihat Zuiju memegang jarum dan berniat untuk menusuknya di daerah itu, ia
terkejut. Ia bingung harus berkata apa tapi ia mengumpulkan seluruh tenaganya
untuk menghentikan Zuiju, “Kau tidak akan menyakiti anakku, yak an?”
Zuiju
sama sekali tidak ragu ketika menjawab, “Tentu saja tidak, percayalah padaku.”
Setelah
mendengar itu, Pingting menjadi sedikit tenang. Menahan sakit telah menguras
seluruh tenaganya. Ia berbaring di tempat tidur yang sudah basah karena
keringat.
Perutnya
mulai terasa hangat, dan kehangatannya mulai menjalar ke tubuhnya. Zuiju masih
menusuk di beberapa tempat dan kemudian rasa sakit itu meledak, seperti ranjau
darat yang berhasil di lumpuhkan.
Pingting
mulai berteriak, “Ahh….” dan meronta sedikit, lalu ia bergelung seperti seekor udang.
Tak lama kemudian Pingting sepertinya mulai membaik, rasa sakitnya sepertinya
sudah berkurang. Pingting berkerut merasakan sakitnya. Rasa sakit itu perlahan
menghilang, terlihat bekas lubang di tempat-tempat bekas jarum ditusukan.
“Merasa
lebih baik?” suara Zuiju terdengar mengambang dan sangat jauh.
Beberapa
saat kemudian, Pingting akhirnya menarik napas panjang. “Yeah….”
Zuiju
juga berkeringat banyak. Mendengar Pingting menjawab ia akhirnya bisa meletakan
jarum yang masih di pegangnya, dan mengijinkan dirinya untuk duduk dan
beristirahat.
“Apa
anakku …. Baik-baik saja?”
Zuiju
menjawab, “Sudah kubilang, tubuhmu sangat lemah, jangan terlalu dipaksakan.
Haaah…”
“Zuiju?”
“Nona,
berbaringlah dengan nyaman. Anakmu benar-benar baik-baik saja.” Zuiju menoleh
ke atas dan melihat Nyonya tua yang sudah terbangun karena mereka, melihat
dengan penasaran dari balik pintu di luar. Zuiju segera keluar dan meminta
maaf, “Maaf, aku sudah membangunkan kalian.”
“Nona…”
“Kakaku
sakit.”
“Oh.”
Si Nyonya tua melihat ke balik tubuh Zuiju di dalam ruangan. Ia merendahkan
suaranya, “Apa ia sudah baikan sekarang?”
“Sangat
baik. Tidak pa-pa, Nyonya dan Tuan bisa melanjutkan tidur kalian.”
Setelah
berhasil meyakinkan mereka berdua, Zuiju duduk di tempat tidur lagi, “Kita
tidak bisa melanjutkan perjalanan, Nona harus beristirahat beberapa hari.”
Pingting
diam saja, setelah beberapa saat akhirnya ia berkata, “Kita tidak bisa terus
disini, kita harus pergi. Para petugas itu sudah membawa buntelan kita, siapa
yang tahu buntelan itu akan berakhir dimana?” Pingting mengumpulkan semua
tenaganya dan berkata dengan suara pelan, “Kalau mereka mengejar kita, kita
tidak akan mampu melarikan diri.”
Zuiju
menghela napas lagi.
Pingting
bertanya, “Apa yang salah dengan tubuhku? Kau tidak boleh menyembunyikannya
dariku.”
Zuiju
marah dan sedih. Suaranya tersendat tanpa disadarinya. “Apa Nona benar-benar
tidak mengerti? Tubuh Nona sejak awal memang belum pulih benar untuk
mengandung. Bagaimana mungkin dengan perjalanan yang harus dilalui dan begitu
banyak masalah serta kekhawatiran? Aku harus mendapatkan tumbuhan obat yang
bagus. Seperti gingseng liar atau jamur Lingzhi.
Pingting
bersimbah keringat ketika menahan sakit, tapi sekarang semuanya itu sudah
menghilang. Ia merasa hawa dingin menjalar diseluruh kulitnya. Ia menyelimuti
diirinya dengan selimut dan tersenyum ramah, “Aku akan menuriti perkataanmu
untuk tidak pergi dari sini secepatnya, jadi aku bisa beristirahat selama
beberapa hari, setuju?”
Zuiju
menghapus airmatanya dan megertakan giginya. “Saat ini, aku sungguh membenci
Tuan Besar. Kalau kau memiliki seorang kekasih, seharusnya ia melindungimu dan
anakmu. Bagaimana bisa dia meninggalkan Nona dan membuat Nona mengalami situasi
seperti ini? Tak peduli bagaimana pendapatmu, semua ini salah Tuan Besar!”
Pingting
sama sekali tidak mengira Zuiju akan membicarakan Chu Beijie. Pingting menjadi
kesal tapi kemudian ia mengingat bayinya. Pingting hanya bisa setuju saja
dengan perkataan Zuiju. Lagipula, Pingting sudah mengerahkan segala yang ia
bisa tapi tetap saja harus kalah dengan takdir.
Ia
tidak bisa memikirkan bagaimana ia harus hidup.
Pertempuran
antar negara dan kekasih tidak pernah sebanding untuk apapun.
Ia
tak pernah mengharapkan hal ini sedikitpun, dan tak bisa mencegahnya agar tidak
terjadi pada dirinya.
“Sudahlah.”
Pingting berkata dengan lembut dan memejamkan matanya. “Jangan membuang waktu
dan tenaga untuk pria itu lagi, atau aku benar-benar menyia-nyiakan hidupku.”
Pingting mengelus lembut perut bawahnya. Meskipun belum terlihat dari
penampilan luarnya, tapi ia merasakan sebuah bentuk jendulan jika mengelusnya
dengan perlahan.
Anakku, jangan
pernah terjebak dengan permasalahan negara dan cinta.
Moralitas seperti
sebuah peraturan di permukaan, tapi bentuk sebenarnya adalah sebuah gembok
berat yang berlapis darah. Yang membelengu kuat hatimu dan membutakan kedua
matamu.
Jangan menjadi
seperti ayahmu, juga jangan menjadi seperti ibumu.
Anakku, saat kau
mencintai ataupun membenci jangan pernah melupakan asalmu.
Jangan pernah.
Menara
api berwarna ungu terang, dinyalakan dari satu menara ke menara lainnya,
sambung menyambung di langit. Asap bergulung ke atas, memberitahukan semua
orang bahwa pertempuran besar akan segera berlangsung. Bendera-bendera
berkibaran di udara.
Terompet
tanduk yang ditiup, menghasilkan bunyi yang sangat menyedihkan.
Dari
kejauhan, dataran dipenuhi barisan rapat helm besi. Ribuan senjata diarahkan
lurus ke atas, berkilau dengan sinar dinginnya. Seluruh permukaan tanah disana
ditutupi oleh barisan prajurit Dong Lin.
Chu
Beijie berada di atas kudanya yang berdiri tegak menghadang angin di depan para
prajurit. Bendera Panglima Zhen Beiwang di kibarkan di belakangnya. Mengepak
dengan kuat diterpa angin. Sebuah lambang yang membuat takut para
musuh-musuhnya.
Di
seberang mereka, sebuah bendera lain yang penuh warna berkibar di kejauhan,
yang juga memiliki sejumlah besar pasukan prajurit.
Yun
Chang, negara yang selalu menyembunyikan dirinya dan tak pernah menunjukan
wajahnya. Hasilnya adalah mereka mampu membangun kekuatan militer yang begitu
besar dan tidak bisa diremehkan.
Chu
Beijie mulai menajamkan matanya, berusaha melihat sosok itu, berdiri dengan
sangat percaya diri di depan pasukannya. Penasihat utama pasukan Yun Chang.
Chu
Beijie mengingat sosok itu, sosok yang mengamati ke bawah dari atas bukit Tiga
Burung Layang-layang, dan tersenyum. Benar, pria yang sama.
Dulu
ia Tuan Besar Jin Anwang, dan sekarang ia Suami Ratu Yun Chang.
Dan
seseorang yang telah mencuri Pingting dari tangannya!
Angin
kencang bertiup diantara mereka tapi karena merasakan perang yang akan segera
terjadi, anginpun berlalu.
Dan
kesunyian tiba-tiba mencekam suasana. Suara irama aneh yang tidak terdengar
semakin mendekat dan mendekat dengan cepat, bermain di keheningan. Beberapa
ratus prajurit berdiri di atas tanah datar, diam tak bergerak seperti batu
nisan. Bahkan kuda merekapun tidak berani meringkik.
Chu
Beijie memperhatikan He Xia dengan seksama. Mereka terpisah jarak yang sangat
jauh, tapi mereka sanggup saling bertatapan mata. Sama-sama tajam dan menusuk.
Dia
mencuri Pingting, mencuri Pingting yang sedang mengandung darah dagingku.
Tangan
Chu Beijie mencengkram kuat pedangnya.
Saat
ia mengeluarkannya dari sarungnya, pertempuran tanpa jeda akan berlangsung
sampai akhir. Tidak ada jalan mundur.
Chen
Mu berdiri disisi Chu Beijie. Telapak tangannya basah oleh keringat seperti
para Jendral lainnya. Ia tahu, begitu pedang Chu Beijie keluar dari sarungnya,
ratusan ribu prajurit ini akan bergerak maju dan akan memciptakan gelombang
darah di langit.
Hanya
untuk seorang wanita.
Seorang
wanita.
Bai
Pingting, nama yang akan dikenang selamanya oleh empat negara.
Seluruh
tatapan mata tertuju pada telapak tangan Chu Beijie. Nasib seluruh prajurit
ditentukan oleh satu gerakan tangan dan pedangnya.
Udara
sangat pengat, bernapaspun seperti berjalan diatas benang tipis yang ditarik
sampai tegang. Udara semakin menipis di area kosong di antara dua pasukan.
Suara
kuda berlari terdengar.
Dari
arah selatan gunung, ada sebuah gerakan tergesa-gesa. Bergerak maju dari arah samping
tanpa menghiraukan kedua pasukan, ia berjalan ditengah mereka. Situasi saat itu
terlihat seperti sebuah lukisan minyak yang mulai terbakar dibelah oleh sebuah
pedang, menciptakan keindahan pada lukisan suram.
“Bendera
anggota keluarga Kerajaan Yun Chang?” Chen Mu berbisik tidak percaya.
Pandangan
Chu Beijie melewatinya, sebuah tulisan besar berkibar di matanya. Sebuah cahaya
berkilat di matanya. Seseorang berkuda dengan memajang bendera itu dan bergegas
menuju dirinya. Orang itu membungkuk sedikit dan bertanya dengan suara jernih,
“Apakah anda Panglima Zhen Beiwang, Chu Beijie?”
“Aku
Chu Beijie, siapa kau?” suara Chu Beijie sangat dalam.
“Aku
kepala pasukan penjaga keluarga kerajaan Yun Chang, Rong An. Tuanku, Putri
Yaotian, telah memintaku untuk menyampaikan pesan. Aku meminta waktu Panglima,
sebentar saja.”
“Pertempuran
sudah hampir di mulai, dimana Tuan Putri berada saat ini?”
“Putri
disini.” Rong An menunjuk ke arah belakangnya.
Kerumuman
kemudian melihat pada kejauhan. Sebuah kereta berhias indah berada di kaki
bukit. Saat ini baru menjelang fajar, dan kereta itu bergegas menuju ke
tengah-tengah diantara kedua pasukan.
Hati
Chu Beijie tiba-tiba seperti ditarik oleh sebuah benang transparant, dimatanya
tersirat rasa terkejut luar biasa.
Yaotian
ingin menyelesaikan segalanya dengan damai.
Apalagi
yang bisa ia tawarkan selain Pingting? Yaotian harus bergegas untuk
menghentikan pertempuran kedua pasukan sekaligus menghindari He Xia, ia
bergerak lurus kearahnya. Tak salah lagi, pasti berhubungan dengan Pingting.
Hatinya
yang selalu membeku tiba-tiba menyala seperti terbakar. Ia tiba-tiba saja
terserang emosi yang begitu besar dan tak tahu harus bagaimana.
Kereta
semakin mendekat. Dan disisi pasukan seberang, sepertinya mereka juga sudah
menyadari bendera kerajaan dan terkejut hingga terdiam.
Rong
An membawa kudanya ke samping kereta dan berbicara di samping jendela. Lalu ia
berkuda kembali ke Chu Beijie dan berkata, “Tuan Putri, menyambut Panglima di
keretanya, silakan.”
Kereta
berhenti di tengah-tengah kedua pasukan, empat kuda seputih salju menundukan
kepala mereka dan berhenti. Mungkin di kusir menerima perintah dari orang yang
berada di dalamnya. Mereka berhenti sekitar seratus langkah dan menunggu dengan
sabar.
Chen
Mu mengingatkan, “Hati-hati Tuan, He Xia selalu punya banyak rencana, jangan
sampai di sergap.”
Chu
Beijie tertawa dingin, “Itu hanya sebuah kereta. Bahkan kalau diisi banyak
orang, bagaiman bisa menandingiku dengan pedang di tangan?” lalu Chu Beijie
berkuda mendekati kereta, dan bertanya dengan tenang, “Apakah Tuan Putri Yun
Chang, Yaotian, yang berada di dalam? Chu Beijie disini. Apa yang hendak Putri
sampaikan?”
Yaotian
membuka tirai jendela, ia menatap Chu Beijie yang duduk di atas kudanya,
terlihat anggun dan mengesankan. Ia memuji penampilan Chu Beijie dalam hatinya
dan berkata dengan suara pelan. “Yaotian telah diminta tolong untuk
menyampaikan sebuah surat kepada Panglima.”
“Hanya
sebuah surat?” mata Chu Beijie menyipit. Udara disekitarnya berubah dingin.
“Dan orangnya?”
“Orangnya
tidak sudah tidak berada di Yun Chang.” Yaotian menjawab. “Panglima akan
mengerti setelah membacanya.”
Ekspresi
Chu Beijie menjadi lebih dingin ketika ia menatap melewati tirai, sebuah
pertempuran saling menatap. Lalu Chu Beijie berkata, “Tuan Putri sungguh
meremehkan aku. Pasukan Dong Lin sudah berjalan ribuan mil untuk sampai
ditempat ini hanya untuk orang itu. Kalau Yun Chang tidak bisa mengembalikannya
padaku, dan berharap sebuah surat mampu membuatku menarik mundur pasukan.
Bagaimana mungkin aku bersedia menerima permohonan bodoh seperti itu? Jangan
salahkan kalau aku tidak percaya padamu, kalau orang itu dilukai dengan cara
apapun. Aku bersumpah akan membuat seluruh anggota keluarga Yun Chang bersimbah
darah.”
Yaotian
diam agak lama, dan ia menghela napas dengan sedih. “Yaotian mendengar kalau
Panglima Besar Zhen Beiwang adalah seorang pahlawan, bolehkan Yaotian
mengajukan sebuah pertanyaan.”
Chu
Beijie sudah hendak pergi, tapi ia mengubah pikirannya. Ia tak bisa mengabaikan
apapun yang berkaitan dengan Pingting. Ia mengenggam tali kekang kudanya dan
berkata, “Silakan.”
Yaotian
berkata lagi, “Yaotian ingin bertanya, apakah saat ini Panglima, sedang memimpin
pasukan, menuju pertempuran, hanya demi seorang wanita bernama Bai Pingting?”
“Benar.”
“Lantas,
apakah Raja Dong Lin setuju dengan hal ini?”
Chu
Beijie tersenyum mengejek, “Itu masalah Dong Lin, dan pasukan sudah berada
disini. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Putri.”
“Hubungan
antara Panglima dan Nona Bai berkaitan erat dengan dendam antar negara. Pertanyaan
tentang mana yang lebih penting apakah perasaan atau negara, dan tentang
melupakan kebahagiaan sendiri untuk negara, selalu menjadi dilema yang kejam.”
“Putri,
apa yang ingin disampaikan?”
Yaotian
menghela. “Teori dan moral selalu disandingkan bersama, tapi sebenarnya tidak
sama. Moral datang dari hati dan teori berasal dari hal yang sepantasnya
dilakukan. Teori adalah hal yang paling benar, dan sering mengesampingkan
moral. Sebagai hasilnya, para prajurit secara buta mengikuti keharusan mematuhi
perintah dan tidak mendengarkan hati mereka. Mereka mematuhi, katakanlah
masalah negara dan harus mengorbankan nyawa mereka untuk negara. Sungguh
bersyukur, karena ketika mereka tidak benar-benar menginginkannya tapi tetap harus
melakukannya karena teori mengatakan seperti itu. Apakah hal ini tidak sama
dengan yang Panglima rasakan, hari itu ketika Panglima telah memilih negara dan
bukan Pingting, mengakibatkan janji tanggal enam yang dilanggar.”
Chu
Beijie yang biasa-biasa saja di awalnya tiba-tiba menjadi sangat emosi ketika
mendengarnya. Kata-katanya menjadi sangat serius, “Lanjutkan.”
“Negara
atau orang, mana yang lebih penting? Ini bukan masalah yang bisa selesai dengan
barter.” Yaotian menghentikan perkataannya agar lebih meresap, lalu melanjutkan
dengan halus, “Panglima boleh berpikir kalau para leluhur kita dulu, mungkin
telah memikirkan untuk bersatu demi menghindari kekejaman, untuk kehidupan yang
lebih baik sehingga mereka bisa bisa mengejar kebahagiaan mereka sendiri. Hanya
dengan begitu bentuk sebuah negara mulai terlihat. Akar dari sebuah negara
adalah orang-orangnya. Untuk apa tetap tinggal disana, ketika harus mengorbankan
kebahagiaan sendiri demi melindungi negara? Apa gunanya mengenang seorang pria
yang hanya tahu melindungi negara, dan sama sekali tidak mengerti tentang
menghargai kebahagiaannya sendiri?”
Tubuh
Chu Beijie mulai bergetar. Genggamannya semakin mengencang di tali kekangnya, Yaotian
melanjutkan, “Dan bagaimana bisa, seorang pria, demi kebahagiaannya sendiri
mampu mengorbankan ratusan ribu nyawa para prajurit, untuk merebut kebahagiaan
orang lain. Untuk menjadi pahlawan dan cinta sejati Bai Pingting? Pikirkanlah,
Panglima, apakah seluruh para prajurit di bawah komandomu ini benar-benar
mengingikan pertempuran di medan perang hanya demi seorang wanita?”
Yaotian
menghela sekali lagi dan berkata dengan lebih pelan. “Bai Pingting berharap,
Panglima membuka mata untuk benar-benar melihat, apa yang sebenarnya perlu di
hargai di dunia ini, dan siapa yang paling penting untuk berbahagia. Ia
berharap Panglima mengetahui, bahkan di koloni semut, mereka memiliki kebebasan
dan ambisi, tapi selalu ada kebahagiaan di mata mereka.”
Chu
Beijie merapatkan giginya dengan kuat dan ia kehilangan kata-kata, lama sekali.
Dibawah
sinar cahaya pagi, senyum Pingting selalu lembut seperti air, tapi sekarang
senyumnya telah melebur bersama danau dan lautan, sama sekali tidak bersisa.
Landasan
sebuah negara adalah orang-orangnya.
Kalau
tidak melakukannya dengan hati, mengapa harus memaksa mereka satu per satu
mengorbankan hal yang paling disayangi, hanya untuk reputasi negara?
Negara
dan orang, bukan dua pilihan terpisah, melainkan satu.
Hanya
mereka yang mendengarkan kata hati, mencintai apa yang mereka cintai, dan
membenci apa yang mereka benci, adalah manusia yang sebenarnya.
Chu
Beijie menolehkan kepalanya ke langit, tertawa pada langit sambil membiarkan
air matanya jatuh melewati pipinya. Ia berkata dengan suara pelan, “Terima
kasih, sudah mengutarakan hal ini, Putri.”
Sebuah
surat perlahan di keluarkan melalui tirai.
“Yaotian
masih belum berpengalaman, tidak pantas mendapat pujian Panglima. Semua
kata-kata itu ditulis oleh Nona Bai di suratnya.”
Chu
Beijie turun dari kudanya, menerima surat dengan perlahan dan hati-hati seperti
menerima seorang bayi yang baru lahir. Sebuah getaran menjalar di tulang
belakangnya, “Terima kasih, Putri. Aku bersumpah pada Putri, pasukan Dong Lin
akan segera mundur.”
Yaotian
tidak mengira, Chu Beijie akan membuat keputusan mundur dengan begitu cepat.
Yaotian menghela napas dan berkata, “Apa Panglima tidak khawatir kalau surat
ini palsu, dan ternyata Nona Bai masih di tawan oleh kami?”
Chu
Beijie tertawa. “Kalau Pingting tidak percaya diri, mengapa ia meminta Putri
menyampaikan suratnya? Tulisan tangan bisa dilupakan tapi tidak dengan kata-kata
bijak?”
Ia
naik ke kudanya dan berbalik menuju ke pasukannya. Chen Mu telah sangat tidak
sabar menunggu, ia segera menghampiri dan bertanya, “Apa yang dikatakan Tuan
Putri Yun Chang?”
“Tarik
mundur seluruh pasukan.”
“Apa?”
Chu
Beijie terkekeh lama sekali. “Mundur! Kita tidak akan bertempur lagi.”
Meskipun
semua orang terkejut dengan hal ini, mereka juga sedikit merasa senang.
Beberapa orang bertanya, “Bagaimana dengan Nyonya?”
“Aku
akan mencarinya sendiri.” Pandangan Chu Beijie beralih ke langit jauh, matanya
penuh kebulatan tekad. “Aku akan menemukannya, meskipun ia berada di ujung
dunia.”
Langit sungguh
pengasih, tolong berkahi aku dan Pingting.
Kau bisa terbang di
langit dengan sayapmu. Chu Beijie bersedia mengikutimu sampai ujung dunia.
Mulai sekarang, aku
akan mencintai apa yang kucintai dan membenci apa yang kubenci.
Aku mengerti apa
yang ingin kulakukan dan mengerti apa yang harus kulakukan.
Aku mengerti apa
yang mesti kujaga dan seharusnya dijaga. Ikatan macam apa yang seharusnya aku
putuskan dan ikatan macam apa yang sebaiknya aku perkuat.
Aku mengerti, kalau
negara dan rumah, negara dan orang, selalu merupakan satu kesatuan.
Aku mengerti,
perngorbanan bukanlah hal terhebat, tapi dengan menghargai orang yang kucintai,
sebuah negara bisa tumbuh berkembang dengan baik. Dengan begitu akan tumbuh
sepasang sayap kuat yang mendukung cita-cita yang menjulang tinggi, seperti hal
mengalirkan darah merah demi ambisi.
Pingting, Pingting.
Aku telah mendengar kata hatiku.
Ia mengatakan,
setelah ini dan seterusnya, aku tidak akan pernah meninggalkanmu.
Bahkan kalau dunia
ini hancur, atau kekuasaaan tertinggi mencoba menghalangi, perasaan ini akan
tetap sama.
“Pasukan
mundur!”
“Mundur!
Mundur!”
Pasukan
Dong Lin bergerak mundur dan pertempuran utama behenti di saat akhir.
Chu
Beijie memandang di kejauhan, tak bisa melihat sosok Pingting yang sangat
dikenalnya. Tapi ia akan menemukan Pingting, ia harus menemukannya dan
melindunginya dengan cinta, seperti ketika ia menemaninya di bawah langit penuh
bintang, Pingting sambil bermain kecapi atau hanya sambil memandang bintang di
atas salju.
Mereka
akan menyaksikan anak-anak tumbuh, mengajari mereka untuk tidak tersesat dan
terbelenggu oleh depresi gelap. Ia akan selalu mengingat, moral datang dari
hati dan hanya dengan mendengarkan kata hati, seseorang takkan pernah dibutakan
oleh dunia.
Ia
mengerti setiap orang memiliki takdir mereka sendiri, setiap orang memiliki
ambisinya sendiri, setiap orang memiliki kebebasannya sendiri dan setiap orang
memiliki kebahagiaannya sendiri.
Hal
ini tidak bisa dikesampingkan oleh masalah negara ataupun moral.
Karena,
landasan sebuah negara – adalah orang.
--00--
novel, translate, klasik, cina, chinese, terjemahan, indonesia